Edi Mulyono, warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, berpenghasilan Rp 3 juta sebagai nelayan. Terkadang ia mendapat tambahan hingga Rp 3 juta jika banyak wisatawan. Semua serba pas-pasan untuknya, istri, dan ketiga anaknya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jarak kesejahteraan antarwarga di Jakarta kian lebar bahkan dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Warga masih berkutat ataupun sukar lepas dari kemiskinan karena faktor urbanisasi, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, lebih banyak terserap ke lapangan kerja informal, sulitnya akses terhadap sarana dasar yang layak, dan tingginya tingkat pengangguran terbuka.
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta dalam laporan berjudul ”Akhirnya, Angka Kemiskinan Jakarta Turun”, Senin (17/7/2023), menyampaikan bahwa angka kemiskinan pada Maret 2023 sebesar 4,44 persen atau turun 0,09 persen dibandingkan Maret 2020 sebesar 4,53 persen dan turun 0,17 persen dibandingkan September 2022.
Turunnya kemiskinan itu tidak dibarengi turunnya ketimpangan ekonomi atau gap antara pendapatan penduduk kelas bawah dan kelas atas. Ketimpangan ekonomi pada Maret 2023 sebesar 0,431 atau naik 0,019 persen dibandingkan September 2022.
Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan Sosial pada Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Yanu Endar Prasetyo, mengatakan, turunnya kemiskinan tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi hampir semua wilayah, kecuali Sulawesi. Penurunan kemiskinan itu seiring tren positif tumbuhnya ekonomi usai redanya pandemi Covid-19.
”Untuk Jakarta tren positif sudah terjadi sejak Maret 2022, September 2022, dan Maret 2023. Namun, tren ketimpangan terus meningkat bahkan jika dilihat dari sebelum pandemi Covid-19,” kata Yanu, Kamis (20/7/2023).
Merujuk data BPS selama 2017-2023, ketimpangan di Jakarta pada Maret 2017 ada di kisaran 0,413 persen. Angka ini lalu turun jadi 0,39 persen periode September 2018. Ketimpangan lalu terus naik sejak September 2019, dari 0,391 persen hingga 0,431 per Maret 2023.
Menurut Yanu, ada beberapa faktor penyebab naiknya ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi di Jakarta belum merata ke lima wilayah administratifnya. Kemudian dampak pandemi Covid-19 telah mengurangi pendapatan dan konsumsi warga karena kehilangan pekerjaan dan belum terserap kembali ke dunia kerja.
Saat ini, jumlah penduduk miskin di Jakarta mencapai 477,830 orang dari 10,67 juta penduduk. Sementara besaran garis kemiskinan Rp 792.515 dengan rata-rata 4,89 atau jumlah anggota rumah tangga miskin 4-5 orang. Artinya, jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan hidup selama sebulan di setiap rumah tangga miskin mencapai Rp 3.875.398 per bulan.
Yanu menuturkan, tingkat pengangguran terbuka pun masih di atas 8 persen di Kepulauan Seribu (8,47 persen), Jakarta Timur (8,39 persen), dan Jakarta Utara (8,04 persen). Untuk menurunkan angka pengangguran terbuka ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah.
”Untuk memulihkan ketimpangan akibat efek pandemi ini perlu lapangan kerja baru yang tidak sedikit. Ini berat karena ada disrupsi teknologi yang menyebabkan pekerjaan-pekerjaan manual, rutin, dan fisik menjadi kian berkurang,” ujar Yanu.
Selain itu, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya inklusif atau menjangkau warga rentan dan paling membutuhkan bantuan. Contohnya kelompok paling miskin sudah punya akses pada program-program bantuan sosial, tetapi kelas pekerja umumnya justru tidak mendapatkan program yang dapat meningkatkan pendapatan.
Edi Mulyono (38), warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, misalnya, berpenghasilan Rp 3 juta sebagai nelayan. Terkadang dia mendapat tambahan Rp 2 juta atau Rp 3 juta dari kelompok sadar wisata jika banyak kunjungan wisatawan.
