Permasalahan Area Kumuh Jakarta Perlu Perhatikan Dampak Ekonomi Warga Gusuran
Kebijakan relokasi yang tidak diiringi dengan penuntasan masalah kemiskinan membuat area kumuh, seperti di bawah Tol Cawang-Pluit, Jakarta Barat, terus eksis. Memberi sumber penghidupan penting agar warga tidak kembali.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Program penataan kawasan kumuh di Jakarta jangan semata fokus pada permasalahan tata ruang, tetapi juga persoalan kemiskinan yang menyelimuti. Minimnya solusi yang ditawarkan membuat permukiman kumuh di bawah jembatan ataupun kolong tol tetap tumbuh. Solusi penataan kawasan kumuh perlu melibatkan masyarakat agar solusi yang diambil dapat diterima bersama.
Warga Blok B Rukun Tetangga (RT) 001 Rukun Warga (RW) 011 Rumah Susun (Rusun) Marunda, Jakarta Utara, Sukaryati (45), menerangkan, sejak pindah dari kawasan Kalijodo, Jakarta Barat, penghasilan utamanya sebagai pekerja rumah tangga menurun drastis. Semasa tinggal di Kalijodo, ia bisa memperoleh pemasukan hingga Rp 2 juta per bulan. Kini, dia kesulitan mendapatkan penghasilan sebesar itu. Kesulitan mencari kerja terjadi karena rendahnya permintaan dari warga sekitar dan rendahnya kualifikasi pendidikan.
Sebelum pindah ke rusun, ia sempat bertahan dengan menyewa rumah semipermanen kecil di bawah kolong Tol Cawang-Pluit, Jelambar, Jakarta Barat, pada tahun 2017. Akan tetapi, ia dan kedua anaknya harus pindah ke Marunda setelah ditertibkan oleh pemerintah.
Kini, pekerjaan tidak menentu, seperti membersihkan lingkungan sekitar dan merawat bayi milik tetangganya, ia lakukan dengan bayaran seadanya. Untuk merawat bayi contohnya, ia mendapatkan bayaran Rp 30.000 per hari.
Dengan biaya sewa rumah Rp 128.000 per bulan, ditambah biaya air dan listrik hingga Rp 400.000, serta biaya pendidikan kedua anaknya, penghasilannya kini tidak mampu mencukupi. Alhasil, ia pun berutang untuk menutupi biaya tersebut.
”Walaupun di Kalijodo tempatnya kurang layak, orangnya ramai dan beragam, jadi banyak yang bisa kami kerjakan. Kalau di sini sulit, warga yang tinggal juga nasibnya seperti kita. Semuanya di sini sama-sama butuh pekerjaan,” ucapnya saat ditemui di pekarangan rusun di Marunda, Jakarta Utara, Minggu (25/6/2023).
Menurut pengakuannya, awalnya ada sekitar puluhan keluarga yang menetap di rusun Blok B setelah dipindahkan imbas revitalisasi kawasan Kalijodo. Namun kini, hanya tersisa lima keluarga saja. Minimnya kesempatan kerja menjadi alasan. Yanti mengaku beberapa keluarga pindah karena tidak mampu membayar, dan banyak yang kembali mencari tempat tinggal di Kalijodo ataupun kolong Tol Cawang-Pluit, Jakarta Barat.
Kalau saya diusir dari rusun, saya yakin saya tidak akan sendiri. Pasti banyak yang akan bernasib sama.
Hal yang sama dirasakan warga rusun Marunda lain, Stefani Rumagit (33). Wanita yang pindah ke Rusun Marunda pada tahun 2015 ini mengaku pendapatannya juga turun karena sulitnya mendapat pekerjaan. Ia dan keluarga sebelumnya tinggal di kawasan Reformasi, Jakarta Timur, setelah terkena penggusuran pascapembangunan Kanal Banjir Timur tahun 2008.
Turunnya pendapatan membuat ia dan keluarga harus berutang ke bank keliling. Apabila nantinya tidak mampu membayar, dirinya mengaku pasrah, dan akan mencari lahan kosong untuk membangun rumah semipermanen seperti dahulu.
”Kalau diusir dari sini tentu takut. Tetapi kalau memang ada, pasti banyak yang akan diusir. Kalau kami diusir kami buat rumah di belakang masjid rusun. Kami butuh pekerjaan agar bisa tetap bertahan,” ucapnya dengan sedikit tawa.
Dihubungi terpisah, Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menjelaskan, program penataan kawasan kumuh di Jakarta hanya menjawab masalah tata ruang, tetapi tidak dengan masalah kemiskinan yang mendasarinya. Ia menyebut, kawasan kumuh di bawah jembatan layang ataupun kolong tol di Jakarta tetap tumbuh meski sudah ditertibkan berkali-kali.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai minim solusi dengan hanya memindahkan warga ke rusun yang lokasinya relatif jauh. Menurunkan harga sewa rusun juga tidak menjawab permasalahan mengingat warga tetap akan sulit mencari pekerjaan.
Dalam memecahkan permasalahan seperti ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu duduk bersama dengan masyarakat untuk mengurai riwayat pemakaian lahan yang disengketakan. Dari hal tersebut, kejelasan terkait status dan sejarah tanah bisa menemui titik terang. Lalu, pemerintah dan warga merumuskan solusi bersama.
”Berdasarkan penelitian kami, warga sudah tinggal di Kalijodo sejak tahun 1900-an. Lalu tiba-tiba tahun 2015 dinyatakan sebagai kawasan hijau. Solusi pemerintah selalu cuma satu, penggusuran dan relokasi, tapi kurang efektif, karena dipindahkannya jauh sekali. Mereka kehilangan pekerjaan dan ujungnya balik lagi ke tempat semula,” katanya.
Penataan Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara, bisa dijadikan contoh bagaimana kejelasan terkait status tanah bisa membantu akselerasi program pembenahan kawasan kumuh. Dari hal itu pula, pemerintah dapat mengambil pelajaran bahwa program semacam itu memerlukan partisipasi aktif masyarakat.
Pemerintah juga diharapkan membuka data kepemilikan lahan dengan transparan. Hal ini untuk melihat apakah pemerintah memiliki lahan-lahan di lokasi strategis yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umun, seperti membangun rusun.
”Ada banyak cara, pemerintah punya lahan di lokasi yang tidak terlalu jauh untuk dibuat rusun. Atau dibangun perumahan vertikal di sana, lalu dibuatkan sewa jangka panjang agar harganya bisa terjangkau, dan masih banyak opsi lain,” ucapnya.
Dalam wawancara bersama Kompas di Balai Kota Jakarta, Kamis (15/6/2023), Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menerangkan, program pembenahan kawasan kumuh di Jakarta terus digencarkan lewat program bedah RW kumuh. Program ini merupakan lanjutan dari program ”Proyek Muhammad Husni Thamrin” atau Kampung Improvement Program Era Gubernur Ali Sadikin, yang dananya berasal dari pinjaman Bank Dunia.
”Program bedah RW kumuh tetap kami lanjutkan karena hak-hak dasar warga tetap harus dipenuhi,” ujarnya.