Tuntutan Ringan Jaksa kepada Majikan Kecewakan Siti Khotimah
Sembilan orang penyiksa Siti Khotimah hanya dituntut ringan oleh jaksa setelah memukul, menendang, menyiram air panas, menyundut puntung rokok, hingga menyekap PRT itu. Harapan kini ada pada hakim.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga Siti Khotimah, seorang pekerja rumah tangga korban kekerasan dalam rumah tangga, kecewa dengan jaksa penuntut umum karena hanya menuntut si majikan, Metty Kapantow (70), dengan 4 tahun penjara dan So Kasander (73) dengan 3,5 tahun penjara, atas semua siksaan yang tidak manusiawi. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diharapkan obyektif dan adil dalam memutus perkara.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Ruang Sidang Utama Prof H Oemar Seno Adji, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/7/2023), jaksa penuntut umum Muhammad Ma’ruf menilai ada empat hal yang meringankan tuntutan kedua terdakwa. Hal itu mulai dari usia terdakwa yang sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, sudah menyesali perbuatannya, hingga sudah membayar ganti rugi atau restitusi sebesar Rp 257 juta kepada keluarga Siti.
Jaksa juga menganggap tuntutan empat tahun itu sudah cukup sebagai hukuman atas penyiksaan yang tidak manusiawi sampai mengakibatkan Siti menjadi cacat. Hal lain yang memberatkan tuntutan terdakwa adalah mereka tidak mengakui seluruh dakwaan dan penyiksaan ini bertentangan dengan semangat penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia.
Ayah Siti, Suparno, berharap majelis hakim PN Jaksel yang dipimpin hakim ketua, Tumpanuli Marbun, dengan hakim anggota, Ari Muladi dan Samuel Ginting, tidak mengabulkan tuntutan jaksa dan lebih bersikap obyektif dalam memutus perkara ini. Uang restitusi, bagi Suparno, tidak bisa menyembuhkan semua luka fisik dan mental yang dialami Siti.
”Kami keberatan dengan tuntutan jaksa karena anak saya sudah diperlakukan bukan seperti manusia. Seharusnya majikan itu dihukum seumur hidup. Sebagai orangtua, mohon majelis hakim berpegang pada keadilan, bayangkan saja kalau ini terjadi pada anak kalian,” kata Suparno, Jumat (7/7/2023).
Selain disiksa oleh Metty dan So Kasander, Siti juga disiksa oleh anak majikan, Jane Sander (33), serta turut melibatkan keenam PRT lainnya, yakni Evi (35), Sutriyah (25), Saodah (49), Inda Yanti (38), Febriana Amelia (20), dan Pariyah (31). Evi dituntut 4 tahun penjara, sedangkan Jane dan lima PRT lainnya dituntut 3,5 tahun penjara.
Penyiksaan itu berlangsung selama berbulan-bulan di Apartemen Simprug Indah, Jakarta Selatan, pada 2022. Sampai saat ini Siti tidak bisa berjalan dengan baik. Sejumlah luka di tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih. Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, itu juga mengalami trauma berat. Beberapa kali ia terbangun dari tidur karena terbayang-bayang penyiksaan tersebut.
Beberapa kali Siti dituduh mencuri lalu dipukul dengan tangan kosong dan sandal oleh kesembilan terdakwa secara bergantian. Kesalahannya terus dicari-cari, lalu ia disiksa oleh majikan dan PRT lain. Mulai dari disiram air panas, disundut puntung rokok, ditendang, dipukul beramai-ramai, dirantai, diborgol, bahkan disekap di kandang anjing. Dia pun mengalami luka bakar di sejumlah bagian tubuh.
Siksaan itu berakhir saat ia berhasil dibawa keluar dari apartemen majikannya pada 5 Desember 2022 dan pulang ke rumah pada 7 Desember 2022. Berdasarkan hasil visum oleh dokter Rumah Sakit Umum Daerah Dokter M Ashari, Pemalang, Siti didiagnosis mengalami luka bakar pada kedua tungkai, patah tulang tertutup pada tulang tempurung kepala, dan lebam di kedua mata. Ada pula memar pada jaringan parut di bibir atas, leher, payudara, perut, dan tangan, serta lebam di sekitar mata.
Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini menilai proses sidang ini adalah bukti penegak hukum belum berpihak kepada pekerja rumah tangga korban KDRT. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang PRT yang selama 19 tahun tak kunjung disahkan.
”Ini kasus kesekian kekerasan PRT dan selama itu pula proses hukum bagi PRT tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mulai dari polisi yang tidak merespons dan berujung hanya mediasi atau damai. Ini tidak membuat efek jera bagi para majikan penyiksa,” ucap Lita.
Siti Husna Lebby Amin, pendamping Siti dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, menambahkan, tuntutan ringan jaksa ini melanggengkan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Jaksa dianggap mengabaikan dampak fisik dan psikis yang dialami Siti.
”Segera sahkan UU PRT sesuai ratifikasi konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) tentang pekerjaan yang layak bagi PRT. Jangan sampai putusan hakim justru semakin menyakiti korban,” ucap Siti Husna.
Sidang dengan nomor perkara 254/Pid.Sus/2023/PN JKT.SEL ini masih berlanjut dengan agenda pembacaan pembelaan atau pleidoi dari kedelapan terdakwa di PN Jaksel pada Senin (10/7/2023). Sementara Siti dan kuasa hukumnya berencana melaporkan jaksa Muhammad Ma’ruf kepada Komisi Kejaksaan untuk dievaluasi atas tuntutan ringan tersebut.