Teluk Jakarta, Tempat Berlabuh Sampah Plastik
Sampah yang dihasilkan dari sungai di Bekasi dan Tangerang jumlahnya setara dengan sampah tujuh anak sungai di Jakarta.
Sampah yang muncul ke permukaan dan membentuk ”pulau” di pesisir Muara Angke, Jakarta Utara, menguak buruknya tata kelola sampah perkotaan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi. Teluk Jakarta selama bertahun-tahun hingga kini masih jadi tempat berlabuhnya sampah belasan anak sungai. Sampah yang masuk ke Teluk Jakarta pun jumlahnya mencapai belasan ton setiap hari.
Timbulan sampah di kawasan Muara Angke telah menumpuk bertahun-tahun dan membentuk ”pulau”. Sampah yang didominasi plastik itu bahkan telah bercampur lumpur dengan kedalaman mencapai 10 meter.
Upaya mengangkut sampah di Muara Angke pun tak mudah. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bersama Kepolisian Daerah Metro Jaya, saat menggelar kegiatan pembersihan akbar di kawasan hutan mangrove Kali Adem Muara Angke, Kamis (13/7/2023), dengan melibatkan ratusan personel pun kewalahan.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Sarjoko mengatakan, pembersihan sampah di pesisir Muara Angke dilaksanakan selama dua hari, yakni Rabu (12/7/2023) hingga Kamis (13/7/2023). Selama dua hari pembersihan yang melibatkan 500 petugas gabungan itu, ada 100 meter kubik volume sampah yang telah terangkut.
”Satu hari kemudian, dari Polda Metro Jaya turut bergabung, tetapi tidak optimal karena air laut sedang surut. Beberapa kapal kami tidak bisa merapat,” kata Sarjoko saat dihubungi, Minggu (16/7/2023), di Jakarta.
Pembersihan sampah di Muara Angke membutuhkan alat bantu lain untuk memudahkan gerak petugas dalam memungut sampah. Sebab, sampah yang membentuk pulau itu bercampur lumpur dan mudah ambles.
Baca juga: Pulau Sampah Pesisir Muara Angke Bisa Diubah Jadi Hutan Mangrove
Beragam kesulitan itu berujung pada penghentian sementara pembersihan sampah di Muara Angke. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya akan menyusun strategi baru dan mengidentifikasi peralatan yang sesuai untuk kembali melanjutkan pembersihan sampah di Muara Angke.
”Prinsipnya, penanganan sampah di sisi timur (hutan mangrove Kali Adem) perlu effort yang lebih berat. Pembersihan sampahnya juga tidak mudah, banyak kendala,” katanya.
Kontribusi 13 sungai
Sarjoko mengatakan, sampah yang ada di pesisir Teluk Jakarta atau di Muara Angke berasal dari 13 anak sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Sampah-sampah yang telah membentuk daratan seperti pulau itu bukan hanya sampah baru, melainkan sampah yang telah bercampur antara sampah baru dan sampah yang telah terjebak di Teluk Jakarta sejak lama.
”Itu sampah akumulasi karena sebagian sudah bercampur dengan lumpur. Apalagi saat air laut surut, maka akan kelihatan seperti daratan,” kata Sarjoko.
Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Reza Cordova, yang dihubungi terpisah, mengatakan, sampah di pesisir Jakarta atau Teluk Jakarta saling berkaitan antara Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan wilayah sekitarnya, seperti Lampung dan Kalimantan. Sampah yang dihasilkan dari beragam wilayah itu akan berputar atau bolak-balik ke berbagai tempat tersebut.
”Kalau secara spesifik, sampah yang terdampar di Muara Angke itu dari sungai lokal. Sungai-sungai lokal itu, ada dari Tangerang, Jakarta, dan Bekasi,” kata Reza.
Jumlah sampah yang hanyut ke laut dari 13 anak sungai di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi itu pun jumlahnya tak main-main. Dari hasil penelitian BRIN, selama 2015-2017 dan 2022, sampah yang dihasilkan dari tujuh sungai di Jakarta mencapai 7 ton per hari.
”Yang jadi masalah adalah sungai yang ada di Bekasi dan Tangerang. Sumbangan sampah dari sungai-sungai di Bekasi dan Tangerang itu masing-masing 7-8 ton per hari,” kata Reza.
Sampah yang dihasilkan dari sungai di Bekasi dan Tangerang jumlahnya setara dengan sampah tujuh anak sungai di Jakarta. Hal ini menunjukkan kalau tata kelola sampah perkotaan di wilayah penyanggah Jakarta jauh lebih buruk.
”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari dulu memasang jaring sampah dan kemudian diambil setiap waktu dan DKI punya anggaran. Kalau Tangerang dan Bekasi tidak melakukan itu,” katanya.
Berdampak buruk
Perairan dangkal Teluk Jakarta dari penelitian 50 tahun LIPI sebenarnya memiliki keunikan. Arus laut Teluk Jakarta memiliki kemampuan yang baik dalam membersihkan sedimentasi yang masuk ke Teluk Jakarta. Namun, kemampuan arus laut Teluk Jakarta untuk membersihkan sedimentasi atau sampah kian berkurang akibat proyek reklamasi.
”Akibatnya, banyak sampah yang terdampar (terjebak) di Teluk Jakarta. Dari salah satu riset kami, sampah yang terjebak itu paling banyak ada di kedalaman 1 meter,” ujar Reza.
Sampah yang terjebak di Teluk Jakarta, terutama sampah plastik, mengancam biota laut dan mangrove yang hidup di pesisir. Plastik yang terdampar di pantai dan terpapar sinar matahari akan pecah menjadi butiran yang lebih kecil kurang dari satu tahun.
Plastik yang terpapar sinar matahari dan terus terempas ombak itu bakal kian mengecil dan menjadi mikroplastik yang ukurannya kurang dari setengah sentimeter. Mikroplastik yang terpecah-pecah dan tersebar di alam atau lautan akan ditempeli material-material organik. Material-material organik yang menempel pada mikroplastik berpotensi dimakan hewan laut, seperti ikan.
”Dari penelitian kami di Teluk Jakarta, ikan kepala timah dan beberapa tangkapan nelayan lokal itu mengandung mikroplastik. Bahkan di kerang hijau, itu hampir 99 persen mengandung mikroplastik,” kata Reza.
Baca juga: Sampah 13 Sungai Setia Bersarang di Teluk Jakarta
Kerang hijau atau ikan yang mengandung mikroplastik berpotensi mengancam kesehatan manusia jika dikonsumsi manusia. Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia melalui media ikan atau kerang laut itu meski lembut berpotensi melukai organ pencernaan manusia.