Pemerintah Segera Cairkan Santunan untuk Korban Gangguan Ginjal Akut
Pemerintah akan segera memberikan santunan bagi korban gangguan ginjal akut akibat sirop beracun yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Di sisi lain, pemerintah tetap melanjutkan proses hukum dengan korban.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan merealisasikan uang santunan bagi keluarga anak-anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA dalam waktu dekat. Namun, proses hukum yang ditempuh para korban masih terus berlanjut demi mengungkap akar masalah dari kejadian yang disebabkan cemaran senyawa etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat sirop pada akhir 2022 itu.
Asisten Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nia Reviani memastikan santunan akan diberikan kepada semua korban yang berjumlah 326 pasien di 27 provinsi yang tercatat di Kementerian Kesehatan. Sebanyak 204 korban meninggal akan mendapatkan santunan kematian dan 122 yang selamat juga mendapatkan santunan perawatan lanjutan dan biaya hidup.
Keputusan ini diambil setelah rapat koordinasi yang dipimpin Kemenko PMK bersama Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait lainnya pada Selasa (18/7/2023) pagi. Namun, Nia belum bisa memastikan waktu dan besaran nilai santunan yang diberikan kepada para korban.
”Kami sedang merumuskan besaran santunannya, tetapi kami berkomitmen akan memberikan santunan baik yang meninggal maupun yang hidup dengan cacat menetap. Ini akan diberikan sesuai aturan yang berlaku,” kata Nia saat dihubungi, Selasa (18/7/2023).
Kemenko PMK juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencairkan anggarannya. Nantinya, proses penyaluran santunan akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan atau Kementerian Sosial.
Nia menyatakan, santunan ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah kepada korban GGAPA selain dari pelayanan BPJS Kesehatan, yang sejak awal kejadian sampai beberapa pasien rawat jalan tetap menerima manfaat secara penuh. Santunan ini diharapkan dapat meringankan beban keluarga yang masih berjuang memulihkan anaknya dan keluarga yang kehilangan anaknya.
Proses hukum jalan terus
Sementara itu, kuasa hukum yang mewakili 41 korban GGAPA, Siti Habiba, mengatakan, keluarga korban meninggal menuntut kompensasi Rp 3 miliar per orang dan Rp 2 miliar per orang bagi keluarga korban selamat. Hal ini diperjuangkan mereka dalam sidang class action yang masih terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2023).
Habiba menegaskan, para korban tidak sekadar menuntut uang santunan. Gugatan class action tetap diperlukan untuk perbaikan sistem kesehatan demi mencegah tragedi keracunan obat terulang di masa depan.
”Kami berharap keluarga korban tetap semangat karena ini akan menjadi proses hukum yang panjang, kami juga berharap penegak hukum memberikan putusan yang obyektif,” kata Habiba di PN Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Sholihah (36), ibu dari Azqiara Anindita Nuha (3), korban GGAPA meninggal, mengungkapkan sampai saat ini tidak pernah menerima santunan dari pemerintah. Dia kecewa dengan pemerintah yang pernah berjanji bertanggung jawab.
”Selama sembilan bulan ini saya masih merasa bersalah karena sudah memberikan obat itu dan tidak bisa menjaga nyawa anak saya. Sampai sekarang belum ada (tergugat) yang sekadar meminta maaf,” kata Sholihah.
Azqiara meninggal pada 16 Oktober 2022 setelah perawatan intensif enam hari di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat. Dia mengonsumsi obat sirop parasetamol dari resep yang diberi dokter di faskes tingkat pertama dengan layanan BPJS Kesehatan.
Dalam sidang ini, 5 dari 11 tergugat dikeluarkan sebagai tergugat karena sudah mencapai kesepakatan damai setelah delapan kali mediasi dengan para korban. Sementara enam tergugat lainnya, termasuk tiga lembaga pemerintah, memilih melanjutkan perkara.
Keenam tergugat itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan; dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.
Kuasa hukum PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, Reza Wendra Prayogo, menjelaskan, pihaknya belum merasa bersalah secara hukum walaupun empat pemimpin perusahaan mereka, yakni APH, direktur utama; NSA, manajer pengawasan mutu; AS, manajer pemastian mutu; dan Is, manajer produksi; sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada November 2022.
”Kami kemarin belum berdamai karena kami menganggap belum ada satu putusan inkrah yang menyatakan penyebab gagal ginjal ini karena PT Afi Farma, semua masih dalam penyelidikan. Memang sudah ada yang menjadi tersangka, tetapi kan belum inkrah, jadi kami lanjut ke pembuktian,” kata Reza seusai sidang.
Namun, Ketua Majelis Hakim PN Jakpus Yusuf Pranowo menunda persidangan lanjutan setelah mediasi dengan agenda pembacaan gugatan ini karena penggugat masih diminta merevisi berkas gugatan. Sidang dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini ditunda sampai Selasa (25/7/2023) mendatang.