Dari Rumah DP 0 Rupiah Menjadi Hunian Terjangkau Milik
Penyediaan hunian terjangkau di Jakarta memang tidak mudah. Dibutuhkan penyesuaian dan keberagaman program agar kebijakan pemenuhan hunian layak tepat sasaran.
Program Rumah DP 0 Rupiah berganti nama jadi Hunian Terjangkau Milik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui nama baru itu berharap program tersebut lebih efektif, tepat sasaran, dan menghindari kekeliruan pemahaman masyarakat.
Hunian Terjangkau Milik merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hunian di Jakarta. Program ini merupakan muara dari penyediaan rumah susun sewa. Artinya, rumah susun sewa sebagai wadah atau inkubator untuk meningkatkan kemampuan ekonomi warga. Warga yang telah berdaya di rumah susun diharapkan agar nantinya memiliki kemampuan membeli rumah sendiri melalui program Hunian Terjangkau Milik.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Retno Sulistiyaningrum mengatakan, program Rumah DP 0 Rupiah berganti nama jadi Hunian Terjangkau Milik karena adanya perbedaan persepsi di masyarakat. Selama ini kebanyakan masyarakat mengira bahwa 0 rupiah hanya untuk uang muka saja. Padahal, sesungguhnya ada dua skema pembayaran, yaitu uang muka ditanggung sebesar 20 persen dan kepemilikan rumah ditanggung penuh dengan cicilan sesuai tenor yang disepakati.
”Istilah DP 0 kami ganti karena ternyata dalam pelaksanaaanya uang muka ditanggung dan banyak masyarakat ingin ditanggung 100 persen,” kata Retno dalam wawancara khusus bersama Kompas, Jumat (14/7/2023), di Jakarta.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Pasarkan 1.321 Unit Hunian DP Nol Rupiah
Penerima manfaat Hunian Terjangkau Milik harus warga/penduduk Jakarta berpenghasilan rendah, tidak tinggal di rumah sendiri karena mampu mencicil biaya rumah, tetapi tidak dapat mengumpulkan uang muka, tidak pernah menerima subsidi perumahan, dan memenuhi persyaratan, serta lolos tahap seleksi.
Persyaratan pendaftaran Hunian Terjangkau Milik meliputi warga dengan e-KTP dan kartu keluarga Jakarta, belum memiliki rumah, tidak sedang menerima bantuan subsidi perumahan, memiliki surat nikah jika sudah menikah, memiliki NPWP, penghasilan rumah tangga per bulan maksimal Rp 14,8 juta, dan memenuhi syarat kredit sesuai aturan perbankan. Selain pergantian nama, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta turut mengevaluasi pemilik Hunian Terjangkau Milik setelah viral salah satu unit di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, disewakan sebagai indekos.
Menurut Retno, Hunian Terjangkau Milik dibangun oleh BUMN, BUMD, atau swasta. Pemerintah daerah berperan dalam memfasilitasi penyaluran dana untuk perolehan rumahnya.
”Untuk pemasaran hunian terbangun itu ada yang masuk program subsidi pemerintah dan komersial tanpa subsidi. Kami tempel stiker sebagai tanda unit yang disubsidi oleh pemerintah untuk pembeda,” ujar Retno.
Baca juga: Jalan Terjal Gapai Hunian Vertikal
Merujuk Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 104 Tahun 2018 tentang Fasilitas Pembiayaan Perolehan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, unit yang disubsidi tidak boleh disewakan atau diperjualbelikan. Pengalihan bisa dilakukan terhitung setelah lima tahun dari serah terima kunci.
Penyesuaian program
Tantangan dalam penyediaan hunian layak dan terjangkau bagi warga adalah harga tanah dan biaya konstruksi. Semakin tinggi harga keduanya maka semakin dalam kocek yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan rumah.
Wakil Ketua Bidang Riset Dewan Perwakilan Daerah Real Estate Indonesia Jakarta Chandra Rambey menjelaskan, upaya pemerintah menghadirkan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sulit diakselerasi. Harga tanah yang tinggi dan masih mengacu pada mekanisme pasar membuat naik-turunnya sulit diintervensi oleh pihak di luar pasar.
Akibat sulitnya pemerintah dalam mengendalikan harga tanah, intervensi coba dilakukan melalui pendekatan fiskal, seperti pelonggaran uang muka, bunga cicilan murah, dan diskon pajak melalui insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah.
”Akhirnya yang bisa dilakukan adalah utak-atik dari sisi pembiayaannya,” ujar Chandra.
Menurut Presiden Direktur Provalindo Nusa itu, Hunian Terjangkau Milik sebagai langkah awal mewujudkan rumah terjangkau dan layak bagi MBR. Namun, program ini sulit diakselerasi perkembangannya lebih jauh.
Kesulitan itu seperti penetapan harga jual. Harga tanah dan biaya konstruksi yang terus bergerak membuat pematokan harga hunian per unit tahap awal bisa tak sesuai perhitungan biaya pembangunan di akhir. Dampaknya beberapa kontraktor urung bekerja sama dalam pembangunan hunian.
Ketidaksesuaian itu juga menyulitkan penjualan seluruh unit dengan harga yang ditetapkan di awal. Mau tidak mau akan terjadi diversifikasi, pemerintah menjual beberapa unit dengan mengacu pada harga pasar agar program tetap dapat berjalan.
Pilihan menjual unit dengan harga pasar tidak serta-merta mendongkrak penjualan. Saingannya para pengembang lain.
Tantangan lainnya adalah target masyarakat yang berhak menerima program. Pada awalnya, program ini menyasar masyarakat dengan penghasilan maksimal Rp 7 juta per bulan, tetapi diubah menjadi maksimal Rp 14 juta per bulan.
