Korban Gangguan Ginjal Akut Menanti Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah pernah berjanji akan memberikan santunan kepada anak korban obat sirop beracun yang tercemar senyawa etilen glikol dan dietien glikol. Namun, janji itu tak kunjung terealisasi sampai saat ini.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga anak-anak korban obat sirop beracun penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA masih menanti pertanggungjawaban dari pemerintah. Pengobatan gratis dari BPJS Kesehatan bukanlah bentuk tanggung jawab, tetapi sudah merupakan hak warga yang harus dipenuhi negara. DPR minta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menepati janjinya.
Para korban sampai harus menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 15 Desember 2022 karena pertanggungjawaban pemerintah tak kunjung datang. Proses mediasi yang difasilitasi pengadilan pun berakhir buntu, sidang akan berlanjut dengan agenda pembacaan gugatan pada Selasa, 18 Juli 2023.
”Mediasinya gagal kemarin karena tergugat merasa tidak bersalah dan mereka meminta lanjut ke pembuktian di sidang,” kata salah satu penggugat, Safitri Puspa Rani (42), Senin (17/7/2023).
Panghegar Bhumi Al Abrar Nugraha, anak Safitri, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat, pada 15 Oktober 2022. Bocah delapan tahun itu meninggal terkena GGAPA setelah minum obat sirop produksi PT Afi Farma Pharmaceutical Industry. Sampai saat ini, dia tidak menerima santunan dari pemerintah.
”Kami belum menerima kompensasi apa pun. BPJS itu bukan kompensasi, BPJS itu adalah hak. Ini tragedi yang disebabkan kelalaian, kelambanan, dan ketidakpedulian oleh perusahaan farmasi dan lembaga negaranya,” ucapnya.
Keluarga dari anak yang selamat dari cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirop itu juga masih berjuang. Sang anak mengalami efek lanjutan, seperti makan dari selang nasogastrik, penglihatan dan pendengarannya sangat terbatas, hingga kelumpuhan. Sementara perekonomian orangtuanya kian tertekan karena biaya perawatan yang mahal.
Hal ini, misalnya, dialami Alvaro (4), anak dari Tay David Sulu (36) dan Septiana Juwita Sari (29), warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. David hanya bekerja sebagai kurir, sementara Septiana tidak bisa bekerja lagi karena fokus mengurus Alvaro.
Hampir setiap hari, mereka bolak-balik ke RSCM untuk mengontrol kesehatan Alvaro. Ongkos perjalanan ini tidak murah dan kebutuhan makan Alvaro menjadi lebih mahal, belum lagi biaya hidup sehari-hari. Berbagai cara mengumpulkan uang dicoba pasutri ini, tetapi selalu tidak cukup.
”Banyak orangtua yang akhirnya kehilangan pekerjaan semasa anaknya sakit, penyintas ini kan menghabiskan berbulan-bulan di rumah sakit, selama proses itu banyak yang hidupnya berubah total,” tutur Safitri.
Safitri dan keluarga Alvaro termasuk dalam 25 orangtua korban yang melayangkan gugatan berkelompok atau class action dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Mereka menuntut pertanggungjawaban kepada 11 tergugat. Sidang akan dilanjutkan pada Selasa (18/7/2023).
Ada tiga kelompok tergugat, yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Padahal, dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menkes dan Kepala BPOM pada 2 November 2022, DPR mendesak pemerintah memberikan santunan kepada keluarga korban yang meninggal dan menjamin pengobatan bagi anak-anak yang selamat. Rapat ini juga dihadiri Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG).
Anggota Komisi IX DPR dari PAN, Saleh Partaonan Daulay, kembali mendesak pemerintah untuk memenuhi janji yang tercatat dalam rapat tersebut. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin bisa segera merumuskan landasan hukum untuk merelokasi anggaran sebagai pertanggungjawaban kepada para korban.
”Bisa dibuat peraturan menteri atau sejenisnya agar ada alokasi anggaran untuk membantu korban ini. Ini momentumnya tepat karena sedang ada pembahasan anggaran di Komisi IX dengan Kemenkes. Janji Menkes waktu itu harus segera dipenuhi,” ucap Saleh, Senin (17/7/2023).
Sejauh ini, polisi baru menetapkan tiga perusahaan farmasi, yakni PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical, dan PT Afi Farma, serta satu pemasok bahan baku obat, CV Samudera Chemical, sebagai tersangka. Menurut Saleh, ini bisa menjadi acuan pemerintah untuk memberikan santunan kepada korban karena terbukti lalai dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat. Selain DPR, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Ombudsman RI juga mendesak hal serupa.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, jika belum ada dasar hukum untuk mencairkan anggaran santunan kepada korban, pejabat di Kemenkes bisa menggunakan anggaran program dukungan manajemen untuk pelaksanaan tugas lainnya. Selain itu, korban juga bisa mengajukan bantuan tunai dari Program Keluarga Harapan di Kementerian Sosial.
”Jadi, santunan untuk korban GGAPA ini tergantung komitmen dari setiap pejabat di kementerian,” ucap Faisal.
Dihubungi terpisah dari Jakarta, Selasa (17/7/2023), Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, sebenarnya sudah ada pos anggaran santunan korban di Kementerian Kesehatan. Kemenko PMK akan menggelar rapat dengan Kemenkes dan pihak terkait untuk segera merealisasikannya pada Rabu (18/7/2023) pagi.
”Semestinya sudah (direalisasikan), setahu saya BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sudah menyetujui,” ungkap Muhadjir.