Kasus Anak Diamputasi dan Candaan Membahayakan yang Mengancam Keselamatan
Candaan berbahaya mengancam keselamatan anak. Peran keluarga dan sekolah dibutuhkan untuk memitigasi candaan berbahaya.
Candaan membahayakan mengancam keselamatan anak. Bahkan, dalam beberapa kasus menyebabkan cedera fisik yang bisa mengancam masa depan korban. Peran keluarga dan sekolah sangat diperlukan guna memitigasi dampak yang berbahaya, baik bagi pelaku maupun korban anak.
Dalam waktu satu minggu, setidaknya sudah ada dua laporan kasus candaan membahayakan terjadi di Bekasi, Jawa Barat, yakni di SMP Negeri 2 Kota Bekasi dan di SD Negeri Jatimulya O9, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Di Kota Bekasi, candaan membahayakan membuat korban mengalami robek otot ligamen, sedangkan di Kabupaten Bekasi, tindakan itu diduga menjadi pemicu munculnya kanker yang membuat kaki korban harus diamputasi.
Pada Maret 2023, candaan membahayakan terjadi pada siswa SMP Negeri 2 Kota Bekasi, D (14), yang mengalami robek otot ligamen akibat candaan dari teman sekelasnya, J (14). Peristiwa itu mengakibatkan D tidak bersekolah hingga kini karena harus menjalani dua kali operasi.
Wakil Kepala SMP Negeri II Kota Bekasi bidang Kesiswaan Ririz Mufrij Fouji mengatakan, dari keterangan J diketahui, motif dari candaan itu adalah karena ia menyukai D yang terkenal aktif di sekolahnya.
Baca juga: Perundungan Kian Mengkhawatirkan, Perlu Gerakan Bersama
Keisengan itu tidak hanya sekali J lakukan, tetapi berulang kali, seperti mengambil buku korban atau tindakan yang lain. Tujuannya untuk mendapatkan perhatian korban. Namun, kenakalan terakhir membuahkan malapetaka karena D mengalami cedera parah di kaki kanannya.
Setelah mengetahui D harus dirawat akibat candaan itu, ujar Ririz, pihak sekolah langsung mengunjungi korban dan memberikan sedikit bantuan untuk pengobatannya. ”Kami harus membantu korban karena terlapor (J) merupakan siswa yang kurang mampu,” katanya.
Kami pun telah memediasi keluarga terlapor dan korban. Keduanya sudah bertemu dan terlapor sudah meminta maaf secara langsung kepada orangtua korban. J pun harus menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Ririz menuturkan, agar kejadian ini tidak lagi terulang, pihaknya tidak henti mengingatkan siswa untuk tidak melakukan perundungan, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. ”Peringatan itu saya berikan setiap seusai upacara agar siswa tidak mengerti bahaya dari perundungan atau candaan membahayakan ini,” katanya.
Pihak sekolah pun tidak segan-segan untuk memberikan sanksi, mulai dari peringatan, skorsing, hingga meminta siswa untuk mengundurkan diri dari sekolah. ”Sanksi ini diharapkan bisa memberi efek jera,” kata Ririz. Untuk terlapor J, sudah menerima sanksi berupa skorsing selama seminggu.
Candaan yang menimbulkan malapetaka juga dialami oleh siswa SDN Jatimulya 09, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Fathir Arya Adinata (12). Ia diselengkat (ditendang dari belakang) oleh temannya sendiri sehingga menimbulkan cedera dan luka dalam. Beberapa bulan setelah diselengkat, anak sulung dari Diana Novita itu pun harus diamputasi karena divonis mengalami kanker tulang.
Mila Ayu Dewata Sari, kuasa hukum Fathir, menjelaskan, peristiwa itu terjadi pada Februari 2023. Kala itu, Fathir diajak oleh lima temannya ke kantin. Namun, sebelum tiba di kantin, Fathir diselengkat oleh salah satu temannya berinisial L.
Ketika jatuh, Fathir masih diolok-olok oleh kelima temannya itu dan mereka mengancam agar Fathir tidak mengadukan kejadian ini kepada ibunya, Diana Novita. Akibat diselengkat itu, kaki Fathir terus membengkak, lalu Diana membawa Fathir ke sejumlah rumah sakit.
