Mulai menurunnya intensitas hujan di Bogor dan sekitarnya mengakibatkan sumber air warga berkurang dan rawan terjadi krisis air bersih. Dampak fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole mulai dirasakan warga.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Bogor di Jawa Barat mendistribusikan bantuan 65.000 liter air bersih kepada 5.263 warga terdampak kekeringan di Kecamatan Jasinga dan Nanggung, Kabupaten Bogor bagian barat. Fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole akan muncul secara bersamaan dan semakin menguat sehingga mengakibatkan curah hujan di bawah batas normal dan kekeringan di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Bogor.
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor Cecep Dais mengatakan, sejak 2 Juni lalu, beberapa desa di Kecamatan Jasinga dan Nanggung terdampak kekeringan sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Mulai menurunnya intensitas hujan di Bogor dan sekitarnya mengakibatkan sumber air warga berkurang.
”Kami distribusikan sebanyak 65.000 liter air kepada warga yang terdampak kekeringan. Pendistribusian kami lakukan dengan membagikan langsung kepada warga dan melalui penampung toren di 24 titik. Itu tersebar di 11 titik di Jasinga dan 13 titik di Nanggung,” kata Cecep, Minggu (11/6/2023).
Dalam pendistribusi air itu, kata Cecep, 10.000 liter air bersih dibagikan kepada 148 keluarga atau 592 warga Kampung Liud di Kecamatan Jasinga. Sebanyak 10.000 liter didistribusikan kepada 152 keluarga atau 603 warga Kampung Roke, Kecamatan Jasinga. Kemudian, 45.000 liter air bersih disalurkan untuk 1.408 keluarga atau 4.068 warga di Desa Kalong Liud, Kecamatan Nanggung.
Cecep mengatakan, pihaknya saat ini terus memantau kondisi di sejumlah desa di Kabupaten Bogor yang terdampak kekeringan dan krisis air bersih. Distribusi air bersih masih akan terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga.
Sebelumnya, BPBD Kabupaten Bogor juga telah mendistribusikan air bersih sebanyak 5.000 liter kepada warga di Kampung Sirna Sari dan Kampung Sari Asih, Jasinga. Di kampung itu tercatat 283 keluarga atau 1.129 warga terdampak kekeringan. Lalu, 5.000 liter air didistribusikan kepada 124 keluarga atau 511 jiwa di Kampung Maribaya dan Kampung Panyendangan, Jasinga.
Kekeringan juga mulai menghantui kawasan DKI Jakarta. BPBD DKI Jakarta pun menyiapkan sejumlah langkah mitigasi.
Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan sejumlah instansi terkait. Instansi itu antara lain PAM Jaya, Dinas Sumber Daya Air, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga, serta Satpol PP DKI Jakarta. Hal ini untuk mengantisipasi dampak musim kemarau dan memastikan ketersediaan air bersih bagi warga Jakarta.
”Kami mengimbau seluruh warga Jakarta untuk mulai menghemat penggunaan air sesuai dengan kebutuhan. Cek berkala kondisi instalasi pipa di rumah apabila mengalami kebocoran,” ujar Isnawa.
Selain itu, BPBD DKI Jakarta juga memastikan sarana dan prasarana pendukung untuk pasokan air bersih yang siap digunakan saat dibutuhkan. Terdapat sejumlah fasilitas operasional yang telah disiapkan, yakni 67 mobil tangki, 46 tandon air, 9 instalasi pengolahan air (IPA) stasioner, dan 7 IPA stasioner.
Isnawa mengimbau warga Jakarta untuk menjaga kondisi kesehatan selama musim kemarau dan mengurangi intensitas aktivitas luar ruangan pada siang hari, khususnya pada pukul 11.00-15.00. Warga juga perlu mewaspadai sejumlah penyakit selama musim kemarau, seperti mual, muntah, pusing, diare, batuk, pilek, dan infeksi saluran pernapasan.
Fenomena El Nino
Dari pemberitaan Kompas.id (7/6/2023), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi, fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) akan muncul secara bersamaan dan semakin menguat pada semester II-2023. Akibatnya, Indonesia berpotensi mengalami curah hujan di bawah batas normal, juga kekeringan di beberapa wilayah. Musibah kekeringan akibat dua fenomena tersebut terakhir kali terjadi pada Juli-Oktober 2019.
Wilayah yang berpotensi kekeringan ialah Jawa, Nusa Tenggara, sebagian besar Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Musim kemarau mulai masuk 60-70 persen di wilayah Indonesia. Hal ini dapat ditandai dengan berkurangnya pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, terutama yang berbatasan dengan Australia, seperti Bali, Jawa, danNusa Tenggara.
Berdasarkan data pengamatan suhu muka laut di Samudra Pasifik, La Nina telah berakhir pada Februari 2023. Kemudian, sepanjang periode Maret-April 2023, indeks El Niño-Southern Oscillation (ENSO) berada pada fase netral, yang mengindikasikan tidak adanya gangguan Iklim dari Samudra Pasifik. Namun, memasuki Mei 2023 hingga saat ini, fenomena terkait dengan suhu muka air laut di Samudra Pasifik mengalami perubahan yang mengarah pada El Nino pada Juni 2023.
BMKG mencatat, ketika fenomena El Nino dan IOD terjadi pada 2019 silam, sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Papua mengalami curah hujan di bawah normal.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memprediksi, dampak yang sama bakal terjadi mulai paruh kedua tahun ini. ”BMKG mendeteksi adanya IOD yang semakin menguat ke arah positif saat ini. Pada tahun 2019, kekeringan terjadi akibat El Nino lemah yang diikuti dengan IOD positif,” kata Dwikorita dalam keterangan resminya secara daring, Selasa (6/6/2023).
El Nino dan IOD merupakan fenomena global yang memberikan pengaruh terhadap curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia. El Nino dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik, sedangkan IOD positif dikontrol oleh suhu muka air laut di wilayah Samudra Hindia. Keduanya saat ini mengarah pada kondisi yang mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi lebih kering.
Adapun suhu atau temperatur anomali di Samudra Pasifik saat ini semakin meningkat dan sudah mencapai angka 0,8 atau dekat dengan angka 1. Jika suhu sudah menyentuh angka 1, kondisi itu sudah bisa dikatakan sebagai El Nino moderat. IOD saat ini sedang menuju fase positif. Fase itu terjadi mulai Juli hingga Oktober 2023.
”Namun, ada tren untuk segera memasuki moderat. Intensitasnya semakin menguat dan peluangnya lebih dari 80 persen pada Juni 2023. Lebih tinggi dibandingkan Maret 2023 yang peluangnya masih 60 persen,” kata Dwikorita.