Ribuan Unit Kosong, Program Rumah Susun di Jakarta Dinilai Tidak Tepat Sasaran
Program pembenahan kawasan kumuh dengan hanya mengandalkan pemindahan warga ke rumah susun dinilai tidak tepat karena tidak memperhatikan kondisi ekonomi penduduk. Hasilnya, ribuan unit kosong dan tidak terisi warga.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pembenahan kawasan kumuh yang mengedepankan pendekatan rumah susun dinilai kurang efektif karena tidak menyasar kelompok utama yang tinggal di kawasan tersebut, yakni pendatang. Ditambah dengan sulitnya akses, hal tersebut membuat ribuan unit rumah susun tidak terisi. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menyasar semua kelompok agar penyelesaian masalah ini menjadi lebih berkelanjutan.
Dihubungi di Jakarta, Kamis (13/7/2023), Koordinator Urban Poor Consortium Gugun Muhammad menjelaskan, rendahnya keterisian rumah susun (rusun) di Jakarta tidak hanya mengenai sulitnya akses, tetapi juga akibat sasaran program yang kurang tepat. Program yang dimaksudkan untuk menuntaskan permasalahan wilayah kumuh hanya menyasar warga dengan kartu tanda penduduk DKI Jakarta saja. Padahal, kawasan padat penduduk dan kumuh banyak dihuni oleh para pendatang.
Menurut dia, para pendatang yang tidak mampu mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau dan layak membuat mereka mencari hunian alternatif di kawasan padat penduduk. Akibatnya, kawasan kumuh di Jakarta terus tumbuh, terlepas sudah dibangunnya puluhan rumah susun.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membuat kebijakan yang lebih komprehensif mengenai persyaratan rumah susun bila ingin menuntaskan masalah kawasan kumuh dalam jangka panjang.
”Rusun masih hanya untuk yang KTP Jakarta, sementara warga di kawasan kumuh banyak dari kampung. Mereka tidak mendapat tempat, akhirnya tinggal di permukiman padat. Program rusun baik, tetapi lebih cocok untuk keluarga muda yang berpenghasilan rendah ataupun pekerja dari luar daerah,” ujarnya.
Selain itu, program rusun hanya berfokus kepada warga Jakarta yang puluhan tahun tinggal dan bekerja di kawasan padat penduduk. Akan tetapi, hal ini juga tidak efektif karena pemindahan dilakukan tanpa memperhatikan aspek ekonomi warga. Ambil contoh warga yang terkena relokasi imbas revitalisasi Kalijodo tahun 2016, yang dipindahkan ke Rusun Marunda, Jakarta Utara.
Pembenahan kawasan kumuh perlu partisipasi warga agar solusinya tidak selalu mengandalkan rumah susun. Permasalahan ini rumit, solusinya jangan disederhanakan sebatas memindahkan orang saja.
Warga Blok B RT 001, RW 011, Rusun Marunda, Jakarta Utara, Sukaryati (45), menerangkan, awalnya ada sekitar puluhan keluarga yang menetap di rusun Blok B setelah dipindahkan imbas revitalisasi kawasan Kalijodo. Namun, kini hanya tersisa lima keluarga saja.
Minimnya kesempatan kerja menjadi alasan. Yanti mengaku beberapa keluarga pindah karena tidak mampu membayar. Banyak di antara mereka yang kembali mencari tempat tinggal di Kalijodo ataupun kolong Tol Cawang-Pluit, Jakarta Barat.
Menanggapi hal tersebut, Gugun menjelaskan, hal tersebut terjadi karena bagi masyarakat yang ada di kampung kumuh, rumah menjadi sangat personal karena sudah menjadi ”basis produksi” untuk ekonomi, bukan hanya tempat tinggal. Ini yang membuat mereka yang ”dipindah” akan tetap kembali ke tempat mereka semula.
Untuk itu, pembenahan kampung kumuh perlu partisipasi warga yang terdampak. Ia mengapresiasi program pembenahan kampung kumuh lewat program Community Action Plan (CAP) dan Collaborative Implementation Program (CIP) yang kini dijalankan Pemprov DKI Jakarta karena selalu diawali dengan musyawarah dengan warga. Sayangnya, program ini masih fokus pada pembenahan fasilitas umum saja.
”Bila memang mereka harus dipindah ke rusun, pengelolaan aset harus dilakukan dengan koperasi, seperti di Kampung Akuarium, ini agar seluruh warga mendapatkan kepastian mengenai penghasilan dan juga lebih merata,” ucapnya.
Unit kosong
Dalam rapat antara DPRD Provinsi DKI Jakarta dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI Jakarta, Ketua Komisi D DPRD Ida Mahmudah menyebut, banyak warga yang mengadukan kesulitan dalam mendapatkan unit rusun yang dimiliki oleh pemerintah. Berdasarakan Data Dinas PRKP, masih ada sekitar 5.000 unit rusun yang kosong.
Ironis, mengingat masih banyak warga yang tinggal di kolong tol, ataupun warga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni di kawasan permukiman padat penduduk. Selain hunian yang tidak layak, terdapat sekitar 445 RW kumuh di Jakarta yang memerlukan perhatian khusus dari Dinas PRKP karena lingkungannya tidak layak ditinggali, khususnya bagi anak-anak.
”Seperti di Kapuk Muara, mereka tinggal di lahan bukan milik mereka, itu kan di bawah rumah itu sampah dan tidak layak. Lalu di beberapa kolong tol kita, itu banyak sekali penghuni ber-KTP DKI Jakarta,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Kepala Dinas PRKP DKI Jakarta Retno Sulistyaningrum menjelaskan, pihaknya berencana untuk menyediakan sebesar 52 unit untuk menampung warga yang masih tinggal di kolong tol Angke, Jelambar, Jakarta Barat. Menurut rencana, mereka akan mendapatkan hunian di Rusun Cakung, Jakarta Timur, dan Rusun Penjaringan, Jakarta Utara.
Pihaknya pun kini sedang mendata warga yang layak mendapatkan unit di rusun-rusun tersebut. ”Kami koordinasikan dengan Wali Kota Jakarta Barat untuk di data,” ucapnya.