Gaya Hidup dan Kombinasi Teknologi Diperlukan untuk Mengurai Gunungan Sampah Jakarta
Tantangan yang dihadapi Jakarta tidak hanya mengelola gunungan sampah di TPST Bantargebang. Sampah diatasi dengan gaya hidup bebas sampah, pemilahan sampah, dan kombinasi teknologi minim residu.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sampah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas di Jakarta tak akan selesai hanya dengan penanganan di akhir. Sedari awal, gaya hidup bebas sampah terus digalakkan. Pada pengelolaan akhir sampah, dimanfaatkan teknologi tepat guna atau paling minim residu.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat kenaikan jumlah sampah harian berdasarkan data timbangan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Rata-rata jumlah sampah masuk sebanyak 7.228 ton per hari pada tahun 2021 atau meningkat 27 persen dari rata-rata sampah masuk tahun 2015 sebesar 5.655 ton per hari.
Salah satu upaya mengatasi kenaikan sampah ini dengan fasilitas landfill mining (tambang sampah) dan pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau refused derived fuel (RDF) di Bantargebang. Pabrik RDF dinilai lebih terjangkau daripada pengelolaan sampah antara atau intermediate treatment facility (ITF).
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Ahmudi menyebutkan, sampah perkotaan terdiri dari sampah rumah tangga, sampah hasil kegiatan komersial (wisata, kantor, dan bisnis), sampah industri (limbah), dan sampah biomedis. Ada juga sampah dengan bahaya khusus seperti radioaktif, bahan peledak, dan elektronik.
Dalampengelolaan sampah menjadi energi, sampah dipilah untuk dikelola sesuai jenisnya dengan teknologi yang tepat guna agar minim residu. Tujuan akhirnya ialah menjadi sumber energi ramah lingkungan, harganya terjangkau, diterima masyarakat, dan bisa diakses secara luas.
"Bukan hanya kelola sampah yang menggunung dan menumpuk. Tetapi kita pilah sampah dan kelola sesuai jenisnya," ujar Ali, Rabu (5/7/2023), di Jakarta, dalam diskusi tentang manajemen pengelolaan sampah sesuai Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Ali mengatakan, ada beragam cara pengolahan sampah. Paling tradisional adalah dengan membuang, membakar, atau menimbun sampah dalam lubang. Hasilnya ada residu cairan dan asap yang mencemari lingkungan. Belum lagi aroma yang menusuk hidung.
Pengolahan tradisional ini mulai beralih ke teknologi, seperti RDF yang ada di Jakarta. Pabrik RDF tersebut mengolah 2.000 ton sampah per hari. Sebanyak 1.000 ton sampah berasal dari tumpukan sampah lama berusia enam tahun lebih, yang didapatkan lewat metode landfill mining. Sampah lama ini berasal dari zona tidak aktif Bantargebang.
"Volume sampah di Jakarta bergunung-gunung. RDF belum selesaikan masalah karena tak sebanding dengan tumpukan sampah lama. Kita butuh teknologi yang menghancurkan sampah lama agar jangan sampai terus menumpuk lalu roboh," kata Ali.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disarankan untuk tetap mengupayakan adanya ITF sebagai kombinasi teknologi pengolahan sampah. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, ITF yang batal dibangun dapat mengolah mulai dari 1.500 ton sampai 2.200 ton per hari.
Volume sampah di Jakarta bergunung-gunung. RDF belum selesaikan masalah karena tak sebanding dengan tumpukan sampah lama. Kita butuh teknologi yang menghancurkan sampah lama agar jangan sampai terus menumpuk lalu roboh.(Ali Ahmudi)
Senada diutarakan peneliti sustainability Sigmaphi Indonesia Gusti Raganata. Lembaga kajian kebijakan publik dan analis data itu menilai, Jakarta sudah selangkah lebih maju dalam pengolahan sampah. Akan tetapi, sebagian besar atau 90,8 persen sampak masuk ke TPST Bantargebang dan sisanya dikelola secara mandiri maupun belum tertangani.
Tindak lanjut
Berkaca dari temuan lapangan, pengelolaan sampah di Jakarta masih menghadapi masalah penumpukan sampah akibat jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang tinggi. Hal ini diikuti sistem pengangkutan dan pemrosesan yang belum optimal.
Gusti menyebutkan, masalah lainnya seperti kurangnya kesadaran masyarakat terkait pentingnya pengelolaan sampah dari rumah dan tempat tinggal maupun terbatasnya solusi yang diupayakan pemerintah.
"Kota besar seperti Jakarta membutuhkam insinerator yang bisa mengolah sampah menjadi listrik. Sampah bisa dibakar hingga 97 persen dan minim residu," ucap Gusti.
Insinerator dibutuhkan karena sampah organik mendominasi komposisi sampah di Jakarta, mencapai 53,75 persen. Adapun sampah kertas menjadi sampah anorganik paling dominan, sebesar 14,02 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan, regulasi pengolahan sampah sudah ada. Masalahnya tinggal implementasi di lapangan mulai dari gaya hidup bebas sampah, pemilahan sampah dari lingkungan hingga tempat pembuangan akhir, dan pemanfaatan teknologi yang tepat serta minim residu.
"Solusinya menyeluruh. Kita hitung efisiensi. Setiap teknologi pun memang ada kekurangan dan kelebihan, tetapi gunakan yang lebih efektif," kata Bhima.