Tangerang dan Tangsel Belum Berlakukan Kebijakan ASN Bekerja dari Rumah
Pemerintah Tangerang dan Tangerang Selatan masih menunggu arahan dari Provinsi Banten dan Kemenpan RB yang tengah membahas skema pemberlakuan pola bekerja dari rumah bagi para aparatur sipil negara.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Sejumlah daerah penyangga Ibu Kota belum menerapkan pola bekerja dari rumah atau WFH bagi aparatur sipil negara, seperti halnya DKI Jakarta. Koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat masih dilakukan. Daerah di luar Jakarta dianggap perlu menerapkan kebijakan yang berjalan simultan agar pengendalian polusi udara bisa maksimal.
Mulai Senin (21/8/2023), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menerapkan WFH bagi aparatur sipil negara (ASN). Sementara dua daerah penyangga, Kota Tangerang dan Tangerang Selatan, masih menunggu arahan Pemerintah Provinsi Banten. Dalam beberapa waktu terakhir, dua daerah tersebut juga menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat, yakni dengan indeks kualitas udara di atas 150.
”Saat ini, kami masih menunggu arahan dari Gubernur Banten serta edaran Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi),” kata Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie saat ditemui Kompas di Tangerang Selatan, Senin.
Dia menyebut, pemberlakuan WFH bagi ASN lingkup Pemkot Tangsel tidak akan berbeda jauh dengan penerapan dengan yang di DKI Jakarta. Para ASN yang bekerja pada sektor teknis akan tetap bekerja dari kantor (WFO), sedangkan yang bersifat administratif bisa melakukan WFH.
Hal serupa juga diungkapkan Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah. Pemkot Tangsel saat ini juga tengah menunggu surat edaran tentang mekanisme yang sedang dibahas bersama oleh Pemprov Banten.
Di sisi lain, kata Arif, Pemkot Tangerang telah menjalankan sejumlah rekomendasi dari pemerintah pusat. Pekan lalu, Dinas Lingkungan Hidup Tangerang melaporkan pengawasan emisi pada 23 perusahaan yang masih menggunakan bahan baku batubara.
Dengan konsistensi memburuknya kualitas udara di daerah penyangga Jakarta, keputusan harus segera diambil dan diimplementasikan. Apalagi, kebijakan tentang kesehatan masyarakat ini menjadi wewenang dan kewajiban dari pemerintah daerah setempat.
”Selain itu, kami terus menggaungkan dan mengajak masyarakat melakukan penanaman pohon serta mengajak masyarakat beralih ke transportasi publik,” ujar Arif saat dihubungi di Tangerang, Senin.
Tidak bisa sendiri
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengatakan, dalam menjalankan upaya WFH ini perlu dilakukan juga oleh daerah penyangga. Dia menyebut, Pemprov DKI tidak bisa bekerja sendiri.
Trubus menyebut, saat ini daerah penyangga Ibu Kota menunjukkan indeks kualitas udara yang juga buruk. Apalagi, sumber polusi di Jakarta juga banyak disumbangkan aktivitas mobilitas kendaraan bermotor dari daerah sekitar Jakarta.
”Dengan konsistensi memburuknya kualitas udara di daerah penyangga Jakarta, keputusan harus segera diambil dan diimplementasikan. Apalagi, kebijakan tentang kesehatan masyarakat ini menjadi wewenang dan kewajiban dari pemerintah daerah setempat,” kata Trubus.
Namun, selagi pemerintah menjalankan kebijakan seperti WFH, Trubus mengingatkan, fokus utama pengendalian masalah polusi udara adalah dari hulu. Penerapan WFH tidak boleh terus-menerus karena bisa berpengaruh pada produktivitas pekerja.
”Sumber masalah hulunya yang harus jadi fokus. Uji emisi yang telah diamanatkan dalam undang-undang harus serius dijalankan. Selain itu, upaya mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik menjadi hal yang mendesak,” ucap Trubus.
Di sisi lain, dia mengingatkan upaya untuk mendorong masyarakat beralih pada kendaraan umum ini juga harus diikuti dengan penyediaan transportasi. Saat ini, selain Jakarta, kota lain di Bodetabek belum memiliki sistem transportasi yang saling terintegrasi.