Melihat kondisi anak sulungnya semakin mengkhawatirkan, Diana membawa anak ke sejumlah rumah sakit ternama. Barulah ketika berada di RS Kanker Dharmais, Fathir divonis mengalami kanker tulang stadium IV. ”Agar dampak kanker tidak menyebar, kaki Fathir akhirnya harus diamputasi,” katanya.
Baca juga: Bersama-sama Atasi Perundungan
Mila meyakini, bibit kanker itu berkembang karena ada pemicunya. Salah satunya karena diselengkat. ”Akibat candaan yang tidak bertanggung jawab itu, Fathir harus kehilangan kaki kirinya,” kata Mila.
Kondisi ini membuat masa depan Fathir seakan abu-abu. ”Psikologis Fathir terus merosot, demikian juga ibunya,” ujarnya.
Setelah kondisi kesehatan Fathir menurun, sang ibu memilih keluar dari perusahaan tempat ia bekerja untuk fokus merawat anak sulungnya itu. ”Kini mereka hanya mengandalkan bantuan dari keluarga dan teman-temannya,” kata Mila.
Mila menegaskan, tindakan yang dilakukan L ini bukan lagi candaan karena sudah menghancurkan masa depan seorang anak, bahkan keluarganya. Karena itu, pihak kuasa hukum mendesak Polres Metro Bekasi untuk menindaklanjuti laporan yang sudah diajukan oleh ibu Fathir pada April 2023 lalu.
”Jangan mentang-mentang ibu Fathir adalah orangtua tunggal dan tidak memiliki kekuatan, jadi laporannya diabaikan,” katanya.
Mila beranggapan, kasus perundungan di sekolah harus disikapi serius karena bisa saja menghancurkan masa depan anak. ”Saya berharap tidak ada lagi Fathir-Fathir lainnya yang menjadi korban karena sikap abai dan menganggap perundungan adalah hal biasa,” kata Mila.
Penyidikan
Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Bekasi Komisaris Widodo Saputra mengatakan, kasus perundungan terhadap Fathir sudah masuk dalam tahapan penyidikan dengan satu orang terlapor. Hingga saat ini, ada delapan saksi yang diperiksa, beberapa di antaranya adalah teman-teman terlapor.
Sutrisna Wijaya, kuasa hukum L, menyatakan akan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan. Menurut dia, pihak keluarga L tidak ada maksud untuk mengabaikan peristiwa itu. Akibat, tekanan publik, L pun cukup terguncang. Ia pun merasa bersalah sempat bertanya apakah karena selengkat itu membuat kaki temannya diamputasi.
”Dari awal, pihak keluarga menyarankan untuk membawa Fathir ke RS, tetapi ibu Fathir ingin membawanya ke pengobatan alternatif,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bekasi Novrian mengatakan, masih banyak warga awam yang menilai semua bentuk kekerasan itu adalah perundungan. ”Bisa saja motif dari tindakan tersebut adalah candaan belaka. Tetapi, candaan yang mereka lakukan itu sudah sangat berbahaya,” katanya.
Pihak keluarga dan sekolah harus bisa memberi batas, mana candaan yang wajar dan mana yang berbahaya.
Adapun perundungan sifatnya menjatuhkan martabat dari korbannya. Misalnya, melakukan perundungan secara verbal dengan melontarkan perkataan yang tidak pantas atau bahkan sikap diskriminatif yang membuat korbannya terintimidasi.
Sebenarnya perundungan tidak hanya dilakukan oleh sesama siswa, tetapi bisa saja dilakukan oleh pendidik yang secara sadar atau tidak sadar mengucilkan seorang anak yang dianggap tidak berprestasi.
Novrian berpendapat, banyak anak yang melakukan candaan berbahaya itu untuk mendapatkan perhatian. Hal ini bisa saja muncul ketika di lingkungan keluarga atau di sekolahnya, mereka merasa terkucilkan.
Agar kasus ini tidak berulang, Novrian berpendapat, perlu ada edukasi, dimulai dari keluarga hingga sekolah, agar tidak melakukan candaan yang bisa membahayakan korbannya. ”Pihak keluarga dan sekolah harus bisa memberi batas mana candaan yang wajar dan mana yang berbahaya,” katanya.