Ramai-ramai Tolak Mekanisme Presiden Tunjuk Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta
Penunjukan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta oleh presiden melanggar hak 10,67 juta warga Jakarta.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta melahirkan kontroversi. Warga Jakarta menolak ketentuan presiden menunjuk, mengangkat, dan memberhentikan gubernur dan wakil gubernur dengan memperhatikan usul atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta selanjutnya disebut RUU Daerah Khusus Jakarta akan menggantikan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI. Keputusan RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi usul inisiatif DPR diambil dalam rapat paripurna ke-10 masa persidangan II tahun 2023-2024, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak RUU tersebut. Alasannya karena Pasal 10 Ayat 2 mengatur gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
Pasal 10 Ayat 2 ini sebelumnya tidak ada dalam draf RUU itu per 11 September 2023 yang dipegang Kompas. Hanya ada tiga ayat dalam Pasal 10. Salah satunya mengatur gubernur dan wakil gubernur dipilih secara berpasangan melalui pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, mengatakan, warga Jakarta mampu memilih gubernur dan wakil gubernur. Jangan mengebiri hak 10,67 juta warga.
”Biaya pilkada bukan alasan karena 8,25 juta pemilih di Jakarta itu tidak ada artinya dengan pemilih provinsi lain yang jumlahnya 28 juta lebih. Sangat aneh apabila sekarang timbul kembali sentralistik,” tutur Gilbert, Rabu (6/12/2023).
Menurut Gilbert pertanyaan mengenai Pasal 10 Ayat 2 sudah disampaikan secara resmi dalam Rapat Komisi B ke Pemprov DKI Jakarta melalui Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah Sri Haryati dan grup percakapan Dewan. Namun, tidak ada jawaban pasti atau jelas sehingga timbul kesan DPRD tidak diajak sejak awal.
Gilbert mengatakan demikian karena RUU Daerah Khusus Jakarta merupakan wewenang DPR. Akan tetapi, mereka harus tetap aktif melihat kepentingan warga. Begitu juga media massa ikut aktif mengontrol kewenangan eksekutif dan legislatif agar tidak keluar dari koridornya atau kepentingan umum.
”Sedikit sekali dapat informasi. Aneh seperti ada yang ditutupi. Ini isu yang besar, ide untuk kembali sentralistik, terpusat ke presiden seperti Orde Baru,” ucap Gilbert.
Pasal 10 Ayat 2 juga disesalkan Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DKI Jakarta Taufik Zoelkifli. Ketentuan tersebut merupakan langkah mundur atau kembali sentralistik. Padahal semangat setelah reformasi adalah daerah mengurus dirinya sendiri.
”Kami tidak setuju. Ibu kota pindah ke Nusantara. Berarti Jakarta bukan pusat. Urusan daerah diurus daerah, bukan semuanya oleh pusat. Sepertinya keterusan penunjukan penjabat kepala daerah oleh presiden," kata Taufik.
Pasal bermasalah
Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD melanggar proses demokrasi dan otonomi daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman menyebutkan, penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden melanggar proses demokrasi dan otonomi daerah sekalipun dengan dalih memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Apalagi Jakarta merupakan salah satu daerah khusus di Indonesia.
”Pasal bermasalah karena pilkada langsung jadi kesempatan warga berpartisipasi untuk menentukan pemimpin. Ini paling substansial dari demokrasi,” kata Herman, Rabu (6/12/2023).
Nanti gubenur lebih tunduk pada presiden. Bukan kepada jutaan warganya karena kepanjangan tangan dari presiden. (Ari Subagyo Wibowo)
Menurut Herman, warga Jakarta patut mempertanyakan tujuan penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden, apakah untuk memperkuat efektivitas pelayanan publik atau tujuan lain karena tidak ada jaminannya.
Justru jangan sampai aturan sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI hanya jadi hiasan saja.
”Dua tahun terakhir ini banyak penunjukan penjabat kepala daerah. Ini jadi sinyal kepada publik karena proses penunjukan tidak terbuka, tidak ada partisipasi masyarakat, sulit diminta pertanggungjawabannya,” ucap Herman.
Herman meingatkan agar jangan sampai kemudian masalah itu terjadi di Jakarta. Sebab, dalam pelaksanaannya presiden bisa mengevaluasi gubernur dan wakil gubernur dalam periode tertentu. Dampaknya terjadi ketidakstabilan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Jakarta ke depannya.
”Jakarta seharusnya tetap jadi provinsi seperti sekarang. Untuk wali kota atau bupati juga tetap dipilih oleh gubernur dengan catatan memperkuat pengawasan perangkat daerah di level kota/kabupaten," kata Herman.
Suara warga
Pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta disebut kurang melibatkan warga. Sebaliknya ketentuan penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden menunjukkan arogansi kekuasaan.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo menyayangkan kurangnya pelibatan warga dalam pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta. Hal tersebut jauh dari demokrasi dan menunjukkan arogansi kekuasaan presiden.
”Nanti gubenur lebih tunduk pada presiden. Bukan kepada jutaan warganya karena kepanjangan tangan dari presiden,” ujar Ari.
Forum Warga Kota Jakarta sudah menanyakan perkembangan RUU Daerah Kusus Jakarta. Namun, tidak ada jawaban sampai beredar drafnya di publik. Pihaknya menentang hal tersebut karena tidak ingin terjadi kemunduran demokrasi. Apalagi warga telah berdarah-darah memperjuangkan reformasi, otonomi daerah, dan pemilu ataupun pilkada langsung.
”Biasanya diundang dalam pembahasan peraturan derah. Kali ini tidak dilibatkan. Kami akan advokasi warga supaya bersuara dan bersurat ke DPR atas keberatan isi RUU Daerah Khusus Jakarta,” kata Ari.
Forum Warga Kota Jakarta berharap muncul tekanan dari warga agar penguasa tidak menutup mata dan telinga. Apabila ketentuan itu tetap jalan terus, akan dilakukan uji formil dan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi meskipun ada rasa pesimistis karena kontroversi yang terjadi belakangan.
Ary menambahkan, warga Jakarta harus melawan kendati pemerintah punya kuasa penuh dengan dukung parlemen. Peran media massa juga penting sebab warga Jakarta kurang tahu dan kurang dilibatkan dalam penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta.