Satu Dekade Upayakan Raperda Kawasan Tanpa Rokok
Sepuluh tahun lebih DKI Jakarta mengupayakan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok. Namun, pembahasannya mandek. Padahal, selama kurun waktu itu, jumlah perokok bertambah dan usia perokok kian muda.
Pada Kamis (26/10/2023), DPRD DKI Jakarta memasukkan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok atau Raperda KTR sebagai satu dari 29 raperda yang akan dibahas dan disahkan sebagai peraturan daerah tahun 2024. Kembali masuknya raperda tersebut merupakan kabar baik sekaligus angin segar dalam upaya pengendalian produk tembakau di ibu kota Jakarta.
Akan tetapi, Raperda KTR sudah 11 tahun dibahas dan belum kunjung disahkan menjadi perda. Pada tahun 2023, pembahasannya sampai tahap Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengirimkan surat kepada DPRD DKI Jakarta untuk melanjutkan pengesahan Raperda KTR.
”Sudah 11 tahun. Seperti ada tarik ulur kepentingan. Komitmen anggota DPRD kurang untuk segera mengesahkan Raperda KTR. Bisa jadi karena kurang semangat. Perlu dorongan dari publik dan media massa,” kata Wakil Ketua Forum Warga Kota Indonesia Azas Tigor Nainggolan, awal Oktober 2023.
Sebelumnya, dalam rapat Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta, Jumat (22/9/2023), Azas meminta Raperda KTR diprioritaskan guna membangun kesadaran dan melindungi warga dari bahaya rokok.
Dalam kesempatan terpisah, pada Oktober 2023, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menyebutkan, tidak ada tarik ulur kepentingan pembahasan Raperda KTR. Raperda tersebut masuk sebagai inisiatif DPRD sehingga pembahasannya cukup panjang.
Sebagai inisiatif DPRD, maka raperda harus selesai dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah. Lalu dibahas lagi bersama Pemprov DKI Jakarta. ”Harus melewati dua tahapan pembahasan. Maka, tahun ini diusulkan dalam inisiatif eksekutif supaya lebih cepat,” ujar anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta ini sebelum meninggal pada 14 Oktober 2023.
Selain jadi inisiatif eksekutif, komitmen bersama antara legislatif dan eksekutif diperlukan guna mempercepat pembahasan Raperda KTR. Salah satu urgensinya ialah data bertambahnya jumlah perokok dan usia perokok kian muda.
Baca juga : Tanpa Sanksi Tegas, Aturan Larangan Merokok di Ruang Publik Jakarta Tak Efektif
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak. Usia pertama kali merokok juga semakin muda. Pada 2013, sebanyak 17,3 persen mulai merokok pada usia 10-14 tahun dan 56 persen usia 15-19 tahun. Akan tetapi, pada 2018, sebanyak 23,1 persen mulai merokok pada usia 10-14 tahun dan 52,1 persen pada usia 15-19 tahun.
Hal itu selaras dengan data Global Adult Tobacco Survey yang menyebutkan peningkatan 10 kali lipat jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas dari 2011 ke 2021. Kini, jumlahnya menjadi 6,6 juta orang dengan 2,8 persen di antaranya pelajar usia muda.
Selain sebagai perokok aktif, anak juga terancam sebagai perokok pasif. Sekitar 6 dari 10 pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah, 7 dari 10 pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di tempat umum, dan 1 dari 2 pelajar usia 13-15 tahun melihat orang merokok di sekolah. Tanpa upaya sistematis dan masif, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan 6 juta anak.
Urgensi
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019, jumlah perokok usia 15 tahun ke atas di Jakarta mencapai 26 persen. Mereka rata-rata menghabiskan 72 batang rokok per minggu atau 10,3 batang per hari. Sementara hasil screening merokok medio Januari-September 2023 mendapati 295.584 laki-laki dan 69.719 perempuan merokok.
Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Risky Kusuma Hartono, pertengahan Oktober 2023, mengatakan, pengendalian produk tembakau urgen karena rokok tidak hanya bahaya bagi perokok semata, tetapi juga bagi perokok pasif atau orang sekitar yang terpapar asap rokok.
”Kita harus melindungi anak, ibu hamil, kelompok produktif dengan kawasan tanpa rokok. Mengapa? Karena kawasan dilarang merokok hanya menyentuh perilaku merokok saja, tidak sampai iklan dan menjual rokok,” kata salah satu penyusun naskah akademik Raperda KTR tersebut.
Pengendalian produk tembakau urgen karena rokok tidak hanya bahaya bagi perokok semata, tetapi juga bagi perokok pasif atau orang sekitar yang terpapar asap rokok.
Sejak tahun 2005, Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengendalikan produk tembakau. Regulasi itu antara lain Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.
Selain itu, ada Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok, Pergub Nomor 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau pada Media Luar Ruang, dan Pergub Nomor 40 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok.
Dalam Raperda KTR yang diterima Kompas, kawasan tanpa rokok diartikan sebagai tempat atau ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, atau mempromosikan rokok.
