Pemerkosaan di Tambora dan Pentingnya Perlindungan Anak
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pantas dicap sebagai daerah tidak ramah anak. Di tengah kawasannya yang padat, sarana untuk bermain terbilang minim dan hunian kurang layak mendominasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pantas dicap sebagai daerah tidak ramah anak. Di tengah kawasannya yang padat, sarana untuk bermain terbilang minim dan hunian kurang layak mendominasi. Kondisi tersebut ikut menyebabkan potensi kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, sangat tinggi.
Kepala Kepolisian Sektor Tambora Komisaris Putra Pratama, Rabu (20/9/2023), menuturkan, dengan jumlah penduduk mencapai 300.000 orang, belum termasuk jumlah pendatang menjadikan Tambora sebagai salah satu kecamatan terpadat di Jakarta.
Angka itu tidak sebanding dengan luas kecamatan Tambora yang hanya 5,2 kilometer persegi. Kawasan hunian ini juga tidak tertata. Hal tersebut menjadikan Tambora tidak ramah anak. ”Jangankan untuk bermain, untuk tidur saja mereka harus bergantian dengan orangtua atau saudaranya,” ujar Putra.
Bahkan, di beberapa titik, ada satu rumah dengan empat lantai ditinggali hingga delapan keluarga. Mereka harus tidur bergantian. Kala siang hari orangtua mereka bekerja, pada malam hari anak-anak harus keluyuran untuk berbagi ruang istirahat bagi orangtua mereka. ”Kondisi ini membuat pergaulan anak pun tidak sehat,” ujar Putra.
Karena kepadatan inilah yang membuat orang terdekat terkadang menjadi predator seksual bagi anak. Kerabat bahkan tetangga pun bisa menjadi ancaman bagi anak.
Terbaru adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang juru parkir DJ (55) pada seorang bocah berusia 13 tahun yang tidak lain adalah tetangga kosannya sendiri. Perbuatan keji itu DJ lakukan saat kedua orangtua korban sedang bekerja dan terpaksa harus meninggalkan kedua anaknya.
”Ayah korban merupakan seorang sopir dan ibunya bekerja di Bogor dan harus pergi dari pagi hingga menjelang malam hari. Jadi korbanlah yang menjaga adiknya yang baru berusia 8 tahun,” kata Putra.
Saat kondisi kontrakan sedang sepi, DJ melakukan aksi bejatnya dengan merayu korban untuk mau melakukan persetubuhan dengan iming-iming uang Rp 10.000-Rp 50.000 agar ia tidak melapor kepada orangtuanya.
”Perbuatan itu sudah berlangsung berkali-kali sejak Februari 2023,” ujar Putra.
Kejahatan DJ baru terkuak saat ada seorang tetangga yang melihat perbuatan itu dengan mengintip ke kosan. Menyadari perbuatannya terlihat, DJ pun melarikan diri. Berdasarkan laporan tetangga itulah, ayah sang korban langsung melaporkan DJ ke polisi.
Kini korban masih dalam pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk memastikan kondisi psikologis korban. ”Dari sana kita bisa mengambil tindakan apa yang bisa diterapkan pada korban di tahap selanjutnya,” kata Putra.
Sementara untuk DJ masih ditahan. Ia terancam dengan Pasal 81 juncto 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Bagi siapa saja yang mendengar, khawatir, merasakan, melihat langsung peristiwa anak anak mengalami kekerasan, ada kewajiban untuk segera melaporkan.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menuturkan, kasus ini bisa menjadi momentum untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya melindungi anak-anak dari berbagai macam tindak kekerasan. Apalagi Undang-Undang Perlindungan Anak sangat jelas mengamanatkan, tanggung jawab pengawasan perlindungan anak ada di keluarga, masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta negara.
Hanya teknisnya harus diatur agar masyarakat terbiasa untuk melapor jika melihat adanya bentuk kekerasan pada anak. ”Bagi siapa saja yang mendengar, khawatir, merasakan, melihat langsung peristiwa anak anak mengalami kekerasan, ada kewajiban untuk segera melaporkan,” kata Jasra.
Namun, persoalan besarnya, anak tidak bisa membela dirinya sendiri karena ketika ada di bawah tekanan, fisiknya mudah dikuasai. Pemahamannya mudah dibelokkan, emosionalnya mudah diprovokasi dan dikendalikan. Situasi inilah yang memudahkan anak dikontrol oleh para pelaku. Akibatnya, banyak kekerasan anak yang tidak mudah terungkap.
”Inilah yang harus dihidupkan di tengah masyarakat, yaitu dipastikan ada struktur perlindungan anak sampai tingkat bawah, siapa yang bisa mengambil peran dan tanggung jawab untuk mengawasi anak-anak,” ujarnya.
Saat ini, sebenarnya negara telah memiliki gugus tugas seperti pekerja sosial di tingkat kecamatan, Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat provinsi yang dapat diakses untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Mereka berada dalam naungan Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Fasilitas tersebut perlu didorong agar bekerja lebih efektif dengan melibatkan kolaborasi bersama elemen masyarakat yang peduli perlindungan anak untuk bergerak bersama.
Camat Tambora Holly Susanto menyadari betapa sulitnya memantau perkembangan setiap masyarakat di tengah terbatasnya petugas. Karena itu, peran aparat di tingkat terkecil sangatlah penting. Hidup sebagai masyarakat perkotaan dan bersifat heterogen memudahkan segala bentuk kejahatan bisa saja terjadi. Agar kondisi ini dapat diminimalisasi perlu peran semua elemen masyarakat.
”Perlu ada rasa tanggung jawab untuk menjaga satu sama lain guna menekan segala bentuk kejahatan,” kata Holly.