Menanti Integrasi Layanan Bus ”Buy the Service” di Jabodetabek
Kehadiran jaringan layanan bus BTS menjadi salah satu alternatif transportasi umum untuk masyarakat di Jabodetabek.
Setelah Kota Bogor, program buy the service atau program pembelian layanan kini akan menjangkau Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok di Jawa Barat yang juga tetangga dekat DKI Jakarta. Masyarakat pun tak sabar menanti beroperasinya layanan transportasi publik itu.
Sejak penandatanganan kerja sama dan peresmian layanan bus dengan sistem buy the service (BTS) dengan BisKita Trans Pakuan di Kota Bogor pada November 2021 silam, layanan BTS seolah berhenti di ”kota hujan” itu saja, tanpa segera diikuti kota lain. Baru beberapa bulan belakangan Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok ikut serta dalam program layanan BTS. Program BTS ini merupakan program subsidi berbasis skema remunerasi berjangka untuk melaksanakan standar pelayanan minimal yang sudah ditetapkan.
Saat memilih Kota Bogor sebagai kota percontohan program BTS, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sudah menegaskan bahwa kawasan Jabodetabek merupakan satu wilayah aglomerasi dengan pergerakan masyarakat yang besar setiap hari. Oleh karena itu, diperlukan program seperti BTS untuk menekan penggunaan kendaraan bermotor pribadi, kemacetan, polusi, dan masalah lain.
Baca juga: BTS Segera Hadir di Kabupaten Bogor
Berdasarkan data Kemenhub, kecepatan rata-rata kendaraan dan angkutan umum perkotaan pada jam puncak kemacetan di semua jaringan jalan adalah 30 kilometer (km) per jam, bahkan jika terjadi kemacetan parah hanya bisa 20 per jam.
Catatan data lain, kemacetan mengakibatkan kerugian triliunan rupiah di kota-kota besar. Kerugian di Jakarta, misalnya, mencapai Rp 65 triliun per tahun. Sementara di Kota Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan Makasar, kerugian sebesar Rp 12 triliun per tahun.
Besarnya angka kerugian itu sudah melebihi APBD kota-kota tersebut. Hal ini pun dikuatkan oleh Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Suharto. Ia mengatakan, dengan adanya layanan angkutan umum massal, ada penghematan biaya transportasi hingga 50 persen yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain.
”Masyarakat menengah ke bawah menghabiskan 25-30 persen dari pendapatan per bulan untuk biaya transportasi. Sementara standar Bank Dunia merekomendasikan maksimal persentase biaya transportasi sebesar 10 persen dari pendapatan,” ujar Suharto, Jumat (26/1/2024).
Menurut Badan Pusat Statistik 2022, jumlah penduduk di Jabodetabek sebanyak 31.684.645 jiwa. Hasil analisis BPTJ pada 2023, potensi jumlah penduduk terlayani angkutan umum (jika tersedia halte/bus stop kurang dari 500 meter dari lokasi berangkat) sebanyak 7.977.987 jiwa atau 25,18 persen. Potensi inilah yang kemudian terus didorong melalui berbagai strategi kebijakan dengan menghadirkan layanan transportasi umum massal.
Melalui kebijakan program BTS di Kota Bogor, misalnya. Sejak beroperasi pada akhir 2021, jumlah penumpang yang terlayani cukup banyak. Pada dua bulan pertama beroperasi, tercatat 335.034 penumpang. Lalu, sepanjang 2022 tercatat total 5.162.285 penumpang.
Sementara pada periode 2023 (hingga November) tercatat ada 3.874.697 penumpang. Penurunan jumlah penumpang ini sebabkan BisKita Trans Pakuan mulai memberlakukan tarif pada Juli 2023. Meski begitu, berdasarkan data sejak penetapan tarif, setiap bulan jumlah penumpang menunjukkan kenaikan.
