Survei HCC: Separuh Warga Jabodetabek Merasa Kesepian
Separuh warga Jabodetabek mengalami kesepian yang dipicu ketidakcocokan dalam pergaulan dengan orang di sekitarnya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga nonprofit di bidang kesehatan masyarakat dan kesehatan komunitas, Health Collaborative Center, mengungkap hasil surveinya, separuh warga Jabodetabek mengalami kesepian dengan derajat sedang dan tinggi. Munculnya rasa kesepian ini dipicu oleh ketidakcocokan dalam pergaulan dengan orang di sekitarnya.
Survei yang digelar sejak Oktober 2023 dan melibatkan 1.299 responden di Jabodetabek itu menemukan, sekitar 44 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian derajat sedang, sementara 6 persen lainnya mengalami kesepian derajat tinggi. Survei menggunakan UCLA Loneliness Scale dengan tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error 2,3 persen.
Peneliti utama sekaligus Ketua Health Collaborative Center (HCC) Ray Wagiu Basrowi, di Jakarta, Selasa (19/12/2023), mengatakan, dari hasil penelitian diperoleh data bahwa 56 persen perantau di wilayah Jabodetabek mengalami kesepian derajat sedang. Mereka juga 1,5 kali berisiko mengalami kesepian.
Selanjutnya, 51 persen warga Jabodetabek yang berusia di bawah 40 tahun juga mengalami kesepian derajat sedang. Mereka berpotensi 1,5 kali mengalami kesepian.
Jika dilihat dari status, 60 persen warga Jabodetabek yang belum menikah mengalami kesepian derajat sedang dan berisiko 1,5 kali mengalami kesepian. Namun, bukan berarti orang yang sudah menikah tidak merasa sepi. ”Pada kenyataannya, 47,9 persen responden yang telah menikah masih merasa kesepian,” kata Ray.
Sementara jika dilihat dari sisi jender, 52 persen warga Jabodetabek yang merasa kesepian derajat sedang adalah perempuan. Mereka dua kali lebih berisiko mengalami kesepian.
Beberapa faktor dominan yang menyebabkan orang kesepian antara lain rasa tidak cocok dengan orang sekitar, sering merasa malu dan minder, tidak bisa dekat dengan orang lain, serta memiliki hobi yang tidak sama dengan orang yang ada di sekitarnya.
Masalah global
Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesepian dapat memicu berbagai penyakit kardiovaskular dan demensia. Bahkan, ujar Ray, penyakit seseorang bisa semakin parah jika ia merasa kesepian.
”Bahaya kesepian itu setara dengan merokok sebanyak 15 batang per hari,” kata Ray. Bahkan, lebih parah dari kondisi itu, kesepian bisa memicu keinginan untuk bunuh diri.
Catatan Kompas, kasus bunuh diri disebabkan rasa kesepian berkepanjangan terlihat pada kasus kematian ibu dan anak, Grace Arijani Harapan (68) dan David Aryanto Wibowo (38), di kawasan Cinere, Kota Depok, 7 September 2023. Mereka mati lemas di sebuah ruang sempit yang ada di rumah mewahnya.
Saat memaparkan penyebab kematian Oktober 2023, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Natanael Elnadus Johanes Sumampouw mengatakan, dari hasil wawancara orang terdekat ditemukan fakta bahwa sejak ditinggal oleh ayah dan suaminya, Stefanus Lukmanto Wibowo, pada 2011, kehidupan keduanya berubah drastis.
”Mereka seakan menarik diri dari interaksi sosial,” ujar Natanael.
Setali tiga uang, David pun mengalami gangguan mental akibat depresi dan rasa kesepian. Apalagi, sampai akhir hidupnya, dia tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ibunya. Kondisi ini berpengaruh pada perilakunya yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia digital.
Kasus kriminalitas yang muncul karena menarik diri dari masyarakat juga tampak dari kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Panca Darmansyah, tersangka pembunuhan sekaligus ayah korban, dinilai jarang sekali bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, terutama setelah terbelit masalah ekonomi.
Yakub, Ketua RT 004 RW 003 Jagakarsa, menuturkan, Panca dikenal sangat tertutup dengan warga. ”Bahkan, sejak pertama kali datang sekitar satu tahun lalu, mereka tidak pernah melampirkan data kependudukan,” katanya.
Pemeriksaan kejiwaan
Menurut Ray, sangat sulit untuk mendeteksi orang kesepian karena tidak bisa terbaca dari gerak-gerik atau perilaku seseorang. Mereka yang sedang nongkrong dengan temannya atau berinteraksi di media sosial pun bisa saja merasa kesepian.
Menurut dia, tidak sulit untuk mengobati rasa kesepian, yakni meminta orang itu untuk lebih membuka diri, menyalurkan hobi dengan komunitas yang baru, dan banyak berinteraksi di ruang publik.
Masalahnya, kini banyak orang yang tidak sadar kalau dirinya kesepian. Karena memang, rasa kesepian hanya bisa terdeteksi dengan skrining menyeluruh melibatkan tenaga profesional, seperti psikolog atau konselor.
Oleh karena itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menekan rasa kesepian. Dimulai dengan menyediakan alat yang valid didukung sistem rujukan kejiwaan yang baik.
Yang tidak kalah penting adalah ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dan menggiatkan skrining berbasis komunitas, seperti di posyandu dan di sekolah.
Skrining di kedua tempat itu dianggap perlu karena banyak kasus perundungan di lingkungan sekolah di mana anak jadi korbannya. ”Karena itu, di setiap sekolah juga dibutuhkan guru yang mengerti kejiwaan anak,” ucap Ray.
Lesti Vicky Amelia (26), warga Tangerang, Banten, kerap kali merasa kesepian setelah merantau dari rumahnya di Palembang, Sumatera Selatan, sejak empat tahun lalu. ”Hidup sendiri di kosan terasa sangat membosankan,” katanya.
Untuk mengusir kesepian, biasanya ia melakukan sejumlah kegiatan di kantornya atau jalan-jalan di akhir pekan. ”Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk video call dengan keluarga,” katanya. Cara ini dianggap bisa mengobati rasa kesepian.