Pemprov DKI Jakarta akan menambah pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau RDF Plant di Rorotan, Jakarta Utara, dan Pegadungan, Jakarta Barat, pada tahun 2024.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Aktivitas para pemulung di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/6/2023). Pada 2022, Jakarta menghasilkan 3,1 juta ton sampah. Angka itu menempatkan Jakarta menjadi provinsi kedua penghasil sampah terbesar di Indonesia setelah Jawa Tengah, yaitu 4,25 juta ton sampah.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah sampah harian warga Jakarta meningkat 1.573 ton per hari dalam lima tahun terakhir. Seiring peningkatan tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menambah dua pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif hingga tahun 2024.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat kenaikan jumlah sampah harian berdasarkan data timbangan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Rata-rata jumlah sampah masuk sebanyak 7.228 ton per hari pada tahun 2021 atau meningkat 27 persen dari rata-rata sampah masuk tahun 2015 sebesar 5.655 ton per hari.
Salah satu upaya mengatasi kenaikan sampah tersebut dengan fasilitas landfill mining (tambang sampah) dan pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau refused derived fuel (RDF) di Bantargebang. Pabrik RDF dinilai lebih terjangkau daripada pengelolaan sampah antara atau intermediate treatment facility (ITF).
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berencana menambah pabrik RDF di Rorotan, Jakarta Utara, dan Pegadungan, Jakarta Barat, pada tahun 2024. Berkaca dari pabrik RDF di Bantargebang, pemerintah daerah tak lagi mengeluarkan tipping fee atau mengeluarkan biaya untuk membayar pengolah sampah. Anggaran tipping fee justru akan difokuskan untuk mengembangkan fasilitas pabrik RDF.
”Masalah sampah butuh solusi. Pabrik RDF lebih cepat, mudah, dan irit daripada ITF,” ujar Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah, Rabu (28/6/2023).
Proyek ITF beralih ke pabrik RDF karena proses lelang urung terlaksana. Ada banyak hambatan yang muncul, seperti tak tercapai kesepakatan dengan investor.
Ida menambahkan, biaya pembangunan satu pabrik RDF untuk kapasitas 2.000 ton sampah per hari mencapai Rp 1 triliun. Sementara dengan kapasitas sampah yang sama butuh biaya Rp 5 triliun untuk pembangunan satu ITF.
”Untuk ITF juga ada tambahan biaya tipping fee,” kata Ida.
Perkiraan nilai investasi tak jauh berbeda dengan perhitungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Biaya membangun pabrik RDF Bantargebang sebesar Rp 855 miliar untuk kapasitas 2.000 ton sampah per hari, sedangkan ITF Sunter diperkirakan menelan biaya Rp 5,2 triliun untuk kapasitas pengelolaan 2.200 ton sampah per hari.
Subkoordinator Urusan Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan pembangunan dua pabrik RDF untuk tahun 2024.
”Yang di dalam kota (Pegadungan) rencananya selesai dibangun tahun depan,” ucap Yogi.
FAKHRI FADLURROHMAN
Pekerja menyortir sampah baru yang akan diproses menjadi refuse derived fuel (RDF) di kawasan Fasilitas Landfill Mining dan Refuse Derived Fuel Plant TPST Bantargebang, Kota Bekasi, Selasa (27/6/2023). Fasilitas RDF Plant ini bisa mengolah 2.000 ton sampah per hari yang terdiri dari 1.000 ton sampah lama dan 1.000 ton sampah baru. Mesin tersebut dapat menghasilkan sekitar 700 ton RDF per hari.
Pabrik RDF
Pabrik RDF Bantargebang menggunakan lahan seluas 7,5 hektar. Pembangunannya sejak Februari hingga Desember 2022.
Untuk tahap awal, sampah yang sudah diolah menjadi RDF akan digunakan sebagai bahan bakar dua pabrik semen, yakni PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di Citeureup, Jawa Barat, dan PT Solusi Bangun Indonesia Tbk di Narogong, Jawa Barat.
Pabrik RDF tersebut mengolah 2.000 ton sampah per hari. Sebanyak 1.000 ton sampah berasal dari tumpukan sampah lama berusia enam tahun lebih yang didapatkan lewat metode landfill mining. Sampah lama ini berasal dari zona tidak aktif Bantargebang.
Sampah kemudian dicacah dan dihaluskan sehingga menjadi ukuran tertentu untuk digunakan sebagai bahan baku RDF. Sementara sisa sampah lama yang tidak sesuai standar RDF akan dijadikan sebagai tanah humus yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat menanam tumbuhan.
Komposisi hasil pengolahan pun berbeda. Untuk 1.000 ton sampah baru akan menghasilkan 40 persen RDF, 15 persen residu, dan sisanya limbah cair, sedangkan 1.000 ton sampah lama diolah menjadi 35 persen RDF, 40 persen tanah humus, dan sisanya menjadi limbah cair yang nantinya akan menguap.