Saat Cari Udara Segar di Jabodetabek Malah Harus Pakai Masker
Kualitas udara di Jabodetabek Semakin memburuk. Penggunaan masker secara tepat disarankan untuk mengindari dampak buruk dari polutan yang ada.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
Tidak seperti di daerah lain, warga sekitar Jabodetabek belum sepenuhnya bisa bebas melepas masker saat beraktivitas, padahal status pandemi Covid-19 di dalam negeri telah dicabut. Belenggu udara buruk akibat polusi masih menghantui. Keadaan semakin buruk dengan pembakaran sampah terbuka yang marak terjadi.
Berbagai ancaman penyakit membuat masyarakat harus sedia kembali dengan masker. Dalam sepekan terakhir, berdasarkan pantauan di situs IQAir, kualitas udara di Jabodetabek kembali menunjukkan Indeks Kualitas Udara (AQI) dalam kondisi tidak sehat.
Pada Kamis (10/8/2023) siang, sejumlah daerah di Jabodetabek menunjukkan indikator merah atau di atas 150 yang berarti tidak sehat. AQI di Jakarta mencapai angka 156, Kota Tangerang 160, dan Tangerang Selatan 161.
Di saat bersamaan, pembakaran sampah secara terbuka turut menjadi sumbangsih kian buruknya kualitas udara di Jabodetabek. Musim kemarau yang tengah berlangsung membuat aktivitas pembakaran semakin meningkat. Sampah yang mengering dan kinerja pengelolaan sampah yang kurang baik membuat masyarakat kembali memilih opsi membakar sampah secara mandiri.
Di tengah upaya pemerintah yang belum maksimal, masyarakat harus kembali menggunakan masker sebagai proteksi mandiri. Syifa Nulia (29), warga perumahan Cluster Sudimara, Jombang, Tangerang Selatan, menceritakan pengalamannya berhadapan dengan buruknya kualitas udara Tangerang Selatan serta maraknya pembakaran sampah di sekitar tempat tinggalnya.
”Di sekitar rumah terdapat lebih dari tiga tempat pembakaran sampah. Padahal, sekarang sudah enggak ada Covid-19, ingin bebas keluar tanpa masker, justru sekarang keluar rumah malah pakai masker dobel. Itu pun bau asapnya masih tercium,” kata Syifa.
Ia mengungkapkan, empat anggota keluarganya bahkan pernah didiagnosis mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) selama berbulan-bulan. Dirinya kini menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran.
Padahal, sekarang sudah enggak ada Covid-19, ingin bebas keluar tanpa masker, justru sekarang keluar rumah malah pakai masker dobel. Itu pun bau asapnya masih tercium.
Polutan yang dihasilkan dari pembakaran sampah terbuka ini tidak hanya mengancam aktivitas di luar, tetapi juga di dalam ruang. Di SDN Pondok Karya, para guru dan siswa harus kembali memakai masker. Apalagi, lokasi pembakaran tepat berada di samping pagar sekolah.
Ketika cuaca semakin terik, sampah menjadi kering dan mudah terbakar. Asap semakin besar membubung ke udara. Lokasi yang hanya dipisahkan tembok pagar sekolah setinggi 7 meter tersebut membawa asap masuk hingga ke ruang kelas.
”Kesehatan siswa pasti berdampak. Akibat asap itu, anak-anak banyak mengalami batuk-batuk. Dalam situasi tersebut, penggunaan masker dianjurkan, tetapi terkadang anak menjadi tidak fokus belajar,” ucap guru sekaligus sekaligus pembina program Adiwiyata SDN Pondok Karya, Eka Rini Hastuti.
Eka mengungkapkan, penggunaan masker sudah lazim pada masa pandemi Covid-19, tetapi sejumlah aktivitas menjadi terganggu. ”Misalnya, saat jam olahraga bukannya buat sehat, malah harus berhadapan dengan udara buruk yang bisa bikin tidak sehat. Kalau pakai masker kasihan anak, tidak efektif berolahraga,” tutur Eka.
Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto mengingatkan, masyarakat perlu memperhatikan pemakaian masker yang tepat.
”Sebaiknya masyarakat menghindari penggunaan masker kain. Perlu pakai masker medis,” ucap Agus.
Penggunaan masker ini diperlukan untuk menghindarkan masyarakat dari berbagai ancaman penyakit akibat polusi udara dan asap pembakaran sampah terbuka. Udara yang semakin buruk membuat warga rentan terpapar ISPA.
Pekan lalu, seorang anak di Pamulang, Tangerang Selatan, Raya Hari Setyo (8), terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat ISPA. Raya diduga terpapar asap pembakaran sampah yang dilakukan warga di belakang Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan.
Nadia Gia (30), warga Lebak Wangi, Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, juga menceritakan anaknya yang didiagnosis terpapar ISPA. Dia pun menduga penyakit tersebut berasal dari aktivitas pembakaran yang banyak terjadi di sekitar kompleks tempat tinggalnya.
Nadia menyayangkan pembiaran aktivitas pembakaran sampah secara liar. Di sekitar tempat tinggalnya, ada tiga area pembakaran sampah. ”Pembakaran tersebut berasal dari permukiman di samping kompleks. Pembakarannya setiap hari,” katanya.
Agus memaparkan, polusi udara bisa berdampak buruk pada kesehatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Data menyebutkan, polusi udara menjadi faktor risiko kematian terbesar kelima di Indonesia setelah tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, merokok, dan obesitas.
Paparan polusi udara bisa menyebabkan dampak akut atau jangka pendek, seperti mata merah, hidung berair, bersin, peradangan, sakit tenggorokan, batuk, dan dahak.
Dalam jangka panjang, paparan polusi udara yang berkepanjangan bisa menyebabkan penurunan fungsi paru. Selain itu, efek kronik paparan polusi udara ialah reaksi alergi, peningkatan risiko asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta risiko kanker.
”Studi yang dilakukan di RSUP Persahabatan pada 2019 menunjukkan adanya kaitan erat antara kualitas udara yang buruk dan kasus asma. Semakin tinggi polusi udara, semakin tinggi pula kasus asma yang dilaporkan,” ujar Agus.
Pajanan polusi udara juga bisa berdampak pada tingkat kognitif anak. Studi menemukan polusi udara dapat membuat proses persepsi dan sensori informasi anak jadi lebih lambat. Fungsi memori, atensi, dan koordinasi motorik anak yang terpajan polusi udara juga lebih rendah dibandingkan dengan yang minim pajanan polusi udara (Kompas.id, 8/8/2023).