Tim penyidik sedang mengidentifikasi 21 anak yang diduga sebagai korban eksploitasi secara seksual oleh tersangka FEA alias Icha. Icha berperan sebagai muncikari yang memperdagangkan anak di bawah umur via media sosial.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap FEA alias Icha (24), seorang muncikari yang memperdagangkan serta mengeksploitasi secara seksual kepada anak di bawah umur. Diduga ada 21 anak menjadi korban prostitusi daring yang dijalankan oleh tersangka FEA.
Kepala Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Komisaris Besar Ade Safri mengatakan, tim penyidik Subdit Cyber Ditreskrimsus mengungkap kasus tindak pidana prostitusi atau eksploitasi seksual kepada anak melalui media sosial atau tindak pidana perdagangan orang, dengan menangkap tersangka FEA alias Icha (24), Rabu (13/9/2023).
”Anak yang menjadi korban ada dua, SM (14) dan DO (15). Hasil identifikasi awal dari media sosial milik tersangka FEA, diduga ada 21 anak yang dieksploitasi. Rata-rata korban masih sekolah. Kami masih dalami,” kata Ade, Selasa (26/9/2023).
Saat ini, tim penyidik sedang mengidentifikasi 21 anak yang diduga sebagai korban eksploitasi secara seksual oleh tersangka FEA.
Dari pemeriksaan, lanjut Ade, dua korban anak, SM dan DO, baru akan bekerja bersama tersangka FEA. Pengakuan SM mau bekerja dengan FEA karena ingin membantu perekonomian dan neneknya.
Kebetulan SM hanya tinggal berdua bersama neneknya. FEA menjanjikan uang Rp 6 juta kepada SM. Adapun DO dijanjikan uang Rp 1 juta rupiah. Tim penyidik masih mendalami keterangan dari para korban.
Dalam menjalankan praktik prostitusi, FEA menawarkan para korban berdasarkan status perawan sebesar Rp 7-8 juta per jam dan tidak perawan Rp 1,5 juta per jam. Dari tarif itu, sebagai muncikari, FEA membagi hasil transaksi 50 persen kepada para korban.
Anak yang menjadi korban ada dua, SM (14) dan DO ( 15). Hasil identifikasi awal dari media sosial milik tersangka FEA, diduga ada 21 anak yang dieksploitasi. Rata-rata korban masih sekolah. Kami masih dalami.
Tersangka bisa menjerat anak-anak di bawah umur itu karena ada jaringan untuk para korban. Saat ini polisi masih menginvestigasi jaringan FEA dan keterlibatan tersangka lainnya.
”FEA menjadi muncikari dari April sampai dengan September 2023. Seluruh penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tersangka ini ibu rumah tangga. Tersangka lainnya masih didalami,” ujar Ade.
Terbongkarnya praktik prostitusi daring dan eksploitasi seksual oleh FEA saat tim patroli siber menemukan sebuah akun di Twitter dengan foto profil bernama Eve disertai kata Tombol Lift, yang merupakan tautan yang bisa diklik.
Dalam akun itu, ditawarkan sarana prostitusi daring dengan judul status ”pw/non pw” (perawan/nonperawan). Di akun juga tercantum kontak berupa aplikasi Line dan Telegram. Pelanggan yang tertarik wajib membayar uang muka terlebih dahulu Rp 200.000-Rp 500.000.
Dari informasi itu, tim siber menyelidiki dengan masuk ke Telegram Eve hingga berlanjut berkomunikasi melalui nomor seluler yang teregistrasi nomor Jakarta.
Tim siber akhirnya bisa bertemu janji di salah satu hotel di Kemang, Jakarta Selatan. Di hotel itu, tersangka hendak mempekerjakan dua anak untuk dieksploitasi secara seksual.
”Bisnis prosesnya FEA sebagai pemilik akun ini promote terkait dengan prostitusi online, kemudian mencantumkan kontak Line atau Telegram apabila ada klien yang ingin mengakses. Kemudian FEA share data anak korban, foto, dan tarif,” kata Ade.
Atas tindak pidana yang dilakukannya, FEA dikenai Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 296 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 4 Ayat 2 juncto Pasal 30 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 2 juncto Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 76I juncto Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perdagangan anak
Dalam laporan Tim Investigasi Harian Kompas, pada 9 Maret 2023, dipaparkan tentang keberadaan anak-anak perempuan belasan tahun yang diperdagangkan dan dipaksa menjadi pekerja seks komersial di Jakarta dan sejumlah daerah lain.
Anak-anak tersebut terperangkap jaringan perdagangan manusia dengan berbagai tipu daya dari pelaku. Ada yang menjadi korban karena dijual lewat skema prostitusi daring, ada juga yang dijajakan di tempat layanan spa ”plus” serta rumah bordil berkedok kafe.
Penelusuran di media sosial Twitter, ditemukan akun @justmommy_eve yang menjual dua anak perempuan berusia 16 tahun. Foto-foto wajah anak tersebut dipajang tanpa sensor dan disertai tulisan ”Ready exc Jakarta. Kelas 2 smp. Petite tocil girl”.
Akun tersebut sempat dibekukan Twitter. Namun, muncikari yang menjual kedua anak tersebut, yakni CA (24), membuat akun baru untuk kembali menawarkan mereka.
Selain di Twitter, CA menawarkan anak-anak perempuan ini di sebuah forum di internet. Salah satu yang dijual adalah RA, yang masih duduk di kelas VIII SMP. Tarif akan disebut jika ditanya lebih lanjut lewat Whatsapp.
RA ditawarkan seharga Rp 800.000 per jam. Kepada pelanggan, CA menyebut RA hanya bisa melayani sore hingga malam sebelum pukul 21.00 lantaran menyesuaikan waktu sepulang sekolah. RA mesti dijemput untuk datang ke lokasi pertemuan, khusus di area Jakarta Pusat.
Saat ditemui, RA, yang masih berusia 16 tahun, mengaku terpaksa mau dijual dalam bisnis prostitusi daring karena terdesak kebutuhan ekonomi keluarga. ”Kalau enggak kayak gini, mau makan dari mana. Sungkan juga minta uang ke Mama, apalagi waktu lihat dagangan belum habis,” ucap RA, Februari silam.
Ibu dan ayah RA bercerai saat dia masih SD. Sang ibu harus banting tulang sendirian berjualan makanan. RA dengan adik dan kakaknya tinggal bersama sang ibu di rumah petak kawasan padat penduduk di Jakarta Pusat. Rumah itu juga dijadikan warung nasi.
RA terperangkap dalam dunia prostitusi daring sejak 13 tahun saat masih duduk di kelas VI SD. Saat itu, dia diiming-imingi uang belasan juta untuk menjual keperawanannya. Kesulitan ekonomi mendorong RA menerima tawaran untuk melakukan hal itu. Dari situ dia mendapat bayaran Rp 15 juta untuk pertama kalinya.
Saat ditemui, CA (24) mengaku baru memperdagangkan RA dan satu anak perempuan lain di media sosial sebulan terakhir. RA serta sejumlah anak lainnya didapat CA lewat kenalan dari sepupunya yang kerap menjual anak untuk bisnis prostitusi.
CA dulunya adalah pekerja seks. Kini dia lebih fokus menawarkan perempuan lain, termasuk yang masih anak. Dari penghasilan yang didapat, CA membagi hasil 50 : 50 kepada anak yang dijual. ”Dari kenalan sepupu ini, saya dapatkan mereka lewat kabar mulut ke mulut. Dibawalah sama dia anak SMP,” ucap CA.