”Healing” Tipis-tipis di Belantara Ibu Kota
Hidup berputar cepat, dan kita berada di tengahnya. Adakah titik jeda bagi kita untuk menata hati dan sekadar menghela napas? Selalu ada cara untuk ”healing” atau memulihkan diri dari tekanan keadaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2F1b6a95f7-0048-4c39-b5fa-05da14202d4a_jpg.jpg)
Warga melintas di jembatan penyeberangan warna-warni di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (27/9/2023). Desain jembatan menarik masyarakat untuk berfoto di sana.
Hidup lagi berat-beratnya, lalu ketemu tempat asyik untuk berhenti sejenak. Atau, hidup lagi capek-capeknya, tiba-tiba ketemu cara sederhana untuk beristirahat. Sungguh sebuah kemewahan.
Cara untuk healing atau memulihkan diri dari desakan hidup bisa macam-macam. Ada yang pergi ke suatu tempat yang melegakan, atau beraktivitas sederhana yang menyenangkan hati dan pikiran.
Ria dan Nazia, misalnya (keduanya berusia 17 tahun), memilih mengisi malam dengan nongkrong di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di kawasan Blok M. Selain ngobrol sambil sesekali cekikikan, mereka juga berfoto dan berjalan-jalan di beberapa sudut taman.
”Di sini menyenangkan karena ada perpustakaan, ada tempat nongkrong sekaligus makan, dan tempatnya terbuka. Bisa untuk nugas (bikin tugas) dengan tenang dan nyaman. Kalau siang mungkin masih agak panas. Tapi kalau malam sangat menyenangkan karena banyak lampu. Dan yang jelas, di sini tempat healing murah meriah, ha-ha-ha,” katanya.
Taman Literasi tersebut memang memiliki beberapa fasilitas, seperti perpustakaan dengan koleksi aneka buku bacaan, area duduk di dekat kolam, lokasi terbuka untuk pentas, kafe, dan tentu saja taman dengan jajaran tetumbuhan.
Baca juga: Yuk, Ngopi Di antara Kabut dan Dinginnya Alam Pegunungan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2Ffdd4ba9e-de8a-4bb6-957f-9e076bb16206_jpg.jpg)
Suasana Taman Literasi Marta Christina Tiahahu di kawasan Blok M, Jakarta, Senin (25/9/2023). Taman kota menjadi salah satu lokasi healing murah meriah bagi warga Jakarta.
Baca juga: ”Healing” Enggak Harus Mahal
Tidak semua hal tentang healing berkaitan dengan tempat. Jeda sesaat juga bisa dilakukan dengan kegiatan-kegiatan sederhana. Misalnya, nonton pameran seperti dilakukan Rosi (43), warga apartemen Taman Rasuna.
Pada Jumat (29/9/2023), ia mengunjungi pameran Jakarta Architecture Festival 2023 di Thamrin Nine. ”Nonton pameran seperti ini untuk refreshing dari rutinitas harian. Tidak usah pergi jauh-jauh ke luar kota, tapi sudah bisa menyegarkan pikiran sekaligus menambah pengetahuan,” kata Rosi. Ia mengaku senang melihat pameran seni dan karya kreatif.
Begitulah beberapa cara dilakukan untuk bisa jeda sejenak, dan healing atau memulihkan semangat dan kondisi tubuh setelah setiap hari terjerat rutinitas. Mulai dari olahraga, nongkrong, hingga makan.
Salah satu cara healing paling sederhana adalah berkunjung ke taman. Danielle F Shanahan, dosen tamu ilmu biologi di Te Herenga Waka Victoria University of Wellington, Australia, dan teman-temannya membuat penelitian soal pentingnya ruang terbuka hijau pada kesehatan.
Baca juga: Desa Munduk, Pesona di Balik Kabut
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2Ff5c95fc2-e353-4ff6-a9bb-f9e56a3c695c_jpg.jpg)
Sejumlah orang berolahraga di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada Rabu (27/9/2023). Olahraga merupakan salah satu cara untuk healing atau memulihkan diri dari kepenatan rutinitas harian.
Penelitian dituangkan dalam tulisan berjudul Health Benefits from Nature Experiences Depend on Dose (2016). Ia menunjukkan bahwa orang yang rutin mengunjungi ruang terbuka hijau memiliki tingkat depresi dan tekanan darah tinggi lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah.
Penelitian tersebut menyarankan agar kunjungan ke ruang terbuka hijau selama minimal 30 menit atau lebih, selama seminggu, agar dapat mengurangi prevalensi tingkat depresi dan tekanan darah tinggi, hingga 7 persen dan 9 persen. Semakin lama dan sering, serta semakin kompleks vegetasi ditemui di ruang terbuka, maka manfaatnya akan semakin terasa.
”Ruang terbuka hijau taman tidak hanya berfungsi sebagai daya dukung lingkungan untuk resapan air. Ada fungsi healing dan restoratif, serta ada fungsi sosial di sana,” kata Wulan Dwi Purnamasari, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang.
Baca juga: Jalan Panjang Secangkir Kebahagiaan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2Fcd40dd41-879f-44ed-b95d-8bb43e556176_jpg.jpg)
Kafe Arborea di tengah rimbun pepohonan di Arboretum Ir Lukito Daryadi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (26/9/2023), ramai dikunjungi. Ruang terbuka hijau menjadi salah satu lokasi terbaik untuk healing.
Berdamai dengan diri
Apa pun pilihan cara untuk healing, hal dasar harus terpenuhi adalah memperhatikan tubuh sendiri. Psikolog sosial serta Wakil Rektor Bidang Riset dan Transfer Teknologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Juneman Abraham, mengatakan, healing penting karena dalam hidup ada banyak faktor penekan, baik ekonomi, sosial-budaya, maupun politik.
