Sikap Cuek dan Apatis Jadi Celah Kejahatan di Tambora
Dikenal sebagai kawasan padat penduduk bukan berarti menjadi kekuatan untuk mengikis kejahatan. Sebaliknya, sikap cuek dan apatis memicu berbagai tindak kejahatan di Tambora.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Di dalam gang berukuran kurang dari 1,5 meter, Kustati (58), Warga Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, tengah menjaga cucunya yang baru berusia sembilan bulan sembari melayani pembeli di toko kelontongnya.
Terkadang, ia harus menarik cucunya dalam baby walker itu dari tengah jalan ketika ada sepeda motor melintas. Memang, gang itu hanya cukup dilewati satu sepeda motor. Selain menjadi akses jalan, gang itu juga menjadi ”taman bermain” bagi anak-anak yang tinggal di sana.
Tidak hanya jalan yang sempit, sebagian besar warga yang didominasi pekerja dan pedagang juga harus tinggal di rumah yang sempit, tetapi bertingkat. Seperti Kustati yang tinggal di rumah berukuran 12 meter x 6,5 meter bersama tujuh orang lainnya.
”Saya tinggal di lantai satu bersama suami, sedangkan anak saya dan keluarganya tinggal di lantai dua,” kata Kustati. Tinggal satu rumah dengan lebih dari satu keluarga sudah menjadi budaya di tempat ini. Mereka harus berbagi ruang.
Walau harus hidup di gang sempit, bagi Kustati, rumah itu tetap menjadi tumpuan di tengah padatnya suasana perkotaan. ”Kami hidup seperti ini memang karena keadaan,” ujarnya.
Meskipun tinggal berdesakan, banyak tetangga yang tidak ia kenal. Kebiasaan warga perkotaan yang kurang guyub bahkan cenderung tertutup menjadi penyebabnya.
Seperti kasus yang baru diungkap oleh Polres Jakarta Barat, yaitu sebuah ruko konfeksi dijadikan pabrik minuman keras ilegal. Berita itu cukup mengagetkannya karena ia tidak tahu-menahu. Padahal, ruko berlantai empat itu hanya berjarak 5 meter dari warung kelontong miliknya.
Pabrik minuman keras ilegal yang dimiliki oleh KL alias Johan itu diketahui sudah beroperasi sejak delapan bulan lalu. Bahkan, pangsa pasarnya sudah menyebar ke seluruh wilayah Jakarta dengan omzet per bulan mencapai Rp 60 juta.
”Terus terang, yang saya tahu ruko itu tempat bisnis konfeksi. Saya juga tidak kenal siapa yang punya. Mereka jarang bergaul,” kata Kustati.
Sikap cuek warga ini tidak lepas dari kesibukan mereka yang rata-rata menjadi pedagang atau pekerja dengan kegiatan yang menyita waktu dan perhatian. Kondisi inilah yang membuat segala bentuk kejahatan di sebelah rumah jadi sulit terendus.
Situasi inilah yang membuat Ali Rodikin (52) tidak betah tinggal di Jembatan Besi. Ia tinggal di Tambora sejak 1992 bersama anak dan istrinya. Di satu atap yang sama, ia juga tinggal bersama keluarga dari kakak iparnya.
Namun, sejak tujuh tahun lalu, ia memutuskan pindah ke kawasan Taman Sari yang masih di wilayah Jakarta Barat setelah melihat pergaulan remaja di sana yang sudah membahayakan.
”Bayangkan, di depan mata saya sendiri ada yang bertransaksi narkoba. Saya khawatir anak saya terpengaruh pergaulan tidak sehat. Jadi, saya memutuskan untuk pindah,” ujar Ali yang sehari-hari berjualan daging.
Lurah Jembatan Besi Arief Budiman mengatakan, memang, kawasan Tambora yang masuk wilayahnya itu merupakan kawasan padat penduduk yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Apalagi kawasan ini juga dipadati oleh para pendatang yang tidak pernah melapor.
”Inilah yang membuat kami sulit untuk memantau latar belakang dari para pendatang,” ujarnya.
Seperti kasus pabrik miras, Arief mengaku tidak tahu jika ada bisnis ilegal itu di wilayahnya. ”Yang saya tahu, ruko itu tempat bisnis konfeksi. Jadi, tidak ada kecurigaan,” katanya.
Memang, tugas untuk mendata warga ada di tangan RT, tetapi tidak mudah untuk menerapkannya karena banyak warga yang enggan untuk didata dengan alasan masuk ke ranah privat.
Rawan kejahatan
Kapolsek Tambora Komisaris Putra Pratama menuturkan, dengan luas kawasan hanya 5,2 kilometer persegi, Tambora dihuni oleh setidaknya 300.000 penduduk. Tak ayal, segala jenis kejahatan pernah ada di kawasan ini. Mulai dari perdagangan orang, tawuran, pemerkosaan, pencurian kendaraan, narkoba, hingga prostitusi pernah diungkap di sini.
Karena kondisi inilah, Tambora menjadi kawasan yang tidak ramah anak. ”Selain tidak ada taman bermain, kawasan ini juga sangat membahayakan karena banyak tindak kriminal,” katanya.
Di sisi lain, personel Polsek Tambora sangat minim, tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Melihat kompleksnya masalah di Tambora, Putra berpendapat peran dari warga sangat dibutuhkan.
Komunikasi antarwarga untuk mencegah tindak kejahatan harus diperkuat. Karena itulah, dirinya sangat berharap ada laporan dari warga mengenai segala bentuk kejahatan yang bisa mengancam keselamatan warga.
Dengan beragam inisiatif ini, saya berharap kejahatan di Jembatan Besi bisa ditekan.
Ketua RW 001 Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Hasanuddin selalu berkomunikasi dengan Polsek Tambora ketika ada gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Selain itu, ia juga memberikan apresiasi kepada warga yang mampu menangkap pelaku kejahatan. Program ini ia canangkan untuk memicu kebersamaan warga untuk menjaga lingkungannya masing-masing.
Di sisi lain, ia juga telah menyematkan 60 kamera pemantau, belum termasuk warga yang juga memasang piranti tersebut untuk memantau aktivitas yang mencurigakan.
”Dengan beragam inisiatif ini, saya berharap kejahatan di Jembatan Besi bisa ditekan,” ujar Hasanuddin.
Camat Tambora Holly Susanto berpendapat, sikap apatis cenderung cuek dari warga menjadi celah masuknya berbagai bentuk kejahatan. Dalam waktu dekat, dirinya akan memanggil semua lurah untuk mulai mendata warga serta memperkuat keamanan yang ada di wilayahnya.