Menyaring Sampah Mendulang Manfaat di TB Simatupang, Jakarta
Penyaringan sampah di TB Simatupang, Jakarta Selatan, menjadi garda terdepan serangan sampah dari hulu Sungai Ciliwung.
Jari-jemari Agus (54) bergerak lincah memilah sampah plastik dari cacahan sampah yang digerakkan oleh sabuk pemindah (conveyor belt) di tempat penyaringan sampah Sungai Ciliwung di TB Simatupang, Jakarta Selatan, Senin (11/12/2023). Sampah tersebut harus dipilah karena akan diolah menjadi pupuk kompos dan bahan bakar alternatif.
Sampah yang dicacah itu berasal dari hulu Ciliwung yang berasal dari Depok dan Bogor. Dalam sehari, setidaknya ada 8 ton sampah yang terangkut, dengan 70 persen di antaranya merupakan sampah organik yang sebagian besar berupa kayu dan bambu.
Agus tidak sendiri. Ada 40 petugas lain yang turut memilah sampah di sana. Mereka bertugas dalam dua bagian. Tim pertama memilah sampah dari hasil pencacahan pertama, yakni sampah yang diangkat langsung dari sungai.
Adapun tim selanjutnya memilah sampah dari mesin pencacah kedua. ”Proses pemilahan harus dilakukan seketat mungkin agar sampah yang dikelola bisa berfungsi dengan baik,” kata Agus yang bertugas menjadi Koordinator Tim Pemilah.
Baca juga: Menuju Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik
Selain sampah plastik, ada beberapa jenis sampah yang tidak boleh ikut dicacah, antara lain sampah besi, baja, paku, dan batang kayu yang terlalu besar.
”Pemilahan harus dilakukan secara cermat agar sampah yang diolah benar-benar sampah organik,” kata Agus yang baru empat bulan mengemban tugas tersebut.
Sebelum bertugas di tim pemilah, Agus dan teman-temannya harus mengikuti pelatihan selama empat bulan. Proses pemilahan menjadi bagian yang penting karena hasil dari pemilahan itu dijadikan pupuk kompos dan bahan bakar alternatif (refuse derived fuel/RDF).
Hasil pupuk kompos disalurkan kepada warga sekitar tempat penyaringan, kelurahan hingga ke kecamatan yang ada di Jakarta. Salah satu tempat yang menerimanya adalah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Kepala Seksi Bidang Ekonomi Pembangunan Kelurahan Pondok Kopi Asti Sitorus menuturkan, pupuk yang digunakan untuk menanam sejumlah tanaman di tempat ini berasal dari tempat pengolahan sampah milik pemerintah provinsi.
Baca juga: Pola Pikir Masyarakat tentang Pengelolaan Sampah Masih Jadi Tantangan
Dari pupuk itu, tumbuh berbagai tanaman, seperti cabai, terong, anggur, dan pepaya.
”Hasil panen pun kemudian dijual kepada masyarakat dengan harga lebih murah daripada harga pasar,” katanya.
Itulah sebabnya, banyak warga yang mengantre. Upaya ini diharapkan dapat menekan risiko inflasi di sekitar Pondok Kopi.
Adhitya, Koordinator Lapangan Penyaring Sampah di TB Simatupang, menuturkan, tempat penyaringan sampah ini menjadi garda terdepan penghalang sampah dari hulu Ciliwung.
Jenis sampah dari hulu berbeda dengan sampah di Pintu Air Manggarai. Di Pintu Air Manggarai kebanyakan adalah sampah domestik rumah tangga dari warga yang tinggal di bantaran sungai di permukiman yang berada di wilayah Jakarta.
Pencegatan 230 meter kubik sampah ini berdampak signifikan pada kelancaran debit air menuju Pintu Air Manggarai.
Dia menjelaskan, pada hari normal, jumlah sampah yang bisa diangkut mencapai 8 ton per hari. Namun, pada saat intensitas hujan tinggi, volume sampah akan meningkat mencapai 100 ton per hari.