Kehadiran BTS di Kota Bogor tidak hanya menarik minat warga, tetapi juga berdampak pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kota Bogor. Dari data pada 20 Mei sampai dengan 10 Desember 2023, PNBP Kota Bogor Rp 6,292 miliar.
Berkaca dari penerapan BTS di Kota Bogor, upaya itu tidak hanya mengubah transportasi umum sesuai standar pelayanan minimal sehingga mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau serta mengurangi kemacetan. Namun, hal itu juga bisa mendongkrak PNBP suatu daerah. Kehadiran BTS menjadi salah satu alternatif transportasi memenuhi kebutuhan masyarakat di Bodetabek yang tidak ditampung sepenuhnya oleh moda berbasis rel.
Saat ini layanan BisKita Trans Pakuan telah terintegrasi menjangkau rute Terminal Baranangsiang-Cibubur (Halte Transjakarta Cibubur Junction dan Terminal Bubulak-Cibubur). Sesampainya di Cibubur, penumpang bisa melanjutkan perjalanan menggunakan bus Transjakarta atau LRT Jabodebek.
Selain itu, layanan BTS juga akan mengintegrasikan dua wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dengan rute Cibinong-Ciparigi. Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bogor juga berencana menambah integrasi rute Puncak. Lalu, di Kota Depok, layanan BTS akan menjangkau rute Terminal Jatijajar-Stasiun LRT Harjamukti.
Adapun program BTS 2024 di Kota Bekasi akan menyediakan 28 bus. Di Kota Depok dan Kabupaten Bogor masing-masing akan tersedia 10 bus. Di tiga kota itu, untuk sementara bus-bus BTS hanya melayani satu koridor.
Dinanti masyarakat
Penantian panjang warga Bodetabek untuk menikmati berbagai alternatif moda transportasi tak lama lagi akan terwujud. Carolina Simangunsong (27), warga Kota Depok, tak sabar untuk segera menjajal transportasi publik melalui skema BTS.
Penantian itu cukup beralasan bagi Carolina karena Kota Depok miskin moda transportasi yang layak dan aman. Kota Depok pun dijejali kendaraan bermotor pribadi dan membuat lalu lintas kerap macet.
”Programnya kenapa enggak dari awal, sih. Kondisi Kota Depok ini sudah perlu moda transportasi publik selain angkot dan KRL Jabodetabek. Saya sudah coba yang di Bogor (BisKita Trans Pakuan), enak dan nyaman. Makanya, saya tidak sabar yang di Depok," kata perempuan yang akrab disapa Lina itu, Minggu (28/1/2024).
Menurut Lina, kehadiran BTS akan menjadi alternatif mobilitasnya selain KRL untuk menuju Jakarta tempatnya bekerja. Apalagi, BTS di Kota Depok akan terintegrasi dengan Stasiun LRT Harjamukti.
”Kalau saya memang malas banget ngangkot karena enggak nyaman dan ngetemnya itu loh, bau rokok lagi. Jadi, semoga banyak jalur nanti (melayani penumpang). Sudah bagus itu busnya, nanti ke LRT, tetapi tambah lagi kayak menuju stasiun. Pokoknya banyak jalurnya,” kata Lina.
Aan Yusuf (32), Warga Ciawi, Kabupaten Bogor, berharap layanan BTS bisa lebih luas melayani masyarakat, termasuk di jalur Puncak yang kerap macet.
Lamanya layanan BTS hadir di Kabupaten Bogor pun disesalkan Aan. Menurut dia, selama ini tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk segera menghadirkan transportasi publik yang nyaman.
”Suka heran dengan pemerintah. Kota/Kabupaten Bogor ini kebanyakan angkot, ngetem sembarangan. Bagaimana kita mau beralih ke (transportasi) publik kalau angkutannya saja enggak diperhatikan. Kota Bogor sudah jalan, tapi Kabupaten Bogor baru mau jalan, pemerintah ke mana? Kota'Kabupaten Bogor ini seharusnya bareng, dong, dalam urusan transportasi,” kata Aan.
