Keceriaan Anak-anak Itu Mendadak Lenyap
Tragedi Jagakarsa menjadi pelajaran berharga untuk tak menganggap enteng kekerasan dalam rumah tangga.
Keceriaan VA (6), Sa (4), Aa (3), dan Ak (1) tak lagi terdengar. Mereka meregang nyawa dan terbujur kaku di kamarnya. Sebuah tragedi yang menjadi pelajaran berharga bagi semua orang untuk tidak menganggap enteng kekerasan dalam rumah tangga.
Puluhan orang mengerumuni sebuah rumah di Gang Roman, Jalan Kebagusan RT 004 RW 003 No 1A, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023) malam. Bau menyengat dari dalam rumah tak menyurutkan mereka untuk menyaksikan polisi memeriksa setiap sisi rumah berukuran sekitar 5 x 7 meter itu.
Di dalam rumah, PD, ayah keempat anak itu, meringkuk di kamar mandi dalam kondisi terluka. Guna menyelamatkan PD, warga segera membawanya ke rumah sakit. Setelah tuntas memeriksa, petugas membawa jasad keempat anak itu ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Melihat tragedi memilukan ini, Titin (49), tetangga korban, hanya terduduk lemas. Ia tidak menyangka anak-anak yang sering bermain ke rumahnya itu kini telah tiada. ”Mereka anak yang baik, sangat nurut sama orangtuanya,” ujar Titin dengan mata berkaca-kaca.
Semasa hidupnya, hampir setiap sore, keempat anak itu selalu bermain di luar rumah. Keceriaannya membawa sukacita bagi tetangganya.
Namun, pada Minggu (3/12/2023) sore, keceriaan itu seakan lenyap. Anak-anak itu tidak bermain seperti biasanya. Awalnya, Titin tidak menaruh curiga pada kejanggalan itu. Mungkin saja sang anak dibawa orangtuanya jalan-jalan.
Kecurigaan muncul pada Rabu (6/12/2023) siang saat warga mencium bau tidak sedap bersumber dari rumah keempat anak itu. Warga pun segera mendobrak pintu rumah.
Alangkah terkejutnya mereka ketika menemukan PD meringkuk di kamar mandi dalam kondisi terluka dan empat anaknya tidur berjajar di kamarnya dalam kondisi sudah tidak bernyawa.
Baca juga : Tragedi Jagakarsa Jadi Pelajaran untuk Lebih Peka pada Kasus KDRT
Konflik
Ketua RT 004 RW 003 Kelurahan Jagakarsa, Yakub, menerangkan, kemungkinan peristiwa ini berawal dari konflik yang terjadi antara PD dan istrinya, DP. Dari laporan warga, keduanya sempat berselisih dan berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada Sabtu (2/12/2023). Akibatnya, DP mengalami luka di kepala.
”Karena itu, DP langsung dibawa ke RSUD Pasar Minggu untuk menjalani perawatan,” kata Yakub.
Ia belum mengetahui penyebab konflik tersebut. Namun, Yakub menduga hal itu terjadi karena faktor ekonomi. Masalahnya, sejak anak keempat lahir hingga saat ini, pasangan suami-istri ini tidak bekerja.
Sebelumnya, PD pernah bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan transportasi dan DP merupakan pegawai kantoran. Akibat masalah inilah, sudah empat bulan terakhir, mereka tidak mampu membayar kontrakan.
Akan tetapi, masalah itu tidak pernah dibicarakan. Di kalangan warga sendiri, keluarga ini juga dikenal tertutup. ”Sampai sekarang pun saya belum mendapatkan keterangan dari mana mereka berasal,” kata Yakub.
Jika sejak awal keluarga ini terbuka akan masalahnya, Yakub meyakini warga pasti akan membantu. Peristiwa memilukan ini pun tidak akan terjadi.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan dokter forensik, laboratorium forensik, psikologi forensik, dan profesi lain untuk mengungkap misteri kematian empat anak itu.
Dari hasil penyisiran di lokasi kejadian, polisi menemukan tulisan berwarna merah di lantai, ”Puas Bunda, tx for all”. ”Masih didalami itu, ditulis siapa, warna merah apa, harus pasti tidak boleh berandai-andai. Ini yang menulis siapa, warna merah ini apa, harus kami pastikan, akan kami lakukan uji laboratorium,” kata Ade.
