Siti Khotimah, Pekerja Rumah Tangga yang Disiksa Majikan, Berjuang Mencari Keadilan
Berbulan-bulan Siti disiksa oleh majikan dan ART lain. Disiram air panas, disundut puntung rokok, ditendang, dipukul, dirantai, diborgol, ditendang, hingga disekap di kandang anjing. Kini, ia berjuang di pengadilan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Bekas luka di kaki yang belum sepenuhnya pulih sejak disiksa oleh majikannya tidak menghalangi langkah Siti Khotimah (23) untuk memperjuangkan keadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (5/6/2023). Dengan penuh ketegaran, Siti menjadi saksi dan menjelaskan berbagai macam perbuatan keji terhadap dirinya oleh delapan terdakwa yang dihadirkan juga oleh hakim di ruang persidangan.
Siti merupakan pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja untuk Metty Kapantow (70) dan So Kasander (73), pasangan suami istri di sebuah apartemen di Simprug, Jakarta Selatan. Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah itu disiksa oleh kedua majikan, bersama anaknya, Jane Sander (33), dan turut melibatkan kelima PRT lainnya, yakni Evi (35), Sutriyah (25), Saodah (49), Inda Yanti (38), Febriana Amelia (20), dan Pariyah (31).
Awalnya Siti direkrut dari salah satu jasa penyalur PRT pada Mei 2022 untuk membantu semua kebutuhan rumah tangga selama 24 jam di apartemen Metty dan So dengan tawaran gaji Rp 2 juta per bulan. Semua berawal dengan baik, sampai satu waktu pada September 2022, Siti diperlakukan tidak manusiawi saat dituduh mengambil makanan dan pakaian majikannya.
”Saya masih belum kuat mengikuti sidang ini karena harus dihadapkan dengan pelaku,” kata Siti menjelaskan kepada hakim karena terbata-bata memberikan kesaksian di Ruang Sidang Utama Prof H Oemar Seno Adji, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/6/2023).
Saat dituduh, Metty memukul wajah Siti dengan tangan kosong dan sandal. Kemudian Metty menyuruh kelima PRT lain untuk melakukan hal yang sama secara bergantian. Setelah kejadian itu, Metty, So, dan Jane mewajibkan PRT lain menghukum Siti saat melakukan kesalahan. Hukuman dilakukan secara keji dan harus direkam sebagai laporan kepada majikan.
Saya mengharapkan proses hukum yang seadil-adilnya. Saya tidak bisa memaafkan perbuatan mereka. (Siti Khotimah)
Selama berbulan-bulan Siti dituduh melakukan kesalahan lalu disiksa oleh majikan dan PRT lain. Mulai dari disiram air panas, disundut puntung rokok, ditendang, dipukul beramai-ramai, dirantai, diborgol, ditendang, dipukul, bahkan disekap di kandang anjing. Dia pun mengalami luka bakar di sejumlah bagian tubuh.
”Saya mengharapkan proses hukum yang seadil-adilnya. Saya tidak bisa memaafkan perbuatan mereka,” ucap Siti sambil menyeka air mata.
Siksaan itu berakhir saat ia berhasil dibawa keluar dari apartemen majikannya pada 5 Desember 2022 dan pulang ke rumah pada 7 Desember 2022. Ayahnya, Suparno sangat terpukul melihat anaknya yang pamit merantau ke Ibu Kota, pulang dengan kondisi penuh luka lebam di tubuh dan luka di kaki yang sudah membusuk.
Berdasarkan hasil visum oleh dokter Rumah Sakit Umum Daerah Dokter M Ashari, Pemalang, Siti didiagnosis mengalami luka bakar pada kedua tungkai, patah tulang tertutup pada tulang tempurung kepala, lebam di kedua mata. Ada pula memar pada jaringan parut di bibir atas, leher, payudara, perut, dan tangan, serta lebam di sekitar mata.
”Waktu itu masih sehat-sehat saja waktu awal-awal sering WA (whatsapp) dan panggilan video lewat kakaknya yang pertama. Saya terakhir melihat masih baik-baik saja, lalu hilang kontak. Pulang ke rumah sudah muka lebam, kaki membusuk, rambut rontok semua,” kata Suparno.
Suparno lalu melaporkan peristiwa ini ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kasus ini pun bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 254/Pid.Sus/2023/PN JKT.SEL. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tumpanuli Marbun dengan hakim anggota, Ari Muladi dan Samuel Ginting.
”Untuk ke depannya dihukum seadil-adilnya melalui pengadilan hukum. Bagaimanapun caranya, anak saya sudah begini,” ucap Suparno.
Dakwaan pasal berlapis
Jaksa penuntut umum (JPU) Muhammad Ma'ruf mendakwa kedelapan terdakwa dengan pasal berlapis, yakni Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan Berat dengan ancaman pidana lima tahun penjara dan Pasal 44 dan 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Secara terpisah, anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Tuani Sondang Rejeki Marpaung, yang mendampingi Siti berharap, jaksa turut menambahkan pasal dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Siti juga sudah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
”Ini sangat disayangkan polisi dan jaksa tidak memasukkan pasal UU TPKS tersebut, jadi ini akan kami kawal bersama,” kata Tuani.
Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini juga menyoroti tidak adanya hakim perempuan untuk memberikan pandangan dalam memutus kasus ini. Selain itu, dia berharap pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang PRT.
”Ini adalah kasus penyiksaan yang ke sekian kali, sudah sangat parah dan fatal yang tidak hanya terjadi di luar, tetapi juga di dalam negeri. Artinya, UU PRT harus segera disahkan,” kata Lita.