Pemkot Bogor Siapkan Lahan Relokasi bagi Korban Bencana
Berdasarkan pemetaan wilayah per kecamatan, total lahan yang dimungkinkan menjadi lokasi relokasi mencapai 57,4 hektar.
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, mulai memetakan lokasi relokasi bagi warga yang terdampak bencana dan warga di wilayah zona hitam atau bahaya bencana. Pada tahap awal, Pemkot Bogor berencana membangun 50 rumah bagi warga terdampak.
Setelah terpetakan kawasan zona hitam (potensi tinggi bencana) dan zona merah (rawan bencana), Pemkot Bogor menyiapkan lahan relokasi dan saat ini dalam pembahasan lanjutan bersama Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Baca juga: Peran Pemerintah dalam Mitigasi Bencana Perkotaan (6)
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, BPKAD telah menyelesaikan administrasi pemanfaatan lahan relokasi. Pada tahap pertama 2023, Pemkot Bogor akan menyiapkan 50 tempat tinggal untuk warga yang terdampak bencana.
”Kami sedang mencarikan (tambahan) sumber anggaran. Memang ada anggaran dari BNPB Rp 50 juta per unit. Setelah dihitung, nilainya tidak terlalu signifikan. Itu nilainya harus dikombinasikan dengan anggaran daerah,” kata Dedie, Senin (15/5/2023).
Berdasarkan pemetaan wilayah per kecamatan, total lahan yang dimungkinkan menjadi lokasi relokasi mencapai 57,4 hektar. Lahan itu tersebar di tiga titik Kecamatan Tanah Sareal seluas sekitar 1 hektar, satu titik di Kecamatan Bogor Barat seluas sekitar 8.000 meter persegi, satu titik di Bogor Tengah sekitar 4.000 meter persegi, dua titik di Bogor Timur seluas 5.200 meter, dua titik di Bogor Selatan seluas 3,8 hektar, dan empat titik di Bogor Utara seluas 3,1 hektar.
Lahan relokasi itu, kata Dedie, saat ini menjadi kebutuhan dan sebagai langkah penanganan bencana. Sejak 2020, intensitas bencana Kota Bogor meningkat dan menimbulkan korban jiwa. Kesiapan lahan relokasi ini juga untuk menghadapi ancaman bencana di masa depan berdasarkan peta bencana yang telah dibuat.
Dari peta bencana Kota Bogor, tercatat ada 1.001 keluarga di zona hitam dan 2.610 di zona merah. Peta bencana itu meliputi Kecamatan Bogor Selatan, yakni berada di Kelurahan Empang, Bondongan, Muarasari, Lawanggintung, Batutulis, Cipaku, Pamoyanan, Pakuan, Rangga Mekar, dan Genteng. Total dari 10 kelurahan itu ada 106 keluarga tinggal di zona hitam. Kelurahan Pamoyanan menjadi wilayah dengan jumlah terbanyak dengan 43 keluarga.
Dari data BPBD Kota Bogor, pada 2022 ada 856 bencana yang mengakibatkan 2.746 orang terdampak, 15 orang meninggal, dan 30 lainnya terluka. Dari 856 bencana itu, tercatat ada 373 longsor, 373 tanah ambles, 170 pohon tumbang, 164 bangunan ambruk, 53 angin kencang, 31 kebakaran, 32 banjir, dan 33 kejadian lain. Bencana pada 2022 meningkat dibandingkan pada 2021, yaitu ada 701 kejadian dengan empat korban jiwa.
Selain kesiapan lahan, lanjut Dedie, langkah penanganan lainnya ialah edukasi ke warga. Peta bencana harus menjadi informasi penting, khususnya bagi aparatur wilayah dari tingkat RT/RW hingga kecamatan. Proses mitigasi dan pencegahan bencana harus kuat di tingkat bawah.
