Menggali Sisa Sejarah Kolonialisme di Pulau Onrust
Pulau Onrust menyisakan sejarah yang tertimbun di sana. Nilai sejarah dan visualisasi cagar budaya ini perlu dijaga.
Embusan angin menerjang cukup kuat saat perahu mesin menepi di sudut Pulau Onrust di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Rabu (15/11/2023). Desiran ombak, kicauan burung, dan pohon-pohon tinggi bertajuk lebar menyempurnakan ketenangan dan keasrian pulau itu. Suasana yang berbanding terbalik dengan riuh dan padatnya daratan Jakarta.
Pulau Onrust merupakan salah satu pulau bersejarah di kawasan gugusan Kepulauan Seribu. Pulau dengan luas sekitar 8,22 hektar ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2209 Tahun 2015 tentang Penetapan Gugusan Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Nama Onrust diambil dari bahasa Belanda yang berarti ’tidak pernah beristirahat’ atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai unrest. Namun, ada pula sumber lain menyatakan bahwa nama Onrust diambil dari nama penghuni pulau yang masih keturunan bangsawan Belanda, yaitu Baas Onrust Cornelis van der Walck.
Baca juga: Menelusuri Jejak Onrust, Titik Kumpul VOC Sebelum Menguasai Jakarta
Saat dikunjungi, pulau ini cukup ramai. Di sana, terdapat enam arkeolog yang sedang melakukan ekskavasi atau penggalian kawasan cagar budaya berbasis ilmu arkeologi, beberapa warga yang membantu mereka, serta beberapa nelayan yang tengah singgah dan memancing. Sebuah gubuk kecil didirikan sebagai tempat warga menjual makanan dan minuman.
Saat menyusuri bagian tengah pulau, banyak puing bangunan yang sudah hancur. Kayu, bata, batu, dan reruntuhan bangunan tua banyak ditemukan saat kaki menapaki Pulau Onrust. Meskipun begitu, reruntuhan itulah yang membawa imajinasi pengunjung kembali ke masa era kolonial.
Di pulau ini, pengunjung disuguhi kekayaan warisan dan bangunan sejarah dari masa kolonial, seperti pelabuhan kuno dan benteng. Di sana, terdapat kompleks pemakaman seorang yang dikenal sebagai pemberontak bernama Kartosuwiryo. Terdapat pula makam penguasa Onrust, Cornellis Vogel, dan beberapa makam lainnya.
Di sebelah kompleks makam, terdapat museum bekas penjara untuk pemberontak yang dibangun Belanda. Di dalamnya, ada patung-patung yang menggambarkan proses interogasi hingga ruang pengadilan bagi para pemberontak.
Baca juga: Kisah Pulau Karantina Penyakit Menular sejak Era Kolonial
Sumur bekas penduduk yang dibangun pada zaman Belanda juga masih ada. Pohon-pohon tinggi mengelilingi sisa bangunan Belanda itu, salah satunya pohon kedondong yang mengeluarkan banyak getah.
Banyaknya sisa bangunan itu menunjukkan fungsi Pulau Onrust memang terus berkembang sejak tahun 1600 hingga 1990. Arkeolog senior dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, bercerita, pulau ini pernah dijadikan tempat peristirahatan Pangeran Kesultanan Banten, lalu diambil alih pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai dermaga pembuatan dan perbaikan kapal, dan sebagai gudang penyimpanan komoditas ekspor rempah.
Selanjutnya, pulau ini pernah menjadi salah satu basis pertahanan laut pasukan Hindia Belanda di utara Batavia, hingga menjadi tempat karantina penderita virus leptospirosis dan penjara di era kolonial Jepang.
Baca juga: Fenomena Ikan Mabuk dan Bencana Nutrisi Berlebih di Teluk Jakarta
Jika ingin mengenal lebih dalam mengenai sejarah Pulau Onrust, pengunjung dapat berkunjung ke Museum Taman Arkeologi Onrust yang berada di dalam Pulau Onrust. Di sana, tersimpan banyak rekam jejak sejarah pada masa penjajahan Belanda, juga terdapat miniatur Pulau Onrust dari beberapa periode.
Ekskavasi
Untuk melanjutkan penelitian arkeologi terdahulu, Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta di bawah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta kembali melakukan ekskavasi arkeologi di Pulau Onrust setelah terakhir kali dilakukan pada 1995. Selain itu, tujuan ekskavasi ini untuk pembuktian titik lokasi jalan keluar masuk dan batas-batas bastion pada benteng pertahanan di Pulau Onrust yang mengacu pada denah buatan JW Heydt pada 1744.
Ekskavasi ini dilakukan oleh tim ekskavasi yang dipimpin arkeolog senior Candrian Attahiyat bersama lima arkeolog muda dengan bantuan teknologi pemindaian georadar. Kegiatan ini dilakukan 14 hari pada 8-22 November 2023.
”Kami turut melibatkan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Arkeologi dari Universitas Halu Oleo Kendari dan Universitas Indonesia,” kata Candrian saat ditemui di Pulau Onrust, Rabu (15/11/2023).
Baca juga: Setelah 28 Tahun, Ekskavasi Pulau Onrust Kembali Dilakukan
Para mahasiswa itu masing-masing diberikan beban pekerjaan mulai dari penjajakan, observasi pemetaan, ekskavasi, dan analisis bersama-sama. Meskipun beban pekerjaan yang diberikan tersebut masih terbilang cukup mendasar, menurut Candrian, pelaksanaannya tidak gampang bagi para calon arkeolog.
Para arkeolog menggali kembali benteng ataupun benda-benda arkeologis yang ada di Pulau Onrust dan sekitarnya. Nantinya, temuan tersebut akan disimpan dan ditampilkan di Museum Arkeologi Onrust.