Baca juga : Keruwetan Masalah Keluarga Berujung Petaka di Jagakarsa
Dugaan sementara, berdasarkan laporan polisi Polsek Jagakarsa dari pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk kakak DP, istri PD merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kepala Rumah Sakit Polri Kramat Jati Brigadir Jenderal (Pol) Haryanto memperkirakan, keempat anak itu sudah meninggal sejak 3-5 hari yang lalu. ”Kemungkinan mereka meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan,” katanya.
Dalam pemeriksaan luar tidak ditemukan luka benda tajam, hanya ada luka lebam di bagian mulut dan hidung korban. Namun, belum bisa dipastikan apakah luka lebam itu disebabkan oleh bekapan atau bukan.
Karena itu, lanjut Haryanto, pihaknya akan melakukan pemeriksaan jaringan tubuh melalui patologi anatomi atau histopatologi untuk memastikan luka tersebut. ”Sebab, bisa saja itu adalah bagian dari pembusukan,” katanya.
Sementara ayah korban, PD, masih dalam perawatan. Saat ditemukan di kamar mandi, kondisinya sudah lemas dengan luka di bagian lengan, perut, dan kaki. ”Saat ini PD sedang menjalani pemulihan,” katanya. Terkait pemeriksaan kejiwaan dari PD, itu tergantung pada permintaan penyidik.
Cermat
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri berharap polisi cermat dalam menangani kasus ini. Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa kondisi mental pelaku, apakah mengalami depresi atau mungkin di bawah pengaruh obat-obatan.
Di sisi lain, Reza berharap polisi tidak hanya melihat kasus ini hanya sebagai kasus KDRT semata, tetapi sudah masuk ranah kasus pembunuhan berencana terhadap anak. ”Kalau pelakunya waras, ia harus dihukum mati,” ujar Reza.
Melihat fenomena ini, Reza merasa khawatir, publik sedang berhadapan dengan tanda-tanda wabah bunuh diri (suicide epidemic). Dalam kasus ini, pelaku sepertinya juga mencoba bunuh diri, tapi gagal.
Apa pun itu, bunuh diri sudah menjadi aksi. ”Dengan asumsi ini membuktikan bahwa suicide epidemic bertalian erat dengan KDRT, maka tidak cukup lagi penyikapan kasus per kasus,” kata Reza.
Sanksi berupa pemenjaraan tidak serta-merta mujarab. Ia mengusulkan ada perlakuan selektif berupa wajib rehabilitasi bagi pelaku, antara lain, pengendalian amarah (anger management) dan intoksikasi obat-obatan terlarang.
Dari kejadian ini, Reza berharap polisi lebih cepat dalam merespons laporan tentang KDRT. Memang tidak mudah dipraktikkan di lapangan. Masih banyak warga yang menganggap KDRT merupakan ranah privat yang tidak boleh dicampuri. Ditambah lagi krisis kepercayaan publik pada kepolisian.
Namun, hal itu bisa dilakukan jika ada skema yang tepat. Berkaca pada polisi di Amerika Serikat dan Australia yang menanggapi laporan KDRT hanya dalam waktu lima menit.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah berharap kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih peka terhadap kasus KDRT.
Maryati berpendapat, ketika eskalasi konflik dalam rumah tangga meningkat, anak menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak. Dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak kerap kali dijadikan obyek untuk mengancam salah satu pihak.
”Ada yang sengaja menyekap anak agar salah satu pihak (suami atau istrinya) mau kembali ke rumah,” katanya.
Lebih buruk, ada yang sampai membunuh anaknya sendiri karena tidak ingin buah hatinya ”menderita” lebih jauh akibat perselisihan yang terjadi antara kedua orangtuanya.
Pola ini semestinya menjadi poin kritis bagi semua pihak untuk tidak menganggap enteng masalah KDRT. ”Jika KDRT itu sudah menyebabkan korban terluka atau bahkan meninggal, ini bukan lagi masuk ranah privat, melainkan sudah menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama,” kata Maryati.
Jika semua pihak menyadari perannya masing-masing, mungkin saja keempat anak ini masih bermain dengan ceria. Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir.