Sampah Ceriakan Anak Semper Barat
Pengelolaan sampah yang baik membawa keceriaan bagi anak-anak usia dini di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Inovasi terkait sampah dapat menahan dampak bencana lingkungan yang merugikan masa depan anak-anak.
Dwi Oktaviani saat menginstruksikan sikap duduk dan diam dipatuhi belasan balita yang berkumpul di hadapannya. Dwi membawa perhatian anak-anak itu pada dua poster yang dijepit di papan tulis berdiri di sampingnya.
Dua poster itu masing-masing itu berisi gambar tempat sampah dua dimensi dengan ikon panah siklus segitiga di tengahnya. Ada yang berwarna hijau dengan tulisan sampah organik di atasnya. Yang lain berwarna kuning dengan tulisan sampah non-norganik.
Dwi lalu membuka wadah plastik berisi potongan-potongan gambar objek barang, seperti tulang, sayuran, buah-buahan, botol plastik, kertas, dan kardus. Tanpa banyak instruksi, anak-anak pun antusias dan ramai-ramai mengangkat tangan.
Agar tertib, Dwi menunjuk satu per satu anak dan menyuruhnya ke depan. Anak dipersilakan memilih satu gambar yang dianggap sampah. Gambar sampah itu kemudian harus diletakkan ke tempat sampah yang sesuai. Sebagain besar anak-anak itu terlihat sudah paham dan tidak banyak diarahkan Dwi dan guru lainnya.
Alat permainan, sumbangan kelompok mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri, itu telah beberapa bulan terakhir digunakan para guru untuk mengedukasi anak-anak usia dini yang berkegiatan di Bank Sampah Unit Kenanga di RW 004 Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (23/8/2023) pagi.
Kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi bagian dari program bank sampah itu sejak 2021. Dwi dan tiga perempuan lainnya menjadi pengajar sukarela yang mendampingi sekitar 30 anak usia dini yang datang setiap Senin hingga Rabu pagi.
Walau sebagian dari mereka tidak berlatar belakang pengajar dan alat bermain masih terbatas, mereka rela menghabiskan waktu beberapa jam untuk berinteraksi, bermain, dan mengajarkan sikap-sikap dasar kepada anak-anak yang beragam kondisi dan perilakunya.
Baca juga: Menumbuhkan Kesadaran Mengelola Sampah melalui Bank Sampah
Ada anak yang awalnya kecanduan gawai, bahkan ada anak yang kemampuan interaksinya kurang terkontrol karena mengidap gangguan mental ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder).
"Anak yang ADHD ini tadinya enggak pernah main karena enggak punya tetangga. Waktu pertama kali kenalan, semua teman dia cubit. Karena kondisinya, tiga TK pun enggak mau nerima dia. Ibunya lalu bawa dia ke sini dan untungnya anak itu mau. Sekarang sudah mendingan," kata Ana Triana Ningsih, salah satu guru.
Perbaikan perilaku anak juga dirasakan orangtua anak, seperti Melisna Simanjuntak. Perempuan itu sudah dua bulan "menyekolahkan" anak pertamanya yang berusia 4 tahun 10 bulan di sana. "Sebelum ke sini, dia main terus di rumah dan pemalu karena jarang keluar rumah. Kepikiran masukin dia ke TK, tapi nanti ketika usia 6 tahun karena biaya sekolah mahal. Sekarang dia lebih berani ketemu orang," ungkapnya.
Tidak hanya itu, ibu dua anak itu juga terkesima ketika putranya itu paham untuk menyisihkan sampah tertentu. "Dia jadinya kayak gini, 'Mama, ini ada botol buat sekolah aku'. Kadang begitu waktu kita di luar rumah atau habis minum minuman kemasan, dia tanya apa bisa dikumpulkan dan dibawa ke rumah," lanjutnya.
Dibayar sampah
Melisna menyadari, sikap anaknya tidak hanya dibentuk ajaran guru-gurunya di PAUD, tetapi juga kebiasaannya menabung sampah di Bank Sampah Kenanga. Sejak Desember 2021, ibu rumah tangga ini menjadi nasabah di bank sampah tersebut.
Ia bisa mengumpulkan sampah-sampah bernilai jual, seperti botol plastik, kardus, kaleng, sampai perabot bekas. Sampah-sampah itu ia bersihkan lalu dikumpulkan dalam kantong sampah khusus yang diberikan bank sampah.
Ketika sudah cukup banyak, ia akan mengabari petugas bank sampah untuk mengambil sampahnya. Hal ini bisa ia lakukan dua minggu sekali, tergantung jumlah sampah yang terkumpul. Sampah itu kemudian ditimbang dan ditukar menjadi saldo tabungan. Setiap bulan ia bisa menabung rata-rata Rp 20.000.
"Sebelum kenal bank sampah, biasanya dibuang langsung ke tempat sampah. Di lingkungan rumah juga sering lihat sampah plastik numpuk. Tapi, sekarang sudah jarang lihat karena tetangga-tetangga juga sudah banyak yang jadi nasabah bank sampah," ucapnya.
Ia mengaku sempat hampir menyerah memilah sampah karena sulit mengumpulkan sampah dan tabungan yang terkumpul tidak seberapa. Lalu, kemudian ia mendapat kabar bahwa Bank Sampah Kenanga membuka PAUD. Dananya cukup dengan memotong saldo tabungan sampah.
"Pas tahu ada sekolah jadinya lanjut lagi. Biayanya cuma potong tabungan Rp 3.000 per hari," kata Melisna.
Ketua Bank Sampah Kenanga, Nurpiah, PAUD ini bertujuan membantu nasabah mereka yang memiliki anak usia dini, tetapi tidak cukup mampu untuk memasukkan anak mereka ke PAUD atau Taman Kanak-Kanak swasta di sekitar tempat tinggalnya.
”Sekolah PAUD sekarang kita tahu biayanya sudah mahal. Makanya, ini untuk meringankan beban nasabah, untuk anaknya bersekolah daripada hanya bermain HP di rumah,” ujar perempuan 51 tahun itu.
Baca juga: Nurpiah Berjuang lewat Sampah
Fasilitas pendidikan ini juga secara tidak langsung mengajak warga untuk bergabung menjadi nasabah dan mau memilah sampah di tempat tinggal mereka. Sejauh ini, jumlah anak yang bergabung terus bertambah dari sekitar 10 anak di 2022 menjadi 30 anak pertengahan tahun ini.
Lewat tabungan sampah, Nurpiah juga berinovasi menghadirkan pemodal usaha untuk warung kecil yang dinamai Warung Lestari. Nasabah bisa meminjam uang tunai yang kemudian dicicil dengan saldo hasil penjualan sampah. Saat ini, tercatat ada 16 anggota Warung Lestari yang juga dimanfaatkan untuk edukasi pengurangan sampah plastik ke masyarakat.
Bank Sampah Kenanga kini memiliki lebih dari 600 anggota di wilayah RW 004. Program-program yang mengandalkan ekonomi sirkular dari pengelolaan sampah itu turut didukung mitra swasta, yakni Wahana Visi dan Divers Clean Action, melalui program Phinla.
Bank Sampah Kenanga menerima rata-rata 40 kg sampah anorganik dari setiap rumah per bulan. Juni lalu, mereka bahkan mampu mengelola 3.270 kg. Sebagian besar sampah itu mereka jual ke Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan pengepul sampah lainnya.
Selain menjual sampah, mereka juga mengolah sebagian sampah organik, seperti dedaunan dan sisa makanan, untuk diolah menjadi pupuk hingga ekoenzim. Walaupun masih skala kecil, produk tersebut bisa menghasilkan uang dengan dijual ke masyarakat.
"Apapun kita lakukan. Yang penting masyarakat mau peduli dengan lingkungan," pungkas Nurpiah.
Baca juga: Lawan Jeratan Utang Bank Keliling dengan Sampah
Antisipasi krisis iklim
Pengelolaan sampah menjadi perhatian karena masalah lingkungan yang semakin memburuk dengan krisis iklim. Berbagai literatur menyebutkan, sampah organik yang terurai dapat melepaskan karbon dioksida dan gas metana yang biasa disebut gas rumah kaca (GRK). Adapun, sampah anorganik dapat mencemari lingkungan, terutama ketika dibakar.
Selain itu, menurut peneliti Secretariat of the Pacific Regional Environmental Program (SPREP) John Hay, sampah anorganik umumnya diproduksi menggunakan sumber daya penghasil emisi GRK, seperti karbon dioksida dan berbagai macam polutan.
Berdasarkan inventarisasi Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2021, sampah atau limbah secara umum menyumbang 4 persen emisi GRK. Kontributor lainnya adalah konsumsi listrik (52 persen), emisi langsung dari transportasi hingga industri (29 persen), dan pembangkit listrik (15 persen).
Untuk itu, Jakarta terus mengarusutamakan kesadaran mengelola sampah untuk mendukung program penurunan emisi GRK yang menjadi pemicu perubahan iklim. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggalakkan pemilahan sampah dari rumah tangga antara lain melalui kegiatan bank sampah.
Pengelolaan sampah skala besar diimplementasikan melalui Landfill Gas Recovery di TPST Bantar Gebang, daur ulang kertas, pengomposan, uji coba Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, pengolahan sampah berteknologi Refuse Derived Fuel (RDF) dan Landfill Mining di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang.
Implementasi itu merupakan langkah mitigasi perubahan iklim sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 90 Tahun 2021. Penurunan emisi GRK ditargetkan sebesar 30 persen pada tahun 2030.
"Dari total target 30 persen penurunan emisi GRK tersebut, sektor persampahan memiliki target sebesar 1,5 persen. Pada 2021, Jakarta mampu mereduksi emisi GRK hingga 92.315 ton CO2 dari sektor persampahan," kata Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan, saat dihubungi Kamis (24/8/2023).
Baca juga: Cuaca Ekstrem Pengaruhi Kesehatan Anak
Upaya ini penting dilakukan karena emisi GRK yang menyebabkan perubahan iklim dapat memberikan dampak secara menyeluruh ke seluruh bagian dunia, termasuk Jakarta. Yogi mengatakaan, Jakarta sendiri sudah merasakan dampaknya, misalnya suhu yang secara umum semakin panas, banjir rob yang meningkat, hingga peningkatan kasus penyakit akibat perubahan iklim seperti demam berdarah dengue, malaria, dan diare.
Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buru
Laporan global The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index pada 2021, menyatakan, Indonesia adalah salah satu negara yang populasi anak-anaknya terpapar risiko tinggi krisis iklim. Anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap vektor penyakit menular, pencemaran udara, dan banjir rob.
"Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk,” kata Perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak atau Unicef Indonesia, Debora Comini, dalam keterangannya dalam situs unicef.org.
Investasi pada layanan sosial, khususnya kesehatan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan sosial dan inklusi keuangan, dinilai dapat menciptakan perbedaan besar dalam kemampuan negara untuk melindungi masa depan anak dari dampak perubahan iklim.
Yang juga tidak kalah penting menurut Unicef adalah memberikan anak pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Pengalaman Bank Sampah Kenanga di Jakarta pun menunjukkan, pendidikan lingkungan dapat diberikan kepada anak sejak usia dini.