Perundungan Kian Mengkhawatirkan, Perlu Gerakan Bersama
Kekerasan pada anak masih memprihatinkan. Saat ini, kekerasan dalam bentuk perundungan atau ”bullying” kerap terjadi sehingga perlu kolaborasi pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk mengatasinya.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak terus terjadi dan semakin mengkhawatirkan. Bahkan, kasus perundungan atau bullying juga meningkat, seperti halnya kasus kekerasan seksual yang kini mudah ditemui viral di media sosial. Untuk itu, tim pencegahan dan penanganan kekerasan di setiap satuan pendidikan harus segera dibentuk, termasuk juga memperkuat pendidikan kepengasuhan atau parenting.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, di Jakarta, Senin (9/10/2023), mengatakan, kasus kekerasan pada anak merupakan fenomena gunung es. Jumlah yang tidak terdata diduga lebih banyak lagi. Apalagi, kini tren perundungan semakin marak.
”Perundungan ini sebagai tindak kekerasan karena ada pembiaran atau kesempatan bagi para pelaku. Jadi, perlu (ada) introspeksi bagi sistem pendidikan Indonesia,” ujarnya.
Menurut Seto, sesuai dengan disertasi mahasiswa bimbingan S-3-nya yang meneliti di suatu wilayah, di lebih dari 60 persen sekolah terjadi perundungan. Adanya pembiaran serta kekerasan yang dilakukan guru dan orangtua secara tidak disadari menginspirasi anak untuk melakukan perundungan.
”Anak-anak yang tertekan dan stres, yang tidak dipedulikan dan diapresiasi, bisa memunculkan sikap agresif dalam bentuk kekerasan sebagai bentuk ego sehingga muncul bullying di satuan pendidikan. Jadi, perlu ada ketegasan sikap, guru dan orangtua yang tidak menoleransi kekerasan, memastikan sekolah ramah anak dan bebas bullying,” kata Seto.
Karena kasus perundungan semakin tinggi, maka harus ada kesadaran sekolah untuk membentuk satuan tugas (satgas) antiperundungan di sekolah atau tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Di dalamnya ada kepala sekolah, guru, dan komite sekolah.
Di tingkat SMP dan SMA sederajat, OSIS turut dilibatkan. Demikian juga dinas pendidikan di daerah dan Kemendikbudristek secara serius mesti mencanangkan sekolah ramah anak.
Dari Rapor Pendidikan Indonesia Tahun 2023 yang dikeluarkan Kemendikbudristek, untuk iklim keamanan sekolah yang memberikan rasa aman secara fisik ataupun psikologis, seperti tidak adanya perundungan, hukuman fisik, kekerasan seksual, narkoba, merokok, dan minuman keras, secara umum dikategorikan baik. Namun, pada 2022, di jenjang SMP dan SMA sederajat justru terjadi penurunan, dengan kisaran skor 65-66.
Baca juga: Mencegah Perundungan di Sekolah
Jika mengacu data di laman Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 3 Oktober 2023, tercatat ada 20.270 kasus kekerasan sepanjang Januari 2023 sampai hari ini. Dari jumlah tersebut, 7,3 persen korban berusia 0-5 tahun, 18 persen korban berusia 6-12 tahun, dan 32,1 persen korban berusia 13-17 tahun. Dari jumlah tersebut, tercatat 80 persen korban adalah perempuan.
Sementara itu, jenis kekerasan yang dialami mulai dari yang tertinggi sampai terendah meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan lainnya, penelantaran, perdagangan orang (trafficking) dan eksploitasi. Adapun pelaku 89,5 persen berjenis kelamin laki-laki, yaitu (menurut persentase tertinggi sampai terendah) pacar/teman, suami/istri, orang lainnya, orangtua, tidak diketahui, tetangga, keluarga, guru, rekan kerja, dan majikan. Data tersebut didapat dari kasus yang terlaporkan dan patut diduga jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar.
Lingkungan yang aman
Irwan Amrun, psikolog yang bergabung di Akademi Suluh Keluarga, mengatakan, peningkatan kekerasan pada anak, salah satunya perundungan, juga menunjukkan adanya situasi darurat parenting dari rumah. Ketika satuan tugas atau TPPK dibentuk, maka pentingnya parenting ini juga perlu diperhatikan.
Parenting untuk orangtua ini bisa dilakukan di sekolah dengan dukungan komite sekolah. Di dalam keluarga ada hubungan interpersonal orangtua dan anak yang mau mendengarkan suara dan masukan dari anak. Ada juga pelatihan untuk para pendidik agar jangan otoriter, menghukum siswa di depan kelas, atau tindakan kekerasan lainnya atas nama disiplin atau ”kasih sayang”.
