Anak di Bawah Umur Pelaku dan Korban Perdagangan Orang di Kota Bogor
Para pelaku menjerat para korban berawal dari pertemanan di Facebook. Sementara korban lainnya mengaku sudah kenal dengan para pelaku. Namun, dalam praktiknya mereka dipaksa untuk melayani para pria hidung belang.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS – Kepolisian Resor Kota Bogor mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO terhadap anak di bawah umur. Tidak hanya korban, dua pelaku TPPO juga diketahui masih di bawah umur.
Kepala Kepolisian Resor Kota Bogor, Komisaris Besar Bismo Teguh Prakoso mengatakan, Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor menangkap sembilan tersangka dari pengungkapan enam kasus perdagangan anak dari 29 April hingga 11 Juni 2023.
Para tersangka itu, yaitu Samir (24), Alfiansyah (19), Nursobah (19), Rijalludin (21), Achmad (27), Evan (18), Sandi (29), SL (17), SPS (16).
”Dari sembilan tersangka, dua di antaranya anak berhadapan dengan hukum. Enam korban merupakan anak di bawah umur. Ini menjadi perhatian kita bersama termasuk atensi dari Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit terkait tindak pidana perdagangan orang,” kata Bismo dalam keterangan resminya, Selasa (13/6/2023).
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) anak di bawah umur itu berada di lima lokasi, seperti di penginapan Reddorz di Jalan Jenderal Sudirman, Bogor Tengah, dan Apartemen Bogor Valley di Kedung Badak, Tanah Sareal. Selain itu, terungkap pula tiga indekos yang berada di Sindangsari, Bogor Timur; di Tegal Gundil, Bogor Utara; dan di Gunung Batu, Bogor Barat.
Dari hasil pemeriksaan, lanjut Bismo, para pemilik indekos menerima uang bagi hasil atau transaksi dari praktik prostitusi anak di bawah umur. ”Kami akan panggil dan periksa pemilik kos yang terlibat,” kata Bismo.
Dari fakta penggunaan indekos di Kota Bogor untuk TPPO, Polresta Bogor akan bekerja sama dengan instansi terkait untuk memverifikasi jumlah, lokasi, dan izin indekos.
Dalam praktiknya, para korban dipaksa melayani pelanggan hingga lima orang per hari dengan tarif Rp 200.000-250.000. Namun, jika pelanggan memesan melalui sebuah aplikasi MiChat tarifnya menjadi Rp 250.000-350.000.
”Ini kejahatan luar biasa, tidak hanya eksploitasi secara ekonomi dan seksual, tetapi juga prostitusi, dan perdagangan anak di bawah umur . Tindakan hukum tegas bagi para pelaku,” ujarnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor, Komisaris Rizka Fadhila melanjutkan, dua pelaku berhadapan dengan hukum SL (17) dan SPS (16) bisa terlibat TPPO karena terdesak ekonomi. Mereka akhirnya tergiur dengan praktik prostitusi hingga terlibat dalam TPPO karena menghasilkan uang yang cepat.
”Mereka sudah tidak sekolah. Sejak putus sekolah mandiri cari kerja dan tergiur pekerjaan ini. Mereka sadar praktik ini,” tutur Rizka.
Para tersangka, kata Rizka, mengiming-imingi para korban pekerjaan layak dengan gaji besar sekitar Rp 5 juta per bulan. Tawaran gaji besar itu membuat korban tergiur.
Para pelaku menjerat para korban berawal dari pertemanan di media sosial Facebook. Korban lainnya mengaku sudah kenal dengan para pelaku. Namun, dalam praktiknya mereka dipaksa untuk melayani para pria hidung belang.
”Para pelaku bahkan tidak memberikan uang dari hasil korban melayani tamu,” katanya. Korban anak saat ini dalam pendampingan oleh tim Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bogor dan psikolog.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 76F juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 2 juncto Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Para tersangka diancam hukuman 15 tahun penjara serta denda Rp 60 juta hingga Rp 300 juta.