Petani Memanfaatkan Lahan Tersisa di Kampung Susun Bayam
Sebanyak 27 petani di Kampung Susun Bayam mulai menanami pekarangan dengan sejumlah tanaman pangan. Selain untuk dikonsumsi, cara ini dianggap solusi untuk menyambung hidup.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 27 petani di Kampung Susun Bayam di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, sudah mulai menanam sejumlah komoditas pangan di pekarangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walau tidak sebanyak kala Kampung Bayam masih berdiri, cara ini dianggap solusi untuk menyambung hidup.
Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani Muhammad Furkon, Selasa (26/12/2023), menyebut ada sekitar 27 petani memanfaatkan lahan yang ada di Kampung Susun Bayam seluas sekitar 1 hektar untuk menanam sejumlah komoditas pangan, seperti cabai, bayam, dan timun suri.
”Komoditas ini kami persiapkan untuk menyambut bulan puasa,” kata Furkon. Harapannya, perekonomian warga bisa membaik setelah sekitar satu tahun terbengkalai karena tidak memiliki rumah.
Memang luas lahan tersisa di Kampung Susun Bayam tidak sebanding ketika kampung bayam belum dialihfungsikan menjadi stadion. Ketika Kampung Bayam masih berdiri, ada sekitar 26 hektar lahan yang bisa digunakan sebagai lahan pertanian dan tambak. Kini jumlah lahan yang bisa dimanfaatkan hanya 1 hektar.
Furkon menuturkan, ilmu dari pelatihan pertanian yang sudah dimulai sejak 2017 lalu menjadi bekal untuk mengolah lahan telantar menjadi lahan yang lebih produktif. Kala itu, mereka diajari untuk membuat pupuk cair, pakan ternak dan ikan, serta pola penanaman lahan sehingga bisa mendongkrak produktivitas di tengah terbatasnya lahan. Termasuk cara untuk memasarkan produk hasil pertanian.
Anggota Kelompok Tani Kampung Bayam, Madani, menuturkan, dengan luas lahan yang terbatas, ia berharap dapat memperoleh penghidupan yang lebih layak. Cecep merupakan petani yang sejak awal membabat rumput liar agar bisa ditanami kembali.
”Dengan adanya lahan, kami bisa memperoleh penghidupan,” kata Cecep yang masuk ke wilayah Kampung Bayam pada 2006 lalu.
Walau sudah membuka lahan, Cecep meyakini, hasil yang diperoleh tidak sebanyak ketika mereka masih tinggal di Kampung Bayam. Teringat ketika belum digusur, dirinya bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 5 juta per bulan dari hasil tambak dan bertani.
”Namun, karena dipindah dan tidak memiliki ruang bertani, pendapatannya merosot berkisar Rp 700.000-Rp 2 juta per bulan,” kata Cecep. Tak heran, untuk menambah pendapatan, beberapa petani juga terpaksa mencari pendapatan lain, seperti menjadi penjual minuman dan menjadi buruh lepas di sejumlah proyek sekitar.
Junaidi, warga Kampung Bayam, mengingat visi pemerintah untuk menyejahterakan kelompok tani Kampung Bayam. Seperti menjadikan kampung bayam sebagai lokasi agrowisata yang memberikan edukasi tentang cara bertani, berkebun, dan mengelola tambak.
Namun, janji itu sirna seiring pergantian pemerintahan. ”Sekarang kami seakan ditelantarkan. Program yang dijanjikan itu pun seakan terbang,” kata Junaidi.
Jangankan untuk menjadi kawasan agrowisata, petani pun kini kesulitan untuk mendapatkan ruang tinggal.
Direktur Utama Jakarta Propertindo Iwan Takwin menyebutkan, sampai sekarang belum ada izin bagi warga yang digusur dari Kampung Bayam untuk menempati Kampung Susun Bayam atau rusun hunian pekerja pendukung operasional.
Manajemen Jakarta Propertindo dan Pemprov DKI Jakarta, kata Iwan, masih mencari konsep pengelolaan yang matang secara legal dan formal agar tidak menimbulkan masalah di masa depan.
Iwan menekankan bahwa manajemen tidak menoleransi tindakan di luar batas atau berlebihan, seperti memasuki pekarangan secara ilegal dan memaksakan diri masuk ke area yang sudah dikunci. Saat ini tengah berlangsung penelusuran dan koordinasi dengan aparat penegak hukum atas dugaan pelanggaran aturan yang terjadi.
”Kami juga menambah petugas pengamanan untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi,” ujar Iwan.