Seto menambahkan, harus ada komitmen untuk menghadirkan lingkungan sekolah dan rumah yang ramah anak dengan terus mengampanyekan orang dewasa di sekeliling anak menjadi sahabat anak. ”Anak jadi percaya pada orangtua dan guru, yang tidak menimbulkan stres sehingga tidak memunculkan sikap agresif yang keliru,” kata Seto.
Sementara itu, Koordinator Akademi Suluh Keluarga Anastasia Rima H mengatakan, Jaringan Peduli Hak Anak yang terdiri dari LPAI, Akademi Suluh Keluarga, Perkumpulan Keluarga Pendidikan (KerLip), serta Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) prihatin akhir-akhir ini media sosial dibanjiri video dan foto terkait kekerasan yang dilakukan orangtua pada anak atau anak kepada anak lainnya.
”Unggahan-unggahan tersebut meski bertujuan untuk mendesak pihak berwenang turun tangan, sudah tidak pada tempatnya, bahkan melanggar UU Perlindungan Anak. Pemberitaan terkait kasus anak semakin tidak memperhatikan pedoman pemberitaan ramah anak,” kata Anastasia.
Oleh karena itu, Jaringan Peduli Hak Anak merekomendasikan ada pelatihan terkait hak anak, sistem peradilan, dan pedoman pemberitaan ramah anak, yang tidak hanya untuk wartawan, tetapi pada semua pengguna media sosial. Mereka juga mendesak Dewan Pers untuk lebih aktif memastikan pemahaman dan penegakan pedoman pemberitaan ramah anak.
Selain itu, Jaringan Peduli Hak Anak juga mendesak dinas pendidikan tingkat provinsi, kabupaten/kota untuk secara proaktif melaksanakan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan serta menyediakan dukungan baik sarana maupun prasarana bagi satuan pendidikan untuk membentuk TPPK.
”Kami mendesak pemerintah pusat untuk kembali menghidupkan Direktorat Kepengasuhan guna kembali menggiatkan kepengasuhan atau parenting,” papar Anastasia.
Seto mengaskan, beragam peraturan sudah ada, termasuk sanksinya. ”Implementasinya harus dilembagakan di dalam sekolah yang mengingatkan ini semua dengan satgas atau TPPKS . Jangan lagi bertindak (menjadi) pemadam kebakaran, bereaksi saat ada kasus. Langkah di hulu dengan kampanye, pertemuan siswa, pertemuan komite sekolah, dan memberikan ruang anak-anak kreatif mengeluarkan ide untuk mencegah bullying. Prinsipnya untuk melindungi anak perlu orang sekampung,” kata Seto.
Baca juga: Sekolah Belum Menghadirkan Lingkungan Belajar yang Aman dan Nyaman
Pencegahan perundungan
Secara terpisah, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek bekerja sama dengan Unicef serta berkolaborasi dengan direktorat SMP, SMA, SMK, dan dinas pendidikan melaksanakan program pencegahan perundungan berbasis sekolah atau dikenal dengan Roots. Program Roots dilaksanakan rutin dalam dua tahun terakhir.
Kepala Puspeka Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami menjelaskan, program RootsAnti-Perundungan Kemendikbudristek bertujuan untuk memberdayakan peran siswa di sekolah sebagai agen perubahan untuk menyebarluaskan pesan dan perilaku baik di lingkungan sekolah, khususnya kepada teman sebaya.
”Melalui program Roots, Kemendikbudristek terus mendorong lahirnya siswa agen perubahan. Harapannya, setelah mendapatkan materi dari modul pembelajaran saat Roots, mereka akan mampu menjadi penggerak upaya-upaya pencegahan terjadinya perundungan atau kekerasan di sekolah,” ujar Rusprita.
Siswa agen perubahan adalah 30 siswa paling berpengaruh di sekolahnya yang dipilih oleh siswa-siswi lain berdasarkan teori jejaring sosial. Berdasarkan data hasil pemantauan program Roots tahun 2021, telah terbentuk 43.442 agen perubahan.
”Program Roots tahun 2022 juga telah kita perluas dan telah melahirkan lebih banyak agen perubahan anti-perundungan. Tentu harapannya, Roots di tahun-tahun mendatang akan menghasilkan semakin banyak lagi siswa agen perubahan yang dapat turut menyuarakan pesan anti-perundungan,” katanya.
Sebagai wujud aksi nyata dalam mencegah terjadinya perundungan di sekolah, agen perubahan mengadakan Hari Deklarasi Anti-Perundungan (Roots Day). Roots Day dipimpin oleh agen perubahan dengan melibatkan semua elemen sekolah, termasuk siswa, guru, tenaga kependidikan, orang tua, penjaga sekolah, dan lain-lain.