Uang itu untuk biaya lima orang dalam keluarganya yang terdiri dari suami-istri dan tiga anak usia sekolah. ”Istri atur supaya bisa cukup-cukup,” ujar Edi.
Edi cukup terbantu adanya bantuan sosial berupa Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus bagi anaknya yang duduk di bangku SD dan SMP. Kartu tersebut memungkinkan warga tidak mampu untuk mengenyam pendidikan minimal sampai dengan SMA/SMK dengan biaya penuh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Tetapi nanti kerepotan saat anak masuk SMA karena harus sekolah di luar pulau. Butuh biaya indekos, transportasi, makan, dan lain-lain,” kata Edi yang masih tinggal serumah dengan orangtuanya.
Tidak heran kalau 1 dari 5 rumah warga Jakarta masuk dalam kategori kumuh atau tidak layak. (Yanu Endar Prasetyo)
Kemiskinan
Jakarta melaju dengan seabrek pembangunan. Gedung-gedung pencakar langit berdiri di pusat kota. Namun, pemandangan itu kontras dengan sebagian warga yang tidak mampu menyewa tempat tinggal sehingga bertahan di permukiman padat penduduk, seperti di bawah kolong Jalan Tol Cawang-Tomang-Pluit Kilometer 17, Jelambar, Jakarta Barat.
Untuk masuk ke situ warga harus melewati celah kecil dari beton yang membatasi Kali Grogol dan Jalan Tol Cawang-Tomang-Pluit. Di dalamnya pun warga tidak dapat leluasa bergerak karena terbatasnya ruang. Tinggi tempat mereka bernaung berkisar 90-130 sentimeter. Belum lagi posisi di bawah kolong jalan tol membuat cahaya matahari sulit masuk sehingga terasa lembab.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah sempat menyoroti ironi itu saat rapat dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Jakarta pada pekan lalu. Wakil rakyat di Kebon Sirih banyak menerima aduan sulitnya mendapatkan rumah susun karena berbagai alasan. Padahal, data dinas menunjukkan masih ada 5.000 unit rumah susun kosong.
Selain itu, masih banyak kawasan kumuh yang tidak sehat bagi anak-anak. Tercatat ada 445 RW kumuh di Jakarta yang hingga kini masih harus ditata agar layak huni.
Yanu menyebutkan, kemiskinan di Jakarta berbeda dengan daerah lain karena faktor pendatang musiman yang besar, tingkat pendidikan serta keterampilan yang rendah, dan warga lebih banyak terserap di lapangan kerja informal.
Penyebab lainnya ialah sulit mengakses sarana dasar, seperti permukiman dan sanitasi layak karena rendahnya tingkat pendapatan. ”Tidak heran kalau 1 dari 5 rumah warga Jakarta masuk dalam kategori kumuh atau tidak layak,” ujar Yanu.
Berdasarkan data BPS tahun 2020, Jakarta menempati urutan pertama dari 10 provinsi dengan rumah tangga kumuh di perkotaan terbesar. Rumah tangga kumuh di Jakarta mencapai 22,07 persen atau 1 dari 5 rumah tangga masuk kategori kumuh.
Yanu menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat terobosan metode validasi dan pemutakhiran data yang lebih sederhana dan ringkas, tetapi punya akurasi tinggi karena mobilitas penduduk Jakarta sangat tinggi. Sebab, proses birokrasi bertingkat dan jangka pemutakhiran yang lama menjadi celah lemahnya akurasi data.
”Kalau validasi dan pemutakhiran data berhasil, program penanganan kemiskinan akan berjalan sangat baik,” kata Yanu.
Validasi dan pemutakhiran itu fokus pada pemetaan rumah tangga miskin secara lengkap dengan memahami karakteristik kemiskinan di Jakarta. Bentuk program pengentasan kemiskinan pun dapat menyesuaikan dengan kebutuhan penerima manfaat.
Yanu menambahkan, mengeluarkan seseorang atau rumah tangga dari kemiskinan tidak akan selesai dengan satu atau dua program. Butuh konsistensi dan komitmen yang cukup panjang. Sebagai alternatif, gagasan seperti jaminan pendapatan dasar untuk warga usia produktif dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang punya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah besar.