Sementara kawasan dilarang merokok, sesuai pergub, diartikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan sebagai tempat atau area terlarang bagi kegiatan merokok, yaitu tempat umum, tempat kerja, tempat belajar-mengajar, tempat pelayanan kesehatan, angkutan umum, arena kegiatan anak-anak, dan tempat ibadah.
Lebih rinci, dalam Raperda KTR, kawasan tanpa rokok terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar-mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, prasarana olahraga, tempat kerja, tempat umum (kecuali memiliki izin untuk menjual rokok), ruang publik terpadu, dan tempat tertentu yang menyelenggarakan izin keramaian.
Kawasan tanpa rokok di fasilitas pelayanan kesehatan sampai prasarana olahraga merupakan tempat, ruangan, atau area hingga batas pagar terluar. Sementara kawasan tanpa rokok di tempat kerja dan tempat umum berupa tempat, ruangan, atau area hingga batas kucuran air dari atap paling luar.
Tidak boleh disediakan ruangan atau area khusus merokok pada kawasan tanpa rokok. Namun, seseorang dapat merokok di luar batas kawasan tanpa rokok. Selain itu, setiap pengelola kawasan tanpa rokok yang melanggar ketentuan didenda Rp 50 juta oleh satuan polisi pamong praja, sedangkan orang yang merokok didenda Rp 250.000 atau sanksi kerja sosial langsung di tempat.
Selanjutnya, orang yang mengiklankan, mempromosikan, memberikan sponsor, menjual, atau membeli rokok didenda Rp 1 juta; orang yang mengiklankan, mempromosikan, dan memberikan sponsor rokok didenda Rp 50 juta; dan orang yang memperlihatkan atau memajang jenis dan produk rokok di tempat umum yang menjual rokok didenda Rp 10 juta.
Hal ini berbeda dengan pergub yang hanya mengatur warga berhak mengadukan pelanggaran di kawasan dilarang merokok. Pengaduan disampaikan secara lisan atau tulisan melalui kanal resmi.
Baca juga : Semua Daerah Ditargetkan Telah Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok pada 2024
Jelas
Raperda KTR dinilai dapat memperjelas area abu-abu pengendalian produk tembakau dalam suatu kawasan di Jakarta. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Lies Dwi Oktavia Handayani, Jumat (10/11/2023), Raperda KTR mengakomodasi banyak aspek. Intinya, menyamakan persepsi bahwa kesehatan adalah nomor satu. Jika warga tidak sehat, kesejahteraan ekonomi sulit dicapai.
Dwi menuturkan, pembahasan berlangsung sampai 11 tahun karena banyak orang mempertimbangkan aspek di luar kesehatan. Padahal, kawasan tanpa rokok memperjelas rambu-rambu atau tidak ada area abu-abu bagi perokok, pelaku usaha, dan industri. ”Perda lebih jelas dan tegas mengatur area tidak boleh ada aktivitas merokok, menawarkan rokok, mengiklankan rokok, dan seluruh kegiatan terkait rokok. Di luar area silakan, tidak dilarang,” kata Dwi.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta berupaya agar Raperda KTR bisa tuntas dibahas tahun 2024. Prosesnya diupayakan bergulir sejak awal tahun meskipun fokus banyak pihak terpecah ke Pemilihan Umum 2024.
Dwi menambahkan, Perda KTR akan melindungi orang yang belum merokok sekaligus mengurangi perokok pemula. Dengan begitu, mereka tetap produktif dan terhindar dari potensi penyakit pada usia muda. ”Sekarang anak usia 10-15 tahun sudah merokok. Maka, 15-20 tahun kemudian mereka akan panen penyakit saat usia 25-35 tahun, yang seharusnya mulai bekerja,” kata Dwi.
Dalam laman Ikatan Dokter Anak Indonesia disebutkan, anak perokok pasif lebih rentan mengalami batuk, sakit radang paru (pneumonia), dan asma. Bahkan, 165.000 anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok.
Anak perokok pasif lebih rentan mengalami batuk, sakit radang paru (pneumonia), dan asma.
Rokok juga berpengaruh terhadap kondisi tengkes (stunting) pada anak. Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia mengungkap, kejadian tengkes pada anak dari keluarga perokok 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
”Di luar raperda, pemerintah pusat tengah memproses rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mana yang selesai duluan, berguna untuk mengendalikan produk tembakau,” kata Dwi.
Peraturan pemerintah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan pada 11 Juli 2023. Pemerintah menargetkan agar aturan turunan dari undang-undang ini selesai pada September 2023. Namun, RPP menghadapi jalan berliku. Selama periode September-Oktober 2023, misalnya, Yayasan Lentera Anak mencatat banyak pemberitaan di media daring dengan narasi penolakan atas proses penyusunannya.
Narasi tersebut khususnya mengkritisi pasal terkait pengamanan zat adiktif, yakni Pasal 435 hingga Pasal 460, yang dianggap bersifat pelarangan dan sangat restriktif terhadap aktivitas industri dari hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
Mereka meminta pasal pengamanan zat adiktif dikeluarkan dari RPP dan tidak bersedia iklan rokok dilarang karena rokok merupakan produk legal yang diakui oleh negara.
