Langkah kepolisian yang kian masif memberantas kejahatan kemanusiaan diharapkan tak hanya panas sesaat, lalu meredup.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Banten dan Polda Metro Jaya selama beberapa bulan terakhir terus bergerilya dan menangkap beragam pelaku yang terlibat tindak pidana perdagangan manusia. Langkah kepolisian yang kian masif memberantas kejahatan kemanusiaan diharapkan tak hanya panas sesaat, lalu meredup. Seusai pandemi, banyak warga yang lapar kerja dan rentan terjerat mafia perdagangan manusia.
Kepolisian Daerah Banten membongkar tiga kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kurun waktu Februari hingga Juni 2023. Pada 18 Februari 2023, polisi menangkap empat pelaku berinisial BT (33), JB (53), YK (39), dan KN (39), di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka ditangkap saat akan mengirim tiga calon pekerja migran perempuan ke Arab Saudi untuk dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
”Empat pelaku ini perannya berbeda-beda mulai dari pencari calon pekerja hingga ada yang bertugas meloloskan para korban dari pemeriksaan di bandara. Para korban ini akan dikirim ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga,” kata Wakil Kepala Polda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Sabilul Alif, Senin (12/6/2023), di Banten.
Gerilya Polda Banten terus berlanjut dengan kembali menangkap seorang pelaku perempuan berinisial RI (49) pada 19 Mei 2023. Pelaku yang bekerja sebagai ibu rumah tangga itu ditangkap saat akan membawa enam korban perempuan ke Bandara Soekarno-Hatta. Para korban itu juga menurut rencana akan dikirim ke Arab Saudi.
”RI ini sebagai sponsor yang merekrut tenaga kerja ilegal. Dia tidak sendiri. Ada pihak lain bernisial IF yang diduga sebagai bos dan dapat memberangkatkan para korban ke Arab Saudi,” ucap Sabilul.
Terbaru, pada 8 Juni 2023, Polda Banten menangkap NI (45) dan YD (40) yang terlibat dalam pengiriman seorang korban perempuan berinisial MH. Korban diberangkatkan oleh dua pelaku pada April 2022 ke Arab Saudi untuk dipekerjakan sebagai PRT.
Sebelum korban diberangkatkan ke luar negeri, para pelaku mengimingi MH dengan upah 1.200 ryal (Rp 4,7 juta). Namun, saat korban tiba di Arab Saudi, dia hanya mendapat upah Rp 1.000 ryal.
”MH kemudian meminta dua pelaku untuk memulangkan korban kembali ke Tanah Air. Namun, karena permintaan itu tak disanggupi, korban melaporkan kasus tersebut ke polisi,” katanya.
Dari hasil pemeriksaan polisi, korban diketahui diberangkatkan ke luar negeri menggunakan visa kunjungan. Korban juga tak terdaftar sebagai pekerja migran legal.
”Dari tiga peristiwa tersebut, modus yang digunakan pelaku, yakni mengajak korban dengan janji akan dipekerjakan sebagai PRT tanpa dokumen yang sah. Para pelaku juga hanya memberikan dokumen berupa visa kunjungan, bukan sebagai pekerja yang legal,” tuturnya.
Di Jakarta, Kepolisian Daerah Metro Jaya juga menangkap dua tersangka tindak pidana perdagangan orang bernisial A (30) dan HCI (61). Mereka akan memberangkatkan enam perempuan sebagai pekerja migran ke luar negeri secara nonprosedural.
Korban diiming-imingi dibantu pergi ke Arab Saudi dan Singapura untuk menjadi pekerja migran Indonesia. Masih terdapat sejumlah pelaku hingga dalang dari jaringan tersebut yang belum tertangkap.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan, kasus ini bermula dari laporan warga yang mencurigai aktivitas di salah satu rumah yang diduga akan dijadikan sebagai tempat penampungan pekerja migran. Rumah tersebut berada di Jalan Percetakan Negara Nomor 23, RT 005 RW 005, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Setelah itu, penyidik Subdirektorat Remaja, Anak, dan Remaja (Subdit Renakta) Ditreskrimum Polda Metro Jaya mendatangi lokasi, lalu menangkap tersangka A sebagai penyalur pekerja migran ilegal dan satu perempuan korban berinisial LH (35). Dari pemeriksaan A, polisi menangkap tersangka HCI sebagai perekrut di sebuah rumah di Jalan Persahabatan A1 Nomor 88, RT 010 RW 008, Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur.
Para korban direkrut HCI pada 8 Februari 2023. Mereka dibiayai mulai tiket pesawat dari kampung halaman, pemeriksaan kesehatan, pelatihan kerja selama sembilan hari dari 10 sampai 18 Februari di Balai Latihan Kerja Kalian Jaya, Jakarta Timur, hingga dibuatkan paspor. Korban hanya diminta menyerahkan dokumen berupa fotokopi kartu keluarga dan KTP (Kompas.id, 9/6/2023).
Ini harus terus dilakukan dan tidak menunggu kasus-kasus viral atau yang lain. Bahkan, kemudian melakukan upaya-upaya pencegahan bekerja sama dengan stakeholder yang lain. (Wahyu Susilo)
Jangan hanya sesaat
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dihubungi terpisah, Senin (12/6/2023), mengatakan, operasi pemberantasan TPPO yang digelar kepolisian diharapkan tak berlangsung sesaat. Polisi diminta terus berkomitmen untuk menggelar operasi berkesinambungan dalam menumpas praktik perdagangan manusia.
”Ini harus terus dilakukan dan tidak menunggu kasus-kasus viral atau yang lain. Bahkan, kemudian melakukan upaya-upaya pencegahan bekerja sama dengan stakeholder yang lain,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, batas antara tindak pidana perdagangan manusia dan perekrutan pekerja migran kerap abu-abu. Oleh karena itu, dibutuhkan kecermatan oleh aparat kepolisian dengan mengawasi secara komprehensif di setiap tahapan perekrutan tenaga kerja migran.
”Kasus perdagangan orang memang makin marak pada masa pandemi. Banyak orang butuh kerja, kondisinya lapar kerja, tetapi pekerjaan di dalam negeri terbatas, upahnya juga masih tidak kompetitif sehingga sebagian orang bekerja ke luar negeri,” ucap Wahyu.
Kondisi sebagian warga yang kesulitan mendapat kerja itu dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan manusia. Para sindikat itu menjebak para pencari kerja dengan menawarkan beragam iming-iming menggiurkan. Tawaran itu kerap membuat sebagian warga terperangkap atau menjadi korban perdagangan manusia.
Wahyu menambahkan, upaya pemberantasan TPPO yang dilakukan oleh kepolisian patut diapresiasi. Namun, upaya melindungi calon pekerja migran dari jebakan sindikat perdagangan manusia dinilai belum memadai.
”Harus ada langkah komprehensif yang lain, utamanya di basis-basis buruh migran di desa-desa. Proses perekrutan itu kadang berlangsung tanpa kontrol sehingga harus ada sosialisasi dan harus ada kesadaran dari aparat desa untuk mengawasi,” ucapnya.