Peta bencana harus pula menjadi aturan dalam pendirian bangunan. Dari beberapa kasus, bangunan rumah warga berdiri tanpa izin di lahan rawan bencana, di sekitar turap, hingga di bibir sungai yang berisiko terjadi banjir lintasan.
Dedie mengimbau lurah, camat, dan unsur ormas kebencanaan harus bisa mengedukasi warga. Lokasi titik potensi rawan bencana harus bisa disampaikan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda.
”Hal ini ke depan tentu akan kita hadapi. Kalau kita tidak lebih serius, gencar, dan memaksimalkan upaya dalam rangka edukasi kepada masyarakat. Kebencanaan ini akan selalu timbul. Jangan sampai terjadi lagi korban jiwa yang banyak,” ujar Dedie.
Perubahan tata ruang
Sebelumnya, Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya mengatakan, tingginya intensitas bencana, termasuk di Jabodetabekpunjur, dipicu beragam faktor, mulai dari perubahan iklim, curah hujan tinggi, dan ketidakseimbangan tata ruang.
Beragam persoalan tersebut, terutama di kawasan yang dihuni banyak penduduk, kian menambah kerentanan kawasan Jabodetabekpunjur.
”Perubahan iklim hingga ketidakseimbangan tata ruang dan kota yang dihuni banyak penduduk menjadi rentan. Tidak terorganisasinya tata ruang menyebabkan arah pembangunan yang tidak ramah lingkungan, juga terjadi pembiaran. Seperti sampah tidak terkelola dengan baik, ketika ruang terbuka hijau tidak diperhatikan pemerintah, itu bisa terjadi bencana,” ujar Bima, Rabu (10/5).
Bima mengatakan, tingginya bencana dan risiko bencana ke depan harus menjadi perhatian bersama kepala daerah hingga otoritas tertinggi pemerintah untuk menanggulangi, menangani, memitigasi, hingga menyiapkan payung hukum yang kuat, untuk memperkecil risiko jatuhnya korban. Namun, saat ini setiap daerah masih bergerak sendiri dan parsial dalam penanganan bencana.
”Polanya selalu sama saat musim hujan, ada peningkatan koordinasi dan mitigasi bencana. Tetapi, kemudian setelah itu lupa lagi dan ketika musim bencana kita bertempur lagi,” ujar Bima.
Ahli Perencanan Wilayah dan Kota, Andy Simarmata menjelaskan, peta risiko bencana tinggi dan sedang bencana perlu disertai sistem mitigasi. Peta bencana itu bisa menjadi dasar mitigasi untuk perizinan mendirikan bangunan (IMB) atau terkait tata ruang.
Hal ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan ruang tempat tinggal menjadi tinggi. IMB hanyalah salah satu upaya mitigasi yang dalam praktiknya kerap diabaikan.
Pada suatu daerah yang masuk kategori risiko tinggi bencana, warga bisa saja mendirikan bangunan jika sudah ada penguatan infrastruktur tanah. Hal ini untuk mengurangi risiko dari dampak bencana.
Dalam peta bencana di daerah tinggi risiko bencana, izin pendirian bangunan harus diatur ketat. Dari situ seharusnya sudah ada infrastruktur mitigasi bencana.
Baca juga: Murka Alam di Megapolitan Jabodetabekpunjur (13)
Oleh karena itu, menurut Andy, perlu ada audit tata ruang untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran tata ruang atau kesalahan konstruksi karena melanggar aturan bangunan. Hal itu sudah diatur di Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Nomor 17/2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang. Audit dapat dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang.
”Peta risiko bencana ini sangat penting bagi warga agar saat meminta izin bangun rumah, mereka tahu bahwa kawasan itu rawan atau tidak. Masalahnya ada yang bangun, tapi tidak izin IMB. Bukan berarti melalui pemetaan zonasi tinggi dan sedang tidak bisa dibangun. Bisa saja, tapi ada biaya tambahan. Itu siapa yang mau tanggung? Pemerintah, pengembang, atau warga,” ujarnya.