Paradoks Warga Kota, Kesepian di Tengah Keramaian
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bahkan di tengah populasi yang semakin padat di perkotaan? Adakah ”obat” untuk problem itu?
Dengan populasi 35,39 juta jiwa, Jabodetabek merupakan aglomerasi terbesar kedua di dunia pada tahun 2023 setelah Tokyo-Yokohama, Jepang (37,78 juta jiwa). Selain itu, dengan kepadatan sekitar 16.000 jiwa per kilometer persegi, Jakarta termasuk dalam 100 besar kota dengan kepadatan tertinggi di dunia pada tahun 2022.
Akan tetapi, kota besar dan padat penduduk nyatanya tidak menjamin warganya bebas kesepian. Hasil survei Health Collaborative Center (HCC) yang dipublikasikan pada Selasa (19/12/2023) menunjukkan, separuh warga Jabodetabek mengalami kesepian. Rinciannya, 44 persen warga mengalami kesepian derajat sedang, sementara 6 persen lainnya mengalami kesepian derajat tinggi.
Survei oleh lembaga nonprofit di bidang kesehatan masyarakat itu melibatkan 1.299 responden di Jabodetabek pada Oktober-Desember 2023. Survei daring ini menggunakan skala kesepian (loneliness scale) UCLA yang dirancang untuk mengukur perasaan subyektif kesepian serta perasaan isolasi sosial.
Pertanyaannya, bagaimana bisa penduduk kota atau aglomerasi sebesar Jakarta atau Jabodetabek merasa kesepian? Dengan populasi sepadat itu, bukankah kita akan selalu bertemu orang lain di kota ini, bahkan ketika sekadar membuka pintu atau jendela rumah?
Baca juga: HCC: Separuh Warga Jabodetabek Merasa Kesepian
Rupanya, situasinya tidak sesederhana itu. Problem kesepian tengah menghinggapi warga di banyak kota di negara-negara lain di dunia. Bahkan, baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global. Pada pertengahan November 2023, WHO juga mengumumkan pembentukan komisi internasional untuk mengatasi masalah ini. Namanya, Komisi Hubungan Sosial. Tugasnya mendorong hubungan sosial sebagai prioritas dan mempercepat perluasan solusi di semua negara.
WHO menyebut isolasi sosial, yakni kurangnya koneksi sosial dan kesepian serta penderitaan sosial karena merasa tidak terhubung, menyebar luas. Tak hanya menyerang lansia di negara-negara berpendapatan tinggi, problem serupa menghinggapi semua kelompok umur di seluruh dunia. Satu dari empat lansia mengalami isolasi sosial. Sementara di kalangan remaja, mereka yang kesepian berkisar 5-15 persen, kendati angka ini dinilai masih di bawah perkiraan.
Orang-orang yang tidak memiliki koneksi sosial yang cukup kuat mempunyai risiko lebih tinggi terkena stroke, kecemasan, demensia, depresi, bunuh diri, dan banyak lagi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut, tingkat isolasi sosial dan kesepian yang tinggi di seluruh dunia mempunyai konsekuensi serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan. ”Orang-orang yang tidak memiliki koneksi sosial yang cukup kuat mempunyai risiko lebih tinggi terkena stroke, kecemasan, demensia, depresi, bunuh diri, dan banyak lagi,” ujarnya.
Pemicu
Perasaan kesepian bersifat pribadi sehingga pengalaman setiap orang akan berbeda-beda. Beberapa orang menggambarkan kesepian sebagai perasaan ketika kebutuhan akan kontak sosial dan hubungannya tidak terpenuhi. Beberapa lainnya merasa kesepian pada waktu-waktu tertentu, sementara sebagian lain merasa kesepian ketika merasa tidak dipahami atau diperhatikan oleh orang-orang di sekitar.
Kesepian memiliki penyebab yang berbeda antara orang satu dan lainnya. Namun, beberapa peristiwa atau pengalaman hidup bisa memicu perasaan kesepian, seperti saat mengalami duka, putus hubungan, pensiun, beralih pekerjaan, pindah ke daerah/negara lain tanpa keluarga atau jaringan teman, serta menjadi orangtua.
Beberapa penelitian menunjukkan, kesepian akan lebih rentan terjadi pada orang yang tidak punya teman atau keluarga, menjadi anggota minoritas dalam kelompok, diasingkan oleh keluarga, tidak punya uang untuk kegiatan sosial, atau mengalami diskriminasi, stigma negatif, serta mengalami pelecehan seksual atau fisik.
Kesepian memiliki penyebab yang berbeda antara orang satu dan lainnya. Namun, beberapa peristiwa atau pengalaman hidup bisa memicu perasaan kesepian.
Terkait penelitian HCC di Jabodetabek tersebut, peneliti utama sekaligus Ketua HCC Ray Wagiu Basrowi menyebutkan, beberapa faktor dominan yang menyebabkan orang kesepian antara lain rasa tidak cocok dengan orang sekitar, sering merasa malu atau minder, tidak bisa dekat dengan orang lain, serta memiliki hobi yang tidak sama dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sam Fardghassemi dalam artikel ”The Causes of Loneliness: The Perspective of Young Adults in London’s Most Deprived Areas” yang diterbitkan jurnal PLoS One, 6 April 2022, menyebut, penyebab paling umum dari kesepian adalah perasaan terputus. Banyak orang dewasa muda berbicara kesepian karena mereka merasa tidak mampu mengekspresikan diri, perasaan, atau membicarakan masalah mereka. Mereka juga berbicara kesepian karena merasa tidak berarti bagi orang lain dan tidak dipahami.
