Berbagi Rumah dengan Keluarga Diyakini Bakal Jadi Tren
Konsep ”co-residence” juga berdampak signifikan dalam menyediakan hunian terjangkau atau bahkan mampu menghapus ”backlog” rumah di Jakarta.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kota-kota di Indonesia, termasuk Jakarta dan sekitarnya, sejatinya tak kekurangan pasokan hunian terbangun. Namun, rumah yang ditawarkan itu tak sepenuhnya menjawab kebutuhan warga kelas menengah di Ibu Kota. Ada alternatif lain mengatasi masalah kekurangan rumah di Jakarta, yakni konsep berbagi rumah dengan keluarga.
Hal ini mengemuka dalam diskusi Potensi Pemenuhan Permintaan Rumah bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-residence di Jakarta, Selasa (4/7/2023), di Jakarta. Diskusi tersebut diprakarsai Jakarta Property Institute (JPI).
Ketua Kelompok Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia Joko Adianto mengatakan, peningkatan harga rumah berukuran kecil di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Banten selama 10 tahun terakhir mencapai 103,1 persen. Peningkatan harga rumah yang tak sesuai dengan daya beli masyarakat jadi salah satu penyebab warga kalangan menegah sulit memiliki hunian layak dan terjangkau.
”Ada ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan. (Rumah) yang disediakan mungkin berbeda dengan apa yang dibutuhkan,” kata Joko.
Selama lima tahun terakhir atau dari 2016 hingga Juli 2020, permintaan unit perumahan cenderung lebih rendah daripada proyeksi tambahan pasokan unit perumahan yang tersedia. Pada 2018, misalnya, permintaan unit perumahan hanya 5.898 unit dibandingkan dengan tambahan pasokan perumahan yang mencapai 17.524 unit.
Warga kelas menengah bakal makin sulit memiliki rumah di Jakarta karena harga tanah terus melambung dan ketersediaan lahan kian terbatas. Dari data yang diolah JPI, lahan terbangun di Jakarta saat ini telah mencapai 95 persen. Dari 95 persen lahan terbangun itu, 48,41 persen diperuntukkan untuk kawasan perumahan.
Lahan untuk perumahan juga masih didominasi rumah tapak, yakni mencapai 91 persen. Sementara peruntukan lahan untuk rumah susun baru 9 persen.
Selama lima tahun terakhir atau dari 2016 hingga Juli 2020, permintaan unit perumahan cenderung lebih rendah daripada proyeksi tambahan pasokan unit perumahan yang tersedia.
Faktor lain yang bakal menjadi beban warga kelas menengah ialah menanggung kebutuhan finansial bagi kelompok usia lanjut. Dari prediksi UN-DESA, diketahui kalau komposisi penduduk Indonesia terutama kalangan lanjut usia bakal bertambah signifikan pada 2045.
Berbagi rumah
Joko mengatakan, persoalan keterbatasan lahan, harga rumah yang terus meningkat, hingga ketergantungan warga lanjut usia bakal memunculkan tren atau konsep berbagi rumah dengan keluarga atau co-residence. Co-residence merupakan cara bertinggal dalam sebuah rumah lintas generasi untuk saling memberikan dukungan sosial dan finansial. Konsep ini bukan hal baru karena telah menjadi fenomena di sejumlah negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara di Eropa.
”Co-residence memungkinkan lebih banyak orang tinggal di lahan yang sama. Wujudnya sebaiknya hunian vertikal karena Jakarta sudah terlalu mahal untuk membangun hunian tapak,” kata Joko.
Konsep co-residence juga berdampak signifikan dalam menyediakan hunian terjangkau atau bahkan mampu menghapus backlog rumah di Jakarta yang mencapai 250.000 unit. Dari simulasi yang dipaparkan Joko, jika konsep co-residence diterapkan di lahan seluas 360 hektar dengan luas per unitnya 36 meter persegi, ada 280.000 unit hunian yang dapat terbangun. Angka ini diperoleh jika hunian dibangun vertikal dengan ketinggian empat lantai.
”Co-residence juga menambah pendapatan daerah berupa pajak dan pendapatan lain melalui peningkatan konsumsi harian masyarakat. Konsep ini memungkinkan masyarakat yang pindah keluar Jakarta bisa kembali ke Ibu Kota,” katanya.
Masih sulit terwujud
Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Iwan Kurniawan mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki regulasi tentang pembangunan rumah tinggal hingga empat lantai. Regulasi itu tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta.
”Hal yang perlu dipikirkan, ketika bangunan-bangunan yang awalnya hanya disiapkan satu atau dua lantai, ketika ditambah menjadi tiga sampai empat lantai, bagaimana kemampuan infrastruktur dari bangunan tersebut. Ada banyak risiko-risiko yang perlu dipertimbangkan,” katanya.
Infrastruktur di Jakarta juga masih harus dikaji secara detail jika menjadikan co-residence sebagai alternatif solusi hunian di masa depan. Sebab, di Jakarta masih terdapat banyak kekurangan, mulai dari ketersediaan tempat parkir, akses air bersih, hingga daya dukung lingkungan.
Hal lain yang tak kalah penting dari potensi co-residence yaitu kepastian status kepemilikan rumah dan kenyamanan bermukim. Sebab, meski berbagi rumah, setiap keluarga yang tinggal bersama harus tetap memiliki ruang privat dan memiliki rasa nyaman karena konsep dari rumah tak sebatas bangunan fisik.