”Oleh karena itu, perlu mengelola diri dengan memberikan ruang untuk pemulihan. Healing ibarat ‘halte-halte’ perhentian yang perlu kita ciptakan untuk berjumpa dengan diri sendiri,” katanya.
Ia menegaskan, berjumpa dan berdamai dengan diri sendiri sangatlah penting. Sehat secara mental bukan sekadar tidak sakit, tetapi juga mampu berkontribusi terhadap komunitas sekitar. Tanpa healing, bisa berdampak pada kehilangan diri sendiri. Ketika kehilangan diri, orang sulit berkontribusi terhadap komunitas. Dan merasa bahwa orang paling ngenes (sengsara) dan paling berat mengalami masalah adalah dirinya.
Baca juga: Menghirup Aroma Senja di Kebun Raya Purwodadi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2F70c6181a-c7ca-44dd-a0d8-2701902e0dc9_jpg.jpg)
Ria dan Nazia (17 tahun) menikmati suasana Taman Literasi Marta Christina Tiahahu di Jakarta Selatan, Senin (25/9/2023).
Banyak cara bisa dilakukan untuk healing. Di perkotaan, menurut Juneman, healing termudah dan murah misalnya berjalan di taman publik. Selain menghirup oksigen dan memperoleh inspirasi, berjalan adalah proses berkomunikasi dengan diri sendiri.
Perasaan keterhubungan dengan diri, menurut dia, penting bagi kesehatan mental. Hal itu bisa diperoleh dari aktivitas di taman, seperti mengobrol dengan orang asing yang baru dikenal. Berbicara dengan orang asing bisa membuka cakrawala baru, menyegarkan pikiran, dan membangkitkan perasaan kekitaan yang lebih besar.
Menurut Juneman, inti healing adalah komunikasi dengan diri sendiri. Jika proses itu tidak terjadi, bukan healing namanya. Mereka hanya berkegiatan (mengisi media sosial), tetapi bukan healing.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F29%2Fb1cf14e1-5041-4978-8350-84d2e793ff04_jpg.jpg)
Warga memancing ikan di danau di kawasan hutan kota Srengseng, Jakarta Barat, Selasa (29/10/2019). Ruang terbuka hijau seluas 15 hektar ini difungsikan sebagai daerah resapan air, pengawetan plasma nutfah, tempat wisata, serta beragam aktivitas lain.
Jejak sosial
Kian maraknya istilah healing dipandang serius oleh dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta. Menurut dia, hal itu harus ditangkap oleh penyelenggaraan pelayanan publik sebagai sesuatu yang harus direspons.
”Menurut pemikiran sosiologi, aspek dimensi psikologis merupakan jejak pembentukan sosial. Jadi, kondisi psikologi seseorang sangat ditentukan oleh jejak pembentukan sosialnya. Maka, ketika jiwa mengalami persoalan hingga keluar kata healing, tentu itu semacam alert atau tanda bahaya bahwa ada persoalan penting untuk direspons,” kata Widyanta.
Widyanta menambahkan, individu tidak lepas dari perannya sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan warga bangsa. Oleh karena itu, relasi individu dalam menjalani peran tersebut akan tergambar dalam sosok seseorang.
Misalnya, ketika individu di dalam keluarga tidak aman dan kekurangan rasa cinta, dia tidak punya rasa percaya diri. Atau, saat di masyarakat dia tidak mendapat pengakuan diri sosial, seseorang akan merasa diabaikan atau tidak dianggap penting atau ada.
Baca juga: Secangkir Teh Menghangatkan Malang
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2F878ab2c1-3993-4b86-b25a-c7a6f0455188_jpg.jpg)
Potret lanskap Jakarta dari ketinggian. Foto diambil pada Jumat (29/9/2023).
”Bagi saya, mencuatnya kebutuhan healing bukan sekadar latah atau diagnosis personal yang prematur. Boleh saja kalau ada yang menganggapnya begitu. Tapi bagi saya, ini problem masyarakat dunia sehingga dibutuhkan kajian mendalam sehingga bisa memberikan rasa aman bagi individu sejak dalam keluarga, masyarakat, hingga negara,” katanya.
Hal itu, menurutnya, untuk membangun resiliensi atau daya lenting individu.
Pada akhirnya, Widyanta mengajak untuk berefleksi atas kondisi sekarang. Terutama apabila dikaitkan dengan terminologi Mahbul Ulhaq tentang sustainable human security (keamanan diri lestari). Sustainable human security meliputi tujuh aspek, yaitu keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas, dan politik.
”Tujuh dimensi inilah yang membentuk healing dan memastikan hidup kita tata titi tentrem karta raharja (hidup adil makmur sentosa),” katanya.
Dan, cara sederhana untuk bisa menjaga keamanan diri adalah dengan asah, asih, dan asuh (mendidik, mencintai, dan membina). Sebuah ajaran relasi antarmanusia oleh KH Dewantara tentang menjadi manusia dengan kemanusiaannya.
Baca juga: Pohon, Taman, dan Oasis Penyembuhan Warga
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2F0543d7d2-aa1a-437f-9f00-aabb04af0969_jpg.jpg)
Sebuah pohon harapan digantungi aneka harapan dari warga Jakarta yang saat itu menonton pameran arsitektur Transition dalam Jakarta Architecture Festival 2023 di Thamrin NIne, Jakarta, Jumat (29/9/2023). Pohon sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.