Kendaraan Bermotor Penyumbang Polutan, Perlu Pengembangan Angkutan Umum Berkelanjutan
Sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Indonesia dan di Jakarta secara khusus. Perlu ada intervensi untuk mengurangi emisi karena polusi udara berdampak pada kesehatan dan ekonomi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia masih buruk. Kualitas udara Jakarta dalam 10 tahun terakhir bahkan tercatat buruk. Hal itu dipengaruhi populasi kendaraan, khususnya kendaraan pribadi yang terus meningkat, sehingga menyumbang polutan besar. Sektor kesehatan dan ekonomi menjadi yang paling terdampak.
Demikian dikemukakan Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam dalam webinar ”Diseminasi Hasil Studi Dampak Polusi Udara Dari Sektor Transportasi terhadap Kesehatan di Indonesia”, Senin (24/7/2023), di Jakarta.
Menurut Medrilzam, kualitas udara yang buruk berkaitan dengan konsentrasi PM partikel 2,5 yang melebihi standar. Polusi udara di Indonesia banyak mempengaruhi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pernafasan. Polusi udara juga menurunkan angka harapan hidup hingga 2,2 tahun, serta berdampak pada ekonomi.
Medrilzam mengatakan, PM 2,5 sebagian besar datang dari sektor transportasi, baik penggunaan kendaraan pribadi maupun angkutan umum berbahan bakar fosil yang cukup tinggi. Untuk kendaraan pribadi ini bahkan populasinya tinggi di Indonesia, sementara itu sedikit sekali penggunaan angkutan umum. Pembakaran bahan bakar minyak (BBM) memberikan konstribusi besar pada polusi udara.
Direktur Transportasi Kementerian PPN/Bappenas Ikhwan Hakim dalam acara yang sama mengatakan, polusi udara yang timbul bisa dilihat dari populasi kendaraan pribadi yang meningkat pesat. Pada 2020, terdapat 130,8 juta unit dengan rata-rata peningkatan 8 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Hal itu membuat sektor transportasi masih bergantung kepada bahan bakar fosil. Kurang dari 1 persen kendaraan menggunakan gas dan listrik. Subsidi BBM sebesar 53 persen di antaranya digunakan oleh kendaraan pribadi. Kemacetan yang timbul di enam wilayah metropolitan (Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang, dan Makassar) menyebabkan tambahan 2,2 juta liter penggunaan bahan bakar per hari.
Di sisi lain, ketersediaan angkutan perkotaan, khususnya angkutan umum berbasis rel di Jakarta, baru sepanjang 16 km, yaitu layanan MRT Jakarta. Layanan KRL tidak bisa disebut layanan perkotaan.
Akibatnya, kemacetan di wilayah metropolitan Jakarta pada 2022 ada di peringkat 19 di dunia dan kedua di ASEAN. Indonesia berpolusi udara PM 2,5, tertinggi di Asia Tenggara. Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk atau terpolutan kelima di dunia.
Menurut Medrilzam, perlu ada intervensi untuk mengurangi polusi udara itu. Perlu ada kebijakan yang saling menghubungkan transportasi, polusi udara, kesehatan, dan produktivitas secara terintegrasi menuju transportasi hijau.
Ada tiga kebijakan yang dirumuskan, yaitu kebijakan avoid, kebijakan shifting, dan kebijakan improve. Kebijakan avoid ini meniadakan atau mengurangi penggunaan energi dari aktivitas perjalanan. Simulasi target kebijakan ialah pengurangan perjalanan tiap tahun 2 persen (fair) dan 3 persen (ambisius).
”Caranya dengan menerapkan bekerja dari rumah atau dari mana saja, optimalisasi sistem pelayanan publik, pengendalian pemanfaatan ruang, dan pengembangan fasilitas active mobility,” katanya.
Kebijakan shift, yaitu untuk mendorong orang berpindah ke moda transportasi dengan konsumsi energi yang lebih efisien. Simulasi target kebijakan ini ialah terjadi peningkatan attractiveness angkutan umum 20 persen (fair) dan 40 persen (ambitious). Caranya, ada intervensi komponen biaya termasuk harga tiket, durasi perjalanan, kenyamanan, keselamatan, dan keamanan.
Kebijakan improve, mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi kendaraan dalam menggunakan energi. Ia mencontohkan, untuk angkutan umum bisa menggunakan kendaraan listrik dan infrastruktur menggunakan inteligent transport system untuk mengurangi kemacetan.
Simulasi dari target kebijakan ini ialah 50 persen elektrifikasi transportasi publik pada 2035 (fair) dan 2030 (ambisius); 50 persen elektrifikasi kendaraan pribadi pada 2045 (fair) dan 2037 (ambitious); dan peningkatan fuel economy tiap tahun 2 persen (fair) dan 4 persen (ambitious).
Kebijakan A-S-I tersebut, menurut Medrilzam, tidak bisa berdiri sendiri. ”Diperlukan kebijakan lainnya untuk meningkatkan kualitas udara,” katanya.
Sementara menurut Ikhwan, sesuai RPJMN 2020-2024, untuk isu transportasi, pembangunan transportasi berkelanjutan dengan pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan dilakukan di enam kota metropolitan, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Makassar.
Adapun strategi pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan, dilakukan dengan membangun kelembagaan pengelolaan transportasi perkotaan metropolitan, menyusun rencana mobilitas perkotaan, dan mengembangkan skema pendanaan pembangunan angkutan umum massal. Kebijakan Avoid-Shift-Improve menjadi variabel kebijakan dalam perencanaan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.