Baca juga : Belajar Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dari Matraman
Program Manager Indonesian Youth Council for Tactical Changes Ni Made Shellasih, awal Oktober 2023, mengatakan, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi merokok sebesar 5,4 persen gagal. Kebijakan yang ada saat ini juga cukup sulit untuk mencapai target RPJMN 2020-2024 untuk menurunkan prevalensi merokok sebesar 8,7 persen.
”RPP yang saat ini sedang dibahas memuat peraturan ketat untuk melindungi anak dan warga Indonesia dari adiksi rokok. Namun, prosesnya alot sehingga harus dikawal,” kata Shellasih.
Peraturan ketat yang dimaksud antara lain soal penghentian penggunaan bahan tambahan, seperti perasa, dalam produksi rokok konvensional atau elektronik guna mencegah minat anak dalam merokok. Selain itu, soal peraturan lisensi dan zonasi mencakup pemberian izin penjualan ritel dan penetapan zona penjualan rokok untuk menghindari penjualan di sekitar lingkungan sekolah.
Ada pula soal pelarangan penjualan rokok batangan dalam kemasan konvensional; penegakan larangan penjualan secara daring dan melalui mesin otomatis untuk meningkatkan pengawasan dan penerapan dan pengawasan 100 persen kawasan tanpa rokok oleh pemda.
Ada pula soal memaksimalkan pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebesar 50 persen dari anggarannya untuk kesejahteraan warga, termasuk petani tembakau, utamanya diversifikasi atau alih tanam.
Salah satu aspek krusial yang sangat diharapkan adalah pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia mendorong RPP sebagai salah satu instrumen penting melindungi kesehatan warga. Salah satu aspek krusial yang sangat diharapkan adalah pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau.
Rokok batangan ataupun elektronik memang barang legal. Akan tetapi, keduanya tergolong barang kena cukai yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi warga atau lingkungan hidup, dan perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Pemerintah didorong berani mengadopsi praktik baik pengaturan rokok di sejumlah negara. Contohnya, Selandia Baru yang mengatur iklan rokok, termasuk iklan rokok elektronik, untuk melindungi generasi muda dari dampak berbahaya rokok.
Sementara China mengimplementasikan pelarangan iklan dan promosi rokok elektronik di berbagai platform, termasuk larangan penjualan rokok elektronik di e-dagang. Tujuannya, agar warga, khususnya anak, tidak mudah membelinya. Adapun Inggris mengadopsi sejumlah kebijakan untuk mendorong warganya mengurangi konsumsi rokok, termasuk rokok elektronik, dengan melarang iklan di berbagai media.
Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyebutkan, penyebab orang, terutama anak-anak, mulai merokok antara lain faktor pemasaran, seperti iklan, promosi, dan sponsor. Lalu, rendahnya edukasi tentang bahaya merokok dan dampaknya serta mudahnya akses anak-anak mendapatkan rokok.
Faktor-faktor itu harus diatur secara ketat untuk menekan prevalensi perokok. Salah satunya melalui RPP yang berorientasi pada perlindungan warga dari rokok konvensional dan elektronik.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, pemerintah memastikan proses penyusunan RPP secara terbuka dan transparan. Partisipasi publik dilibatkan seluas-luasnya melalui pertemuan luring dan daring. Warga juga diberi ruang untuk memberikan masukan pada laman web khusus, https://partisipasisehat.kemkes.go.id.
Industri
Sementara itu, regulasi noncukai yang berlaku selama ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, dinilai sudah komprehensif dan cukup ketat.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi, Selasa (14/11/2023), menilai, beleid itu secara khusus dan fokus melindungi kesehatan warga dari produk tembakau. Namun, sosialisasinya kurang sehingga belum jadi gerakan nasional, termasuk pemantauan dan evaluasi. ”Kami menginginkan pengaturan zat adiktif tembakau dikeluarkan dari RPP Kesehatan dan diatur tersendiri seperti PP 109 Tahun 2012,” ujarnya.
Gaprindo menginginkan hal itu lantaran ekosistem industri hasil tembakau sangat luas dan punya kepentingan berbeda, seperti industri, tenaga kerja, petani, pedagang, dan penerimaan negara. Regulasi yang ketat dinilai kurang memperhatikan cukai hasil tembakau sebesar 10 persen pada penerimaan negara. Selain itu, masih banyak tenaga kerja, seperti petani, yang terlibat dalam mata rantai atau ekosistem tersebut.
Benny menambahkan, pengenaan cukai beberapa tahun terakhir tergolong tinggi atau melebihi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Akibatnya, terjadi pergeseran pembelian rokok dari tarif cukai dan harga tinggi ke golongan lebih rendah. Bahkan, diduga kuat sebagian lari ke rokok ilegal.
”Kombinasi antara cukai yang tinggi dan aturan yang ketat akan lebih menyuburkan rokok ilegal. Produksi rokok resmi atau legal akan turun, tetapi belum tentu menurunkan prevalensi perokok karena konsumsi rokok digantikan oleh rokok ilegal,” kata Benny.