”Obyek yang kami teliti merupakan struktur sisa fondasi benteng besar peninggalan kolonial Belanda pada tahun 1600-an. Fondasi benteng pertahanan tersebut terletak di susunan tanah paling bawah, sementara di atasnya ada sekitar tiga lapisan konstruksi yang dibangun pada dekade lain,” kata Candrian.
Benteng pertama di Pulau Onrust dibangun pada 1656 bersegi empat dan hanya dilengkapi dua bastion dengan courtine yang tidak panjang. Benteng awal ini dibongkar dan diperluas menjadi bangunan benteng besar secara bertahap dimulai pada 1671. Kemudian, benteng besar ini digambarkan dalam peta tahun 1744 buatan JW Heiydt yang berbentuk segi lima dengan bastion pada masing-masing sudutnya.
Baca juga: DKI Jakarta Kaji Potensi Penambahan 30 Cagar Budaya Tahun Ini
Pihaknya berharap dapat membuktikan benteng besar berbentuk segi lima dengan bastion pada masing-masing sudutnya yang sesuai dengan denah. Lalu, untuk mengetahui apakah luas benteng tersebut benar mencapai dua pertiga dari Pulau Onrust.
Hingga saat ini, para arkeolog telah menemukan sisa bangunan dan fondasi sisi utara, sisa struktur benteng, fasilitas umum, dan temuan lepas. Adapun ukuran ketebalan benteng mencapai 2 meter. Dari temuan ekskavasi, terlihat fondasi benteng tidak hanya dari batu dan karang, tetapi juga dari kayu.
”Kami mendapatkan hasil ketebalan benteng ini 1,5-2 meter. Kami juga mendata kembali tiga bastion yang baru terungkap,” tuturnya.
Candrian mengatakan, fondasi bangunan yang ada di Pulau Onrust saat ini tertutup tumpukan reruntuhan sehingga tidak sesuai dengan denah titik lokasi akses keluar-masuk dan batas-batas bastion benteng pertahanan yang pernah digambarkan JW Heydt.
”Kami masih berusaha menemukan pintu masuk benteng sisi selatan yang dari dermaga,” kata Candrian.
Ketua Satuan Pelaksana Pelayanan Museum Arkeologi Onrust Teuku Muhamad Rizki Ramadhan mendukung penuh kegiatan ekskavasi ini. Pihaknya berharap kegiatan ini dapat menghasilkan dasar pertimbangan untuk pelestarian cagar budaya di Pulau Onrust serta mendukung narasi edukasi yang disajikan oleh Museum Arkeologi Onrust kepada masyarakat yang berkunjung.
”Meskipun sedang ada ekskavasi, kami tetap membuka kunjungan masyarakat ke Pulau Onrust karena sudah kami batas-batasi. Museum juga tetap bisa dikunjungi,” kata Rizki.
Ia menambahkan, ada beberapa program pembangunan yang menurut rencana akan dikembangkan di Pulau Onrust. Sebab, Pulau Onrust sudah resmi menjadi Museum Arkeologi Onrust yang sebelumnya merupakan Taman Arkeologi Onrust.
”Ada kriteria yang perlu dikejar, seperti membuat ruang temporer, ruang temporal tetap, dan ruang konservasi. Kita akan kejar itu dulu, lalu mengembangkan lagi,” ujarnya.
Perhatian pemerintah
Candrian sedikit prihatin dengan kondisi Pulau Onrust sekarang. Menurut dia, pulau itu seperti kawasan yang baru digusur. Padahal, banyak sejarah serta bangunan bersejarah di sana.
Menurut Candiran, Pulau Onrust masih perlu dukungan lebih lanjut dari Pemprov DKI. Untuk menarik minat pengunjung dan memperindah visual Pulau Onrust, ia menilai pemerintah bisa melakukan sedikit rekonstruksi terkait penemuan hasil ekskavasi.
Benda peninggalan bersejarah harus tetap dijaga dan dirawat.
”Setiap sudut benteng nantinya akan diberi tanda. Selain mempermudah pengunjung, itu juga mempermudah pemerintah jika berniat merekonstruksi bangunan tersebut. Ini bukan rekonstruksi seutuhnya, paling hanya berkisar 20-30 sentimeter,” tutur Candrian.
Masyarakat yang datang nantinya juga diharapkan lebih mengenal sejarah dengan adanya peta dan tanda yang dibuat. Meskipun demikian, wisatawan di Pulau Onrust dinilai sebaiknya tetap dibatasi untuk menjaga cagar budaya tersebut.
”Pemerintah harus bangga memiliki kawasan yang memiliki banyak sejarah. Masyarakat juga harus memahami tentang sejarah dan bangunan ini. Sebab, beberapa wisatawan yang berkunjung, justru tanpa disengaja dapat merusak benda-benda peninggalan bersejarah karena ketidaktahuannya,” katanya.
Menurut Candrian, benda peninggalan bersejarah harus tetap dijaga dan dirawat. Hal ini bukan untuk membanggakan penindasan kolonial di masa lalu, melainkan sebagai cerita sejarah kepada generasi masa depan, bahwa dengan adanya penjajahan, ada pula arti perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Rizki menambahkan, Pulau Onrust dan beberapa pulau lain di Kepulauan Seribu masih perlu mendapatkan perhatian lebih. Di antaranya mengenai keterbatasan listrik dan pemeliharaan pulau.
Keberadaan Pulau Onrust dan beberapa cagar budaya lainnya di DKI Jakarta perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Kontribusi pemerintah dan masyarakat harus diperkuat untuk menjaga nilai sejarah dan visualisasi salah satu cagar budaya di Jakarta ini.