Chandra menilai masyarakat masih akan terbebani, khususnya dengan gaji di bawah upah minimum Jakarta atau upah berkisar Rp 1 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Dengan asumsi cicilan terendah sebesar Rp 1,2 juta, 40-60 persen penghasilan warga akan habis hanya untuk membayar cicilan rumah. Bagi warga yang telah berkeluarga, hal ini tentu memberatkan.
Jika targetnya masyarakat prasejahtera, program ini kurang tepat. Namun, cukup baik dilanjutkan selama komitmen untuk mengalokasikan anggaran.
Saat yang sama, bagi warga dengan gaji Rp 10 juta sampai Rp 14 juta, program ini juga kurang tepat sasaran. Warga dengan tingkat upah tersebut mampu mengakses kredit pemilikan rumah komersial yang dianggap lebih baik secara fasilitas.
”Jika targetnya masyarakat prasejahtera, program ini kurang tepat. Namun, cukup baik dilanjutkan selama komitmen untuk mengalokasikan anggaran. Langkah-langkah seperti ini bagus, tetapi langkah tegas juga perlu untuk memastikan harga tanah bisa terjangkau. Tanah harus dianggap sebagai kebutuhan dasar supaya semakin banyak rumah MBR yang bisa dibangun,” ujar Chandra.
Peneliti di Center for Market Education, Alfi Syahrin, sependapat. Opsi pembiayaan yang banyak tersedia di masyarakat lebih banyak menyasar bagi warga dengan penghasilan tetap (fixed income). Bagi mereka dengan penghasilan harian atau tidak tetap, belum banyak metode pembiayaan yang bisa dipilih dalam mewujudkan hunian impian.
Baca juga: Alternatif Bernama Hunian Vertikal Kolaboratif
Meski demikian, masih terbuka model pembiayaan yang bisa menjangkau masyarakat dengan penghasilan Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per bulan. Model pembiayaan tersebut dikenal sebagai metode staircasing ownership (kepemilikan bertahap).
Skema ini menggunakan pola share ownership di mana kepemilikan rumah dibagi antara penjual rumah dan calon pembeli rumah. Aturan detail dan implementasinya masih dalam tahap perencanaan di Kementerian PUPR.
Dalam skema itu, calon pembeli akan membeli beberapa porsi kepemilikan dari penjual rumah sesuai dengan harga yang ditetapkan. Selanjutnya, calon pembeli akan membayar sewa per bulannya dalam tenor waktu yang ditentukan. Jumlah biaya sewa yang ditetapkan lebih rendah dari biaya cicilan jika menggunakan skema KPR pada umumnya. Biaya sewa tersebut dapat terus turun jika calon pembeli menambah porsi kepemilikannya dalam rumah tersebut.
Skema ini dinilai membantu MBR untuk tetap memiliki rumah sembari menabung uang untuk secara bertahap menambah porsi kepemilikan dari rumah yang ditinggali. Semakin besar porsi kepemilikan yang bisa beli, semakin rendah biaya sewa yang harus dibayar. Program ini direncanakan akan dipakai dalam model pembiayaan di proyek Rumah Susun Cisaranten Bina Harapan, Bandung, Jawa Barat.
”Model pembiayaan yang ada masih terbatas karena aturan dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memang ketat agar nanti tidak sembarangan hingga menyebabkan dampak sistemik. Opsi staircasing ini bisa menjadi tahap awal yang baik untuk pembiayaan rumah bagi MBR karena sesuai dengan kondisi ekonomi dan bisa lebih berkelanjutan,” tutur Alfi.
Konsolidasi lahan
Penyediaan hunian yang layak bagi seluruh golongan memang sulit. Minimnya pekerjaan dan hunian yang terjangkau membuat warga menumpuk di tengah kota dan memicu tumbuhnya permukiman padat penduduk dan kumuh.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Andy Simarmata menuturkan, konsep konsolidasi tanah vertikal dapat menjadi upaya untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan pendekatan tersebut, rumah-rumah tapak milik puluhan atau ratusan keluarga disatukan dalam bentuk bangunan vertikal.
Dengan ini, warga juga tidak perlu digusur lalu direlokasi menuju tempat yang jauh. Relokasi masyarakat di perkampungan padat penduduk dinilai kurang tepat mengingat sebagian dari mereka banyak yang kehilangan pekerjaan. Kondisi ekonomi yang malah menurun membuat mereka akan kembali ke tempat semula. Praktik seperti ini mulai banyak dilakukan di negara dengan tingkat urbanisasi tinggi seperti India dan Nepal, yang disebut sebagai land pooling.
Dengan bentuk bangunan vertikal, pemanfaatan ruang pun semakin efektif karena lahan sisa bisa dimanfaatkan untuk fasilitas umum. Tidak hanya itu, jumlah lantai pun bisa disesuaikan dengan kebutuhan warga. Agar pengelolaannya tepat, warga wajib membentuk suatu induk usaha baik berupa perusahaan sederhana ataupun koperasi.
”Bisa dibangun sekitar 6 lantai unit rusun, empat bagi warga, lalu dua sisanya disewakan untuk umum. Keuntungannya bisa dibagi kepada warga melalui koperasi. Daripada memindahkan mereka ke tempat yang jauh tanpa ada kepastian pekerjaan,” ujar Andi.
Meski demikian, pemerintah perlu memastikan bahwa tanah yang akan dikonsolidasikan telah memiliki sertifikat yang jelas. Cara ini dinilai menjadi solusi untuk memberikan harapan bagi masyarakat miskin ekstrem agar dapat memiliki hunian yang layak.
Baca juga: Jalan Berliku Warga Kampung Bayam Gapai Hunian Susun