Baca juga: Seputar Kesepian
Problem terkait budaya kontemporer juga menjadi penyebab lain kesepian. Permasalahan ini terkait media sosial yang dianggap menjauhkan diri dari jati diri sebenarnya serta kurangnya komunikasi dan kepedulian tatap muka. Penggambaran realitas dengan cara yang ”palsu” dianggap berkontribusi pada rasa kesepian di kalangan remaja.
Para remaja yang terlibat dalam penelitian itu menyebut apa yang mereka lihat di media sosial dan di-posting orang lain hanyalah apa yang ingin orang lihat tentang mereka, seperti saat-saat berlibur, punya uang, membeli barang mewah, dan menggambarkan kehidupan yang sukses. Semua orang berbagi ”gambar bahagia”, khususnya yang menunjukkan ”diri terbaik” mereka. Akibatnya, sebagian generasi muda merasa melihat foto/video orang lain di media sosial menimbulkan perasaan kesepian, sedih, iri, cemburu, atau ragu paga diri sendiri.
Sebuah studi yang digelar Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2022, bertajuk ”Dampak Ruang Hijau terhadap Penurunan Kesepian”, menemukan, berada di lingkungan yang penuh sesak meningkatkan rasa kesepian hingga 38 persen. Sebaliknya, persepsi inklusivitas sosial, yakni perasaan berada bersama orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita dan membuat kita merasa diterima, dikaitkan dengan penurunan rasa kesepian hingga 21 persen.
Kesimpulan itu berasal dari 16.602 penilaian yang diselesaikan oleh 756 orang di seluruh dunia melalui aplikasi ponsel pintar yang dikembangkan WEF. Studi itu menunjukkan bahwa yang penting adalah kualitas hubungan sosial dibandingkan dengan jumlah kontak hubungan sosial yang kita miliki.
Interaksi sosial
Jika kesepian bisa dikurangi dengan merasa dilibatkan secara sosial, social prescribing (peresepan sosial/sarana menghubungkan pasien dengan berbagai layanan nonklinis di masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka) dapat digunakan untuk membantu menghubungkan orang-orang yang berpikiran sama di komunitas lokal, terutama perkotaan. Dalam studi WEF itu, evaluasi terhadap peresepan sosial di Inggris menunjukkan bahwa program menghubungkan orang-orang tersebut efektif mengurangi kesepian.
Selain itu, tempat berlangsungnya hubungan bisa berperan menentukan apakah seseorang merasa kesepian atau tidak. Hasil studi WEF menunjukkan, orang-orang memiliki kemungkinan 28 persen lebih kecil merasa kesepian di lingkungan perkotaan yang memiliki ciri-ciri alam, seperti pepohonan, tumbuhan, dan burung.
Oleh karena itu, upaya meningkatkan akses terhadap ruang hijau dan biru berkualitas tinggi, seperti taman dan sungai, di kawasan perkotaan yang padat dinilai dapat membantu masyarakat mengurangi rasa kesepian. Temuan ini sejalan dengan sejumlah penelitian lain yang menguatkan hubungan positif alam terhadap kesehatan mental.
Sejalan dengan studi tersebut, sejumlah peneliti dari Universitas Sydney, yakni Jennifer Kent, Emily Rugel, dan Marlee Bower, menyatakan, secara tradisional, kesepian dipandang sebagai masalah individu yang memerlukan solusi individual, seperti terapi psikologis atau pengobatan. Namun, kesepian disebabkan oleh perasaan terputus dari masyarakat.
Oleh karena itu, masuk akal jika pengobatan kesepian harus berfokus pada hal-hal yang membantu kita menjalin hubungan yang lebih luas. Tempat di mana kita tinggal, bekerja, dan bermain, misalnya, dapat mendorong interaksi sosial yang bermakna dan membantu kita membangun rasa keterhubungan.
Para peneliti itu mengidentifikasi beberapa aspek penting dari lingkungan binaan (built environment) yang dapat membantu manusia menjalin hubungan. Hal ini mencakup desain perumahan, sistem transportasi dan distribusi, serta desain ruang terbuka hijau dan alami. Tinggal di daerah dengan akses yang baik ke pusat komunitas, ruang terbuka hijau, dan transportasi membantu orang menjalin hubungan sosial dan melindungi diri dari kesepian.
Tak hanya di kalangan lansia di negara-negara maju, juga bukan hanya warga perkotaan, kesepian telah menjangkiti penduduk dari segala kalangan di penjuru dunia.
Berkaca pada sejumlah penelitian tersebut, kesepian menjadi semakin lumrah belakangan. Tak hanya di kalangan lansia di negara-negara maju, juga bukan hanya warga perkotaan, kesepian telah menjangkiti penduduk dari segala kalangan di penjuru dunia. Namun, kesepian yang mengglobal bukan berarti tiada ”obat”.
Ada sederet resep untuk mengatasi keterputusan sosial. Namun, interaksi dengan orang-orang di sekitar serta dengan alam setidaknya bisa membantu kita terhubung dan meredam risiko kesepian. Oleh karena itu, mari keluar dan bertegur sapa dengan orang-orang sekitar. Syukur bisa sambil menikmati hijau dan rindangnya taman atau hutan kota.
Baca juga: Orang Kesepian Memiliki Cara Berpikir yang Berbeda