Kerja Sama demi Wujudkan Hunian Layak di Indonesia
Ketimpangan penguasaan lahan, liberalisasi sektor perumahan, dan pendekatan sektoral jadi persoalan mendasar penyediaan perumahan di Indonesia.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·5 menit baca
Persoalan hunian layak masih menjadi masalah besar yang perlu diatasi di Indonesia. Beberapa solusi yang ditawarkan organisasi akar rumput dan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Perumahan Gotong Royong masih bersifat sporadis dan kasuistis. Karena itu, perlu kerja sama dengan pemerintah untuk menangani krisis hunian layak di Indonesia.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies, salah satu organisasi yang tergabung dalam Koalisi Perumahan Gotong Royong, Senin (16/10/2023), mengatakan, kerja sama itu perlu dilakukan untuk merespons tiga persoalan mendasar terkait penyediaan perumahan di Indonesia, yaitu ketimpangan penguasaan lahan, liberalisasi sektor perumahan, dan pendekatan sektoral dalam mengelola isu perumahan.
Melalui ragam inisiatif yang berlandaskan gotong royong, Koalisi Perumahan Gotong Royong menawarkan skema yang sesuai dengan kondisi masyarakat, yakni menyelesaikan masalah agraria. Contohnya, relokasi jarak dekat yang dilakukan berkelompok di Bungkutoko; penataan permukiman pinggir kali di Kampung Tongkol, Kerapu, dan Lodan di Jakarta; dan pembangunan Kampung Susun Akuarium di Jakarta.
Akan tetapi, inisiatif yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia ini masih bersifat sporadis dan kasuistis. Untuk memperluas jangkauan secara berkelanjutan, koalisi mendorong perubahan kebijakan di tingkat nasional dan pembentukan platform yang mempertemukan inisiatif masyarakat dan pemerintah.
”Platform tersebut diharapkan mampu memiliki kemandirian dan terobosan dalam isu pembiayaan yang berkelanjutan dan akuntabel, serta dapat menyelesaikan masalah pertanahan dan mengakomodasi berbagai macam bentuk kepenguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan perumahan,” katanya.
Berbagai inisiatif yang pihaknya lakukan merupakan bentuk respons terhadap kebijakan pemerintah yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan warga dan masih mengatasi persoalan permukiman informal dengan kebijakan penggusuran.
Padahal, seperti yang dituangkan dalam Pasal 28H UUD 1945, hunian layak merupakan hak yang sudah sewajarnya dimiliki setiap warga negara. Bahkan, hunian layak juga seharusnya dilihat sebagai hak asasi manusia, sebagaimana yang telah diratifikasi negara dalam UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2015, 0,2 persen populasi Indonesia menguasai 74 persen tanah di Indonesia, sementara 99,8 persen penduduk Indonesia lainnya hanya memperoleh sisanya. Pada tahun 2015, anggaran perumahan juga hanya 0,4 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Senior Specialist Government Relationship Advocacy and Partnership Punjung Widodo menambahkan, pengadaan perumahan masih menjadikan developer sebagai mitra terbesar, terutama untuk memenuhi pasokan masyarakat berpenghasilan rendah. Skema yang dijalankan sangat bertumpu pada pembiayaan melalui pasar sekunder dan disalurkan melalui perbankan.
Dalam ekosistem pembiayaan perumahan, masyarakat informal tidak memiliki akses pembiayaan. Akibatnya, program pemerintah pusat yang terlalu sektoral dan bertumpu pada sektor pembiayaan formal belum mampu menyentuh kebutuhan dan memberikan solusi hunian layak bagi kelompok masyarakat informal secara komprehensif.
Selain itu, masih ada perbedaan kualitas perencanaan dan penganggaran dalam sejumlah pemerintah daerah, serta belum dijadikannya isu hunian layak sebagai prioritas daerah.
Selama ini, berdasarkan UU Pemerintah Daerah No 23/2004, kewenangan kebijakan perumahan masih berada di pemerintah pusat. Melalui revisi UU Pemerintah Daerah yang saat ini berada pada tahap akhir, diharapkan ada perubahan terkait pengaturan kewenangan di isu perumahan. Dengan demikian, pemerintah daerah bersama masyarakat bisa menjadi aktor perubahan di tingkat daerah untuk hunian layak yang lebih baik.
Organisasi yang tergabung akan mendetailkan rencana proyek percontohan dan merumuskan masukan untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2025 dalam beberapa bulan ke depan bersama Kementerian PUPR. (Eko Heripoerwanto)
Belum mencakup
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto mengakui bahwa kebijakan terkait pembiayaan perumahan masih belum mencakup masyarakat yang tinggal di permukiman informal. Ia pun mengapresiasi inisiatif yang didorong oleh Koalisi Perumahan Gotong Royong, termasuk adanya koperasi sebagai media pembiayaan.
Menurut dia, jumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Perumahan Gotong Royong merupakan kekuatan yang perlu dilanjutkan. Organisasi-organisasi dapat melaksanakanproyek percontohan untuk melahirkan terobosan kebijakan baru dalam pemenuhan hunian layak bagi masyarakat informal.
”Organisasi yang tergabung akan mendetailkan rencana proyek percontohan dan merumuskan masukan untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2025 dalam beberapa bulan ke depan bersama Kementerian PUPR,” katanya.
Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, apa yang diminta organisasi-organisasi sudah dilakukan (melalui program Dana Alokasi Khusus Integrasi), tetapi masih diperlukan pendekatan tambahan untuk melengkapi DAK Integrasi, seperti reforma agraria di perkotaan dan perbaikan kebijakan tata ruang untuk menyelesaikan persoalan permukiman informal.
Dalam Rencana Pembangunan Daerah DKI Jakarta 2023-2026, pada 2021 proporsi keluarga yang mampu mengakses hunian layak hanya 40 persen. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya, yaitu 33,18 persen.
Beberapa cara yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan hunian layak ialah tata kelola rusunawa dan fasilitas kepemilikan rumah dengan skema DP nol rupiah. Selain itu, peningkatan kualitas utilitas pada kawasan kumuh, pelaksanaan reforma agraria perkotaan, dan penerapan konsolidasi tanah vertikal.
Meskipun begitu, Pemprov DKI Jakarta menerapkan target tidak terlalu besar dalam hal peningkatan akses atas hunian layak. Berdasarkan Rencana Strategis Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) 2023-2026, persentase akses terhadap hunian layak ditargetkan hanya bertambah 0,9 persen. Artinya, hingga 2026 proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap hunian layak menjadi 40,9 persen. Jumlah ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan upaya pengurangan RW kumuh.
DKI Jakarta menargetkan hanya 2,26 persen wilayah pada 2026 yang masuk kategori kumuh dari 11,29 persen wilayah pada 2022. Tepatnya terdapat 74,77 kilometer (km) persegi dari total 662,33 km persegi wilayah DKI yang tergolong kumuh pada 2022. Dari luasan ini, Pemprov DKI masih punya pekerjaan rumah untuk menata 225 RW kumuh, setelah rampung menata 220 RW kumuh pada periode 2017-2022.