Fauzi Riawan, warga Kota Bekasi, dan Yudo Gilang Andika, warga Kota Bogor, pun sama-sama berharap layanan BTS tidak berhenti pada sekadar seremoni bahwa layanan transportasi publik telah hadir.
Dalam jangka menengah, semua BTS yang ada di kota tersebut akan terhubung secara fisik. Jangka panjangnya tentu integrasi layanan pada sistem pembayaran dan waktu.
Perlu ada keseriusan dari pemerintah untuk mengembangkan layanan transportasi dengan semakin menambah kendaraan serta memperluas jalur dan integrasi.
”Jangan kayak sekadar hadir saja. Next apa lagi. Jangan satu dua jalur saja, itu tidak cukup dan tidak berdampak. Kami mau banget, kok,naik transportasi publik asal difasilitasi. Kami juga capek harus macet-macet menghabiskan waktu di jalan,” kata Yudo.
Prioritas pemerintah
Tingginya mobilitas warga di Jabodetabek tidak lagi cukup dilayani moda berbasis rel. Oleh karena itu, kata Plt BPTJ Suharto, layanan BTS perlu semakin diperluas di wilayah Jabodetabek. Target jangka pendek saat ini, BPTJ sedang mempersiapkan rencana BTS di Kota Bekasi, Depok, dan Kabupaten Bogor.
”Dalam jangka menengah, seluruh BTS yang ada di kota tersebut akan terhubung secara fisik. Jangka panjangnya tentu integrasi layanan pada sistem pembayaran dan waktu,” kata Suharto.
Ia berharap semua kepala daerah memiliki satu visi dan misi dalam prioritas memajukan layanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Menghadirkan layanan BTS di Bodetabek ternyata tidak mudah. Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, belum semua kepala daerah memiliki atau menetapkan transportasi publik sebagai prioritas wajib dan dasar pelayanan masyarakat.
Transportasi perlu dilihat sebagai prioritas oleh kepala daerah karena cepatnya pertumbuhan perkotaan menyebabkan perkembangan kota menjadi urban sprawl. Perkembangan ini menyebabkan permasalahan berkembang pula di daerah perkotaan, seperti kemacetan lalu lintas, pengeluaran biaya transportasi yang berlebih, dan masalah lain. Jika pemda serius dan menetapkan prioritas, mereka bisa saja menaikkan anggaran APBD untuk transportasi publik.
”Pemerintah pusat harus menetapkan regulasi ketat bahwa transportasi publik sebagai pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Hampir di semua pemerintah daerah di Indonesia, alokasi dinas perhubungan hanya di bawah 1 persen. Di atas 3 persen hanya kota Jakarta dan Solo. Jadi, melakukan revisi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, perhubungan merupakan urusan wajib terkait pelayanan dasar,” ujar Djoko.
Baca juga: Layanan Angkutan Umum "Buy the Service" Hadir di Kota Bekasi
Dalam menjalankan layanan angkutan massal seperti BTS, misalnya, pemda jangan dulu memikirkan pendapatan karena kewajiban memfasilitasi mobilitas publik itu berada di tangan pemda. Untuk memperkuat prioritas dan menjadikan transportasi sebagai layanan dasar, pemda perlu membuat peraturan daerah agar ke depan siapa pun pemimpinnya, urusan transportasi publik tetap mendapat perhatian dan dilanjutkan. Selain itu, jaringannya juga dikembangkan.
”Tapi, akhirnya kita bersyukur, selain Kota Bogor, pemda lainnya, Depok, Bekasi, Kabupaten Bogor, akhirnya setuju dengan layanan BTS. Setelah ini kita menanti operasi dan pengembangan jaringan angkutan umumnya sehingga, di tiga kota itu, minat masyarakat beralih ke transportasi publik tinggi,” ujarnya.