Pemprov DKI Jakarta Prioritaskan Pengolahan Sampah dari Hulu
Pengolahan sampah sejak dari hulu mulai digencarkan. Pembangunan tempat pengolahan sampah 3R menjadi prioritas.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengejar pembangunan infrastruktur pengolahan sampah mulai dari hulu menyusul rencana penghentian izin pembukaan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah pada tahun 2030.
Hal ini mengemuka saat Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meresmikan tempat pengolahan sampah reduce-reuse-recycle (TPS3R) di dua tempat yakni Ciracas Jakarta Timur dan Rawasari Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).
Di dalam TPS3R berkapasitas 25 ton itu ditunjukan beberapa proses pengolahan sampah mulai dari pemilahan sampah organik dan non organik, pencacahan, hingga pengeringan sampah. Proses itu merupakan tahapan untuk mengkonversi sampah menjadi pupuk kompos dan bahan bakar alternatif ( refuse derived fuel/RDF). Proses pemilahan sampah bertujuan untuk memastikan sampah yang disortir sesuai dengan penggunaannya. Misalnya untuk pembuatan RDF, ada beberapa jenis sampah yang tidak boleh masuk antara lain limbah B3, kasur, logam, kawat, dan batang kayu yang terlalu besar.
Baca juga: Potensi Ekonomi Pengolahan Sampah Jakarta Capai Triliunan RupiahSetelah dipilah, sampah kemudian dicacah yang disesuaikan dengan fungsinya apakah akan dikelola menjadi pupuk kompos atau RDF. Setelah proses pencacahan selesai, sampah itu kemudian dikeringkan untuk kemudian disulap menjadi RDF.
Ketika sampah dikonversi menjadi kompos, asumsi berat sampah berkurang sekitar 30 persen, sedangkan untuk RDF asumsi berat sampah berkurang mencapai 10 persen. Dengan pengelolaan ini, Budi berharap dapat mengurangi risiko penumpukan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA). Ia pun menargetkan 44 kecamatan di DKI Jakarta, setidaknya memiliki sebuah TPS3R. Di tahun 2023, sebanyak 7 unit TPS3R yang sudah dibangun, sementara di tahun 2024 ditargetkan ada 4 TPS3R tambahan yang dibangun. "Sisanya akan dibangun secara bertahap," kata Budi. Dalam pelaksanaannya, Budi berharap, pemerintah setempat dapat melibatkan masyarakat sekitar dalam pengoperasiannya. TPS3R harus dikelola secara profesional agar mendatangkan manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat sekitar. Budi menjelaskan pembangunan TPS3R merupakan implementasi dari tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada setiap daerah guna mengurangi produksi sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menambahkan sebagian besar sampah yang diolah di TPS3R ini adalah limbah rumah tangga. Namun sebelum diproses lebih lanjut, sampah harus dipilah terlebih dahulu. Proses pemilahan dipandang perlu karena belum banyak warga yang sadar untuk memilah sampahnya sendiri dari rumah. "Kebanyakan sampah dari rumah tangga hanya dikumpulkan jadi satu dan dimasukan ke kantong plastik lalu dibuang ke tempat sampah," ungkapnya. Karena itu, edukasi kepada masyarakat untuk mulai memilah sampah sangat perlu dilakukan. Dia menjelaskan TPS3R merupakan bentuk pengolahan sampah berskala kecil. Sebenarnya, Jakarta sudah memiliki tempat pengolahan sampah berskala besar yakni di Proyek Saringan Sampah TB Simatupang. Sampah yang datang dari hulu melalui sungai baik dari Bogor maupun Depok, disaring di sana lalu diolah menjadi RDF dan kompos. Saringan Sampah Ciliwung mampu menangani 230 meter kubik sampah yang berasal dari hulu. Upaya itu dilakukan demi mencegah tumpukan sampah di hilir aliran sungai, yaitu pusat kota, serta mengurangi risiko banjir di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
Baca juga: Kelola Sampah, Jakarta Prioritaskan RDF ketimbang ITF
Edukasi kepada masyarakat untuk mulai memilah sampah sangat perlu dilakukan.
Edukasi masyarakat
Direktur Pengurangan Sampah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vinda Damayanti Ansjar menilai cara paling efektif mengurangi sampah adalah dengan mengolah sampah mulai dari sumbernya. Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan kepada warga yakni untuk mulai memilah sampah dari rumah. Peran bank sampah sangat diperlukan untuk mensosialisasikan cara mengolah sampah. Hanya saja, dari 16.000 bank sampah di Indonesia, tidak semua dapat beroperasi secara optimal. Banyak bank sampah yang mati suri. Ke depan, lanjut Vinda, pihaknya akan mencoba untuk mengangkat kembali "pamor" bank sampah agar lebih dikenal warga. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukan DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi yang cukup berhasil mengurangi sampah yakni sekitar 26 persen. Adapun kebanyakan provinsi baru berhasil mengurangi sampah sekitar 10 persen. Padahal di tahun 2030, pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen. "Karena itu edukasi harus mulai digencarkan," tegas Vinda. Apalagi lanjut Vinda di tahun 2030, izin untuk pembukaan TPA baru tidak lagi dikeluarkan. Kondisi ini dipicu oleh banyaknya kasus kebakaran TPA di tahun 2023 yang mencapai 35 kasus. "Bencana itu muncul karena sebagian besar TPA di Indonesia menerapkan sistem pembuangan sampah terbuka (open dumping) dan mulai beralih ke sistem landfill di tahun 2025," katanya. Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Rofi Al Hanif beranggapan Jakarta tidak boleh lagi bersandar pada TPA Bantargebang sebagai solusi akhir masalah sampah di Jakarta. Sebaliknya, warga harus mulai sadar untuk mengurangi sampah di TPA. "Karena itu pengelolaan mulai dari hulu (sumbernya) harus lebih masif," ucapnya. Bisa dibayangkan bila semua kecamatan punya TPS3R, beban sampah di Jakarta yang mencapai 8.000 ton per hari mungkin bisa berkurang 50 persen karena telah habis terkelola di setiap kecamatan. Tidak perlu lagi ada ribuan armada yang harus mengangkat sampah ke TPA. Masalah sampah harus diselesaikan secara paripurna dari hulu hingga hilir. Karena itu edukasi ke masyarakat adalah langkah yang krusial," kata Rofi.