Penyelesaian Sengketa, Pintu Awal Pembenahan Kawasan Kumuh Jakarta
Memastikan keabsahan dan kepemilikan lahan menjadi langkah awal dalam mengakselerasi penataan kawasan kumuh di Jakarta. Upaya kolektif warga menyuarakan hal ini juga penting agar mereka tidak terasing dari pembangunan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Penyelesaian sengketa kepemilikan lahan melalui upaya reformasi agraria menjadi pintu awal program pembenahan kawasan kumuh di Jakarta secara menyeluruh. Penanganan juga perlu dilakukan secara komprehensif untuk mencegah tumbuhnya kawasan-kawasan tersebut di masa mendatang.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk ”Rumah untuk Semua” yang diselenggarakan oleh Habitat for Humanity Indonesia, di Jakarta, Rabu (14/6/2023). Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menjelaskan, sekitar 29 persen lahan di permukiman padat penduduk atau kampung kota di Jakarta belum terdaftar. Padahal, pemenuhan terhadap aspek itu penting agar program pembenahan yang menyasar kawasaan tersebut memiliki dasar hukum sehingga dapat diimplementasikan.
Untuk itu, pembenahan bisa dimulai dengan mendaftarkan tanah-tanah tersebut ke Badan Pertanahan Nasional. Kehadiran Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sudah menjadi awal yang baik untuk menuntaskan hal itu, tetapi perlu upaya lebih berani lagi untuk mengakselerasinya.
”Ketidakjelasan status tersebut membuat upaya pemerintah masuk dan menata kawasan itu terhalang karena, apabila memakai APBD, bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nanti. Reformasi agraria harus jadi agenda penting dalam program ini,” ujarnya.
Penataan Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara, bisa dijadikan contoh bagaimana kejelasan terkait status tanah bisa membantu akselerasi program pembenahan kawasan kumuh. Dari hal itu pula, pemerintah dapat mengambil pelajaran bahwa program semacam itu memerlukan partisipasi aktif masyarakat.
”Mereka gugat karena pemprov juga tidak memiliki bukti kepemilikan. Akhirnya, ada kesepakatan. Pemerintah menjadikan kawasan tersebut sebagai aset pemerintah daerah dan disewakan kepada warga. Lalu disepakati, setelah lima tahun aset tersebut dihibahkan kepada koperasi kelolaan warga,” kata Elisa.
Kepastian mengenai kepemilikan juga dapat mencegah timbulnya perkampungan kumuh baru. Dampak kebijakan Kampung Improvement Program yang digagas tahun 1960-an di era Gubernur Ali Sadikin dan terus berlanjut ke era Gubernur Wiyogo Atmodarminto dapat menjadi pelajaran.
Program yang mendapatkan bantuan pendanaan dari Bank Dunia lewat program Jakarta Urban Development Project tersebut dinilai hanya berfokus pada penataan fisik saja, tanpa melihat permasalahan inti, yakni sengketa tanah. Akibatnya, banyak warga yang diserobot tanahnya oleh pengembang ataupun mafia tanah. Hal itu memicu warga di kampung kota pindah dan membentuk kampung kumuh di wilayah lain.
Elisa pun menekankan pentingnya pengorganisasian masyarakat secara kolektif agar penataan wilayah padat penduduk bisa dilakukan secara bersama. Selama ini, masih ditemukan warga yang belum merasa adanya kemendesakan terkait pembenahan di wilayahnya. Aksi kolektif warga penting untuk mendorong pemerintah memberikan pengakuan lalu dapat masuk menata wilayah mereka.
Penyelesaian sengketa lahan menjadi titik awal pembenahan kampung kota. Setelahnya perlu diikuti aksi kolektif warga untuk menjaganya.
”Pengelolaan secara kolektif lewat koperasi juga bisa menghalau terjadinya penyerobotan karena tanah dimiliki secara bersama-sama, bukan masing-masing individu,” ucapnya.
Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Edward Abdurahman menjelaskan, penataan wilayah kumuh membutuhkan kerja sama lintas sektor karena melibatkan aspek sosial dan ekonomi. Dari pengalamannya, banyak warga yang sudah diberikan hunian yang layak di suatu tempat, tetapi kembali lagi ke wilayah kumuh tempat ia tinggal sebelumnya. Minimnya kesempatan kerja dan turunnya pendapatan menjadi hal yang utama.
Pemerintah kini sedang berupaya untuk menjalankan program land banking, dengan mencari tanah yang bisa dimanfaatkan untuk membangun hunian layak bagi warga.
Namun, program ini membutuhkan biaya yang besar. Apabila pemerintah ingin mendapatkan lahan di tengah kota, biaya akan sangat tinggi. Akan tetapi, jika lahan yang didapatkan jauh dari perkotaan, akan ada penolakan dari warga yang akan direlokasi.
”Kepastian mengenai income ini membuat mereka kembali lagi. Untuk itu, perlu ada kolaborasi, dari pemerintah pusat bisa membangun sarananya, sementara lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah memberikan bantuan dari segi sosial dan ekonomi,” ucapnya.
Direktur Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tri Dewi Virgiyanti menjelaskan, selain pembenahan, upaya preventif pun diperlukan untuk mengantisipasi kehadiran permukiman kumuh baru di masa mendatang. Beberapa kebijakan, seperti penegakan aturan tata ruang, dan memastikan pembiayaan rumah yang terjangkau menjadi hal penting.
”Setiap kegagalan kita menangani hal ini terus membebani masyarakat miskin dan menurunkan potensi pembangunan manusia kita. Sebagai otoritas, kita jangan abai. Pemerintah daerah perlu menjadikan ini prioritas,” ujarnya.