Kondisi ini terjadi pada awal November lalu, saat hujan pertama kali mengguyur Jakarta, Depok, dan Bogor. Adhitya pun memperkirakan jumlah sampah akan meningkat pada akhir tahun 2023 sampai awal tahun 2024 seiring dengan meningkatnya intensitas hujan.
Pada hari normal, ketinggian air hanya sekitar 5 meter. Namun, saat kondisi di Bogor atau Depok masuk kategori Siaga I, ketinggian air bisa mencapai 23 meter.
”Kini kami terus waspada, apalagi saat hujan turun. Karena jika Bendungan Katulampa masuk dalam Siaga II, bahkan Siaga I, dampaknya akan masuk ke Jakarta enam jam kemudian,” kata Adithya.
Menurut Adithya, tempat penyaringan sampah memiliki dua manfaat. Selain untuk mencegah sampah masuk lebih dalam ke pusat kota Jakarta, ada beberapa bahan pengolahan sampah yang bisa digunakan lagi untuk pelestarian lingkungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, Proyek Saringan Sampah Ciliwung berhasil menangani 230 meter kubik sampah yang berasal dari hulu sampai saat ini. Upaya ini dilakukan demi mencegah tumpukan sampah di hilir aliran sungai, yaitu pusat kota, serta mengurangi risiko banjir di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
”Penanganan sampah masih tetap dan terus dilanjutkan hingga saat ini mengingat sampah terus berdatangan karena hujan yang masih turun,” ujar Asep.
Pengawas Unit Penanganan Sampah Badan Air Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta Bily Sagala mengatakan, saringan sampah di lokasi berada di lahan seluas 7.048 meter persegi. Hingga akhir November 2023, saringan sampah tersebut mampu mencegat 230 meter kubik sampah dari aliran Sungai Ciliwung.
”Pencegatan 230 meter kubik sampah ini berdampak signifikan pada kelancaran debit air menuju Pintu Air Manggarai,” ujarnya.
Bily menjelaskan, 230 meter kubik sampah yang tersaring terdiri dari kayu, karet, plastik, tekstil, kaca, hingga logam. Sampah tersebut dipilah, kemudian diolah menjadi bahan baku kompos serta RDF.
”Sampah yang diolah biasanya menghasilkan 43 persen kompos dan 53 persen RDF serta sisanya berupa residu,” ucapnya.
Ia menambahkan, hingga November 2023, pengolahan sampah di lokasi ini tercatat sudah mengonversi 145.290 kilogram sampah menjadi RDF yang nantinya bisa digunakan menjadi alternatif bahan bakar pengganti batubara.
”Penanganan sampah masih akan terus diintensifkan. Intensitas hujan yang masih tinggi berpotensi memicu adanya kiriman sampah dari hulu,” ujarnya.
Penyaringan Cisadane
Tidak hanya Sungai Ciliwung, penyaringan sampah juga dilakukan di Sungai Cisadane. Komunitas Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksasuci) yang melakukan hal tersebut.
Ketua Banksasuci Ade Yunus mengatakan, sejak 2012, dirinya dibantu oleh perusahaan, komunitas, dan ratusan sukarelawan berupaya mengurangi intensitas sampah yang tergenang di daerah aliran Sungai Cisadane. Sebab, jika dibiarkan, sampah itu akan merusak lingkungan.
Ancaman itu disampaikan kepada anak muda agar mereka sadar untuk turut menjaga lingkungan. ”Tidak hanya memberikan pengajaran melalui omongan, tetapi juga mengajak mereka terjun langsung ke lapangan,” kata Ade.
Usaha itu berdampak pada berkurangnya intensitas sampah di Sungai Cisadane. Saat ini, rata-rata sampah yang mengambang di sungai sekitar 18 ton per bulan. Jumlah ini menurun dari tahun lalu, dengan rata-rata sampah yang terjaring mencapai 21 ton per bulan.
Dari jumlah itu, tidak ada yang dibuang di tempat pembuangan akhir karena semua sudah terkelola baik untuk didaur ulang menjadi bahan baku plastik ataupun diubah menjadi pupuk kompos.
Upaya penyaringan sampah bukan sekadar tanggung jawab pemerintah atau komunitas, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Setidaknya mengelola sampah sejak dari sumbernya.