Peluang El Nino Menguat, Waspada Kekeringan di Indonesia
Kemunculan El Nino setelah tiga tahun fase La Nina bakal menyebabkan lonjakan suhu global dan bisa meningkatkan risiko kekeringan serta kebakaran lahan di Indonesia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena El Nino dengan peluang 60 persen diprediksi terjadi pada Mei-Juli 2023 dan 80 persen pada September 2023. Kemunculan El Nino setelah tiga tahun fase La Nina bakal menyebabkan lonjakan suhu global dan bisa meningkatkan risiko kekeringan serta kebakaran lahan di Indonesia.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari, Kamis (4/5/2023), mengatakan, sinyal bakal terjadinya El Nino cenderung menguat. ”Kita sedang menyiapkan pernyataan resmi mengenai hal ini,” katanya.
Menurut dia, El Nino diperkirakan terjadi mulai pertengahan tahun ini. ”Untuk intensitasnya ada beberapa kemungkinan, tetapi jika merujuk sejarah, biasanya kalau El Nino mulainya di pertengahan tahun cenderung lemah-moderat,” kata dia.
Dunia saat ini harus bersiap menghadapi perkembangan El Nino, yang sering dikaitkan dengan peningkatan panas, kekeringan, atau curah hujan di berbagai belahan dunia yang lain.
Meningkatnya peluang El Nino juga disampaikan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporan Keadaan Iklim Global terbaru yang dikeluarkan pada Rabu (3/5). Menurut WMO, fenomena La Nina yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir dipastikan telah berakhir dan Samudra Pasifik tropis saat ini berada dalam keadaan ENSO-netral.
"Ada peluang 60 persen untuk transisi dari ENSO-netral ke El Nino selama Mei-Juli 2023, dan ini akan meningkat menjadi sekitar 70 persen pada Juni-Agustus dan 80 persen antara Juli dan September," sebut WMO.
Menguatnya peluang El Nino ini terpantau dari peningkatan suhu permukaan laut yang signifikan di Pasifik khatulistiwa, dengan pemanasan yang lebih kuat di sepanjang pantai Amerika Selatan. El Nino adalah pola iklim alami yang terkait dengan pemanasan suhu permukaan laut di tengah dan timur Samudra Pasifik di sekitar zona Khatulistiwa. Fenomena ini terjadi rata-rata setiap 2-7 tahun, dan episode biasanya berlangsung 9 hingga 12 bulan.
Intensitas El Nino
Sekalipun El Nino diperkirakan bakal terjadi tahun ini, WMO belum bisa memprediksi indikasi kekuatan atau durasinya. Akan tetapi, dipastikan tahun ini bakal lebih panas.
“Kita baru saja mengalami delapan tahun terpanas, meskipun mengalami La Nina selama tiga tahun terakhir dan bertindak sebagai rem sementara pada kenaikan suhu global. Perkembangan El Nino kemungkinan besar akan menyebabkan lonjakan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan peluang untuk memecahkan rekor suhu,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
El Nino merupakan pola iklim yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan panas di seluruh dunia, serta kekeringan di beberapa bagian dunia dan hujan lebat di tempat lain. Fenomena ini terakhir kali terjadi pada 2018-2019. Sebelumnya, El Nino yang kuat juga pernah terjadi pada 2015.
Menurut laporan WMO, tahun 2016 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah karena dampak dari peristiwa El Nino yang sangat kuat pada 2015 dan pemanasan akibat gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia. Efek pada suhu global biasanya muncul setahun setelah perkembangan El Nino, sehingga kemungkinan besar akan terlihat paling jelas pada tahun 2024.
Taalas mengatakan, dunia saat ini harus bersiap menghadapi perkembangan El Nino, yang sering dikaitkan dengan peningkatan panas, kekeringan, atau curah hujan di berbagai belahan dunia yang lain. "Ini mungkin melonggarkan kekeringan di Tanduk Afrika dan dampak terkait La Nina lainnya, tetapi juga dapat memicu peristiwa cuaca dan iklim yang lebih ekstrem,” kata Taalas.
Kepala Divisi Layanan Prediksi Iklim Regional WMO, Wilfran Moufouma Okia mengatakan, El Nino akan mengubah pola cuaca dan iklim di seluruh dunia. Tanpa adanya La Nina yang terjadi sejak 2020, situasi pemanasan global bisa menjadi lebih buruk. La Nina telah bertindak sebagai rem sementara pada kenaikan suhu global. Namun kini pendinginan alami itu telah berakhir.
Menurut laporan WMO, berdasarkan kejadian tahun-tahun sebelumnya, El Nino biasanya dikaitkan dengan peningkatan curah hujan di beberapa bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan, Tanduk Afrika, dan Asia Tengah. Sebaliknya, El Nino juga dapat menyebabkan kekeringan parah di Australia, Indonesia, dan sebagian Asia Selatan.
Selama musim panas Boreal, air hangat El Nino dapat memicu badai di tengah dan timur Samudra Pasifik, sementara itu menghambat pembentukan badai di Cekungan Atlantik.