Habis-habisan Hadapi Dampak Panjang Gangguan Ginjal Akut akibat Obat Beracun
Anak-anak penyintas obat sirop beracun yang menggemparkan akhir tahun kemarin sampai kini masih berjuang untuk sembuh. Proses perawatan setiap hari ditambah kebutuhan rutin membuat orangtua banting tulang mencari biaya.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak korban obat sirop beracun penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA sejak Oktober 2022 sampai saat ini terus berjuang melawan efek lanjutan. Mereka kesulitan bicara, tidak bisa makan normal sehingga butuh bantuan selang nasogastrik, hingga mengalami kelumpuhan. Perekonomian orangtuanya pun terkuras demi biaya penyembuhan.
Salah satunya dialami pasangan Tay David Sulu (36) dan Septiana Juwita Sari (29), warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ekonomi rumah tangga mereka tertekan demi penyembuhan anaknya, Alvaro (4), yang masih lumpuh. David hanya bekerja sebagai kurir, sementara Septiana tidak bisa bekerja karena fokus mengurus Alvaro.
Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di Jalan Masjid nomor 110 RT 009 RW 008 Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kontrakan mereka pun sangat sederhana, hanya ada tikar, kasur, dan alat rumah tangga seadanya. Berbagai cara mengumpulkan uang dicoba pasutri ini, tetapi selalu tidak cukup.
”Susunya Alvaro ini khusus, delapan kali sehari, sebulan Rp 3 juta untuk susu saja, belum beras, gula. Belum lagi kalau kontrol dari sini harus naik taksi daring. Bapaknya kerja tidak selalu bisa mengantar, kadang saya minta tolong kiri-kanan. Saya 24 jam ngurus Alvaro, mata sudah panda begini, kurang tidur,” kata Septiana sambil menggendong anaknya yang terus merengek di kontrakannya, Minggu (9/7/2023).
Alvaro mengalami GGAPA sejak diberi obat sirop parasetamol yang diduga mengandung senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) oleh salah satu rumah sakit di Lenteng Agung untuk mengobati demamnya pada 28 September 2022. Setelah tiga hari mengonsumsi obat itu, panas tubuhnya tak kunjung turun dan justru kesulitan buang air kecil.
Setelah diperiksa, dia kemudian divonis terkena GGAPA. Dokter langsung merujuk Alvaro ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat, untuk cuci darah. Dia menjalani perawatan intensif di Pediatric Intensive Care Unit (ICU anak) dan rawat inap selama enam bulan di RSCM.
Septiana yang tengah hamil besar saat itu sampai harus kehilangan anak keduanya karena meninggal di dalam kandungan. Perempuan asal Medan, Sumatera Utara, itu tak kuat menahan beban pikiran sehingga mengakibatkan janin anak keduanya gangguan fungsi jantung pada usia kehamilan delapan bulan.
”Sebelum ini, Alvaro anaknya ceria, bawel, lari-lari, main sepeda terus, sekarang sepedanya cuma digantung tidak pernah dipakai lagi,” ujarnya.
Sampai saat ini, Septiana dengan penuh ketegaran mengantar Alvaro hampir setiap hari ke RSCM. Alvaro masih cuci darah dua kali seminggu pada Senin dan Kamis, lalu Selasa jadwal kontrol ke dokter spesialis nutrisi dan neurologi pediatri, kemudian Rabu untuk mengambil hasil cuci darah dan obat-obatan, dan terakhir Jumat menjalani rehabilitasi medik. Semua biaya kontrol ditanggung oleh BPJS Kesehatan, tetapi mereka harus bersiasat untuk mengurus anaknya di rumah.
”Kami seminggu itu hampir setiap hari ke rumah sakit ke RSCM gotong-gotong Alvaro ke Salemba, sudah jauh, macet lagi, tidak bisa naik KRL karena masih lumpuh,” tuturnya.
Dalam sebulan terakhir Alvaro menunjukkan perkembangan yang cukup baik, dia sudah duduk walau dengan bantuan orangtua, bisa berbicara memanggil ayah dan ibunya. Namun, hidungnya masih dipasang selang nasogastrik untuk membantunya makan dan penglihatan dan pendengarannya sangat terbatas.
”Sangat Puji Tuhan sekali dengan semua perkembangan Alvaro, tetapi kami lelah, butuh dana. Kalau pengobatan memang dari BPJS, tetapi untuk popok, susu, itu berat sekali,” kata David.
Selain itu, David dan Septiana masih menanti pertanggungjawaban pemerintah atas kelalaian mengawasi obat yang beredar di masyarakat. Mereka bergabung dengan orangtua korban lain yang melakukan gugatan kelompok ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mayoritas orangtua korban berasal dari DKI Jakarta itu menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat. Adapun tiga kelompok tergugat yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan.
”Sudah mediasi kemarin tetapi tidak mencapai kesepakatan. Jadi 18 Juli 2023 nanti kami menyerahkan revisi gugatan,” kata perwakilan kuasa hukum para korban, Siti Habiba, saat dihubungi, Sabtu (8/7/2023).
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, total ada 100 anak-anak yang pada saat itu mengeluhkan gejala mirip GGAPA. Setelah diperiksa, 63 anak di antaranya terkonfirmasi positif keracunan etilen glikol dan dietilen glikol.
Kasus paling banyak terjadi pada usia di bawah satu tahun yakni 21 anak, usia 1 tahun sebanyak 11 anak, dan usia 2 tahun 8 anak. Sisanya berada pada rentang usia 3 tahun sampai 17 tahun.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, semua pasien sudah dinyatakan sembuh, tidak ada lagi anak yang terjangkit racun EG dan DEG.
”Masih ada yang rawat jalan di Jakarta, tetapi tidak dianggap sebagai pasien baru. Mereka sudah sembuh dari gejala gagal ginjal akutnya,” kata Ngabila saat dihubungi, Jumat (14/7/2023).
Dihubungi terpisah dari Jakarta, Minggu (9/7/2023), anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, kembali mendesak pemerintah untuk menjalankan semua rekomendasi tindakan korektif atas malaadministrasi yang sudah diputuskan Ombudsman sejak 15 Desember 2022. Salah satunya dengan menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa.
”Tidak perlu menunggu hasil pengadilan. KLB ini supaya semua bisa bersinergi membantu korban, tidak harus letterlijk mengikuti aturan yang bilang KLB harus penyakit menular. Ini tidak cukup pengobatannya dengan BPJS saja tetapi juga sosial ekonominya. Kami harap Bapak Presiden bisa menyoroti hal ini agar segera ditindaklanjuti,” kata Robert.
Kompas sudah berupaya menghubungi Pelaksana Tugas Direktur Utama RSCM dr Lies Dina Liastuti untuk mengetahui jumlah pasien yang masih rawat jalan dan upaya penanganan efek lanjutan yang dialami sejumlah korban obat sirop beracun. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dipublikasikan.