Mulai Agustus 2023, Bangunan Tinggi di Jakarta Dilarang Pakai Air Tanah
Mulai 1 Agustus 2023, Pemprov DKI Jakarta akan melarang penggunaan air tanah bagi gedung dan bangunan tinggi di beberapa kawasan. Langkah ini diharapkan menjadi mitigasi awal penurunan muka tanah yang terus terjadi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera melarang penggunaan air tanah bagi gedung dan bangunan tinggi yang berdiri beberapa kawasan, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 94/2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Kebijakan ini menjadi langkah awal bagi pemerintah daerah untuk mengendalikan penggunaan air tanah, yang menjadi salah satu faktor utama dalam penurunan muka tanah di Jakarta.
Ditemui di Jakarta, Jumat (21/7/2023), Teknis Ahli Geologi dan Konservasi Air Baku Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Wuri Anny Yumantini, menyatakan, gedung dan bangunan yang wajib mengikuti aturan ini adalah gedung atau bangunan dengan minimal jumlah lantai sebanyak delapan lantai dan luas lantai 5.000 meter persegi. Adapun kawasan yang menjadi Zona Bebas Air Tanah (Zobat) itu adalah kawasan yang sudah memiliki sambungan perpipaan air dari Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) sehingga penggunaan air tanah seharusnya sudah tidak direkomendasikan.
Dari hasil audit sementara Dinas SDA DKI Jakarta dan konsultan, terdapat 527 bangunan yang akan dievaluasi karena masuk dalam kategori tersebut. Bangunan tinggi itu tersebar di beberapa tempat, yakni Jakarta Selatan sebanyak 209 bangunan, Jakarta Utara 141 bangunan, Jakarta Pusat 133 bangunan, dan Jakarta Timur sebanyak 44 bangunan.
Kawasan Jakarta Barat belum masuk dalam perhitungan karena dinilai masih memerlukan air tanah akibat belum optimalnya pelayanan perpipaan di area tersebut.
Dengan meteran otomatis akan terlihat apakah debit air yang dipakai oleh gedung itu normal atau ada anomali. Dari sini kita bisa cek, apakah masih menggunakan air tanah atau tidak.
”Kita akan evaluasi apakah bangunan-bangunan itu sudah menaati aturan tidak lagi menggunakan air tanah. Sekarang dalam tahap pengendalian untuk mengecek kondisi di lapangan, per 1 Agustus 2023 akan dilarang penuh,” ucapnya.
Untuk memastikan kebijakan ini berjalan, pemilik gedung wajib memasang automatic meter reading (AMR) atau meteran air otomatis yang berfungsi mencatat setiap debit air yang terpakai. AMR akan dipasang di pipa masuk (inlet) dan pipa keluar (outlet) air, baik dari sambungan pipa PAM Jaya maupun sambungan pipa air tanah yang sebelumnya terpasang.
Bagi yang melanggar aturan ini, pemerintah akan melayangkan teguran tertulis hingga sanksi pencabutan izin, seperti izin mendirikan bangunan, sertifikat laik fungsi, dan persetujuan gedung bangunan. Meski demikian, pemerintah masih mengizinkan penggunaan air tanah bagi pengelola gedung yang sudah memiliki izin atau sedang mengajukan izin sebelum aturan ini diterbitkan. Izin berlaku selama tiga tahun dan tidak akan diperpanjang.
”Meteran otomatis ini tersambung ke Sistem Informasi Neraca Air Dinas SDA DKI Jakarta, jadi bisa dilihat bagaimana aktivitas penggunaan airnya. Kalau ada anomali, akan terlihat apakah dia masih memakai air tanah atau tidak,” ucapnya.
Berdasarkan ketetapan di peraturan gubernur tersebut, terdapat beberapa kawasan yang wajib bebas air tanah, seperti ruas Jalan Yos Sudarso di Jakarta Utara, ruas Jalan Gatot Subroto di Jakarta Selatan, dan Kawasan Industri Pulo Gadung di Jakarta Timur.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Taat Setiawan menjelaskan, aturan ini penting mengingat penggunaan air tanah berlebihan berkontribusi hingga 40 persen terhadap penurunan muka tanah di Jakarta. Air tanah yang berfungsi layaknya ”bantal” di bawah tanah semakin menipis sehingga membuat muka tanah ikut menurun.
Ditambah lagi, upaya konservasi air tanah, khususnya di bagian dalam, membutuhkan waktu hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
Berdasarkan penelitian BKAT, sejak pemerintah mulai melakukan upaya konservasi air tanah, kondisi air tanah di Jakarta, khususnya pesisir, mulai membaik. Pada tahun 2013, kedalaman muka air tanah di utara Jakarta tercatat 40 meter bawah muka laut (mbml). Namun, pada tahun 2022, kedalamannya sudah mencapai 20-35 mbml. Hal ini menandakan tinggi air tanah sudah berangsur naik ke permukaan.
”Persepsi yang harus ditanamkan sekarang bahwa air itu sebagai sumber daya yang tidak bisa diperbarui, walaupun sejatinya bisa diperbarui. Pola pikir ini yang harus jadi landasan. Upaya konservasi selama ini pun mencatatkan hal positif,” tuturnya.
Suplai PAM
Sementara itu, Senior Manager Strategic Business Unit Wilayah Utara PAM Jaya Widi Darjanto menjelaskan, pihaknya memastikan bahwa suplai air di wilayah Zobat memiliki tekanan air yang cukup baik, hingga 6-9 meter. Meski demikian, secara umum, cakupan layanan perpipaan milik PAM Jaya masih belum optimal, khususnya daerah perbatasan Jakarta-Banten di Jakarta Barat dan wilayah pesisir Jakarta Utara.
Mengatasi hal itu, pihaknya sedang menunggu pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Karian-Serpong yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Provinsi Banten. Menurut rencana, SPAM ini mulai dapat digunakan pada tahun 2026. Adanya hal ini diharapkan membuat seluruh warga Jakarta tidak lagi menggunakan air tanah dan beralih ke air pipa.
”Sampai sekarang cakupan layanan kami masih 65 persen. Tapi ini terus ditingkatkan seiring dengan dukungan dari SPAM lain yang akan terbangun,” ujarnya.