Kota-kota di Indonesia Disergap Bencana (1)
Banjir, gempa, hingga krisis air bersih, kecelakaan maut, dan kebakaran mengakrabi kota-kota di Indonesia. Namun, mitigasi bencana di area urban yang tumbuh pesat sebagai pusat perekonomian itu masih sangat minim.
JAKARTA, KOMPAS — Tanpa benar-benar disadari sebagai bencana, warga kota menjalani rutinitas di tengah sergapan polusi udara, air, tanah, berulang kali kebanjiran, juga getaran gempa yang semakin sering menyambangi. Di luar itu, kebakaran dan kecelakaan yang memakan korban nyaris terjadi setiap hari. Tak ketinggalan, krisis air bersih selalu mengintai.
Rabu (10/5/2023), getaran gempa yang merambat dari Banten kembali terasa di Jakarta. Meskipun banyak tak warga ambil pusing, kejadian itu membangkitkan memori tentang gempa Cianjur di Jawa Barat yang terjadi sekitar tujuh bulan lalu. Gempa yang juga terasa sampai ke ibu kota itu memorak-porandakan Cianjur yang sebagian kawasannya telah menjelma menjadi area urban. Sedikitnya 600 orang tewas dan sampai sekarang masih banyak korban mengungsi.
Pesatnya pertumbuhan perkotaan diiringi pembangunan menerus membuat kawasan urban di Indonesia telah menjadi pusat-pusat ekonomi yang menjanjikan. Kota-kota dari ujung Sumatera sampai Papua menjadi magnet penarik orang dari segala penjuru untuk datang mencari peruntungan. Kepadatan penduduk tinggi diiringi eksploitasi lingkungan berlebihan dan menjadikan kota yang semakin rentan diterpa berbagai musibah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 30.771 kejadian bencana terjadi sepanjang 2012-2022. Jumlah korbannya mencapai 44,95 juta jiwa dan merusak 1,03 juta fasilitas umum. Sebagian besar bencana terjadi area urban. Para korban terdiri dari korban meninggal, hilang, terluka, menderita, dan mengungsi. Kerusakan fasilitas umum meliputi rumah, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rumah ibadah, jembatan, pabrik, kios, dan lainnya.
Sebelumnya BNPB dalam salah satu ulasan di situs resminya mengingatkan tentang kerentanan kawasan perkotaan di Indonesia. Bencana secara umum disebabkan oleh kejadian alam dan ulah manusia.
BNPB mengutip United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), baik bencana alam maupun karena perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, hidrometeorologi, biologi, teknologi, penurunan kualitas lingkungan, kerentanan yang tinggi dan kapasitas rendah dari berbagai komponen masyarakat, serta infrastruktur dan elemen-elemen di dalam kota atau kawasan yang berisiko bencana.
Secara geografis, Indonesia negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa–Nusa Tenggara, hingga Sulawesi.
Badan Pusat Statistik mencatat 56,7 persen dari total sekitar 271 juta jiwa penduduk Indonesia kini tinggal di perkotaan. Kota-kota saat ini membesar dan meluas di sekitar garis pertemuan antarlempeng tektonik dan di kaki gunung api aktif. Kondisi tersebut terbukti membuahkan kota yang selalu dirundung bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Pada 2004, gempa dan tsunami menelan sebagian Kota Banda Aceh di Aceh dan menewaskan sekitar 230.000 orang. Pada 2018, Kota Palu di Sulawesi Tengah dilanda gempa dan likuefaksi yang menewaskan 2.113 orang dan masih ada 1.309 orang dinyatakan hilang.
Selain Cianjur, kasus terakhir menimpa Kota Jayapura di Papua. Rentetan gempa setidaknya mulai terjadi sejak 2 Januari 2023 hingga 20 April 2023. Dari 1.551 gempa, 232 di antaranya dirasakan masyarakat. Mayoritas gempa dangkal dan terjadi di darat, yaitu di Jayapura Utara dan Jayapura Selatan. Ribuan orang mengungsi karena bencana tersebut.
Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Di luar itu, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan, yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia.
Pada sisi lain, laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi yang kian memacu mobilitas manusia dan eksploitasi alam. Hal ini kerap diiringi kegagalan yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri, dan terjadinya wabah penyakit.
Kota-kota yang terus menarik orang untuk datang juga makin gagap mengimbanginya dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial, dan infrastruktur yang merata dan memadai. Akibatnya terjadi kesenjangan dan kecemburuan sosial. Kondisi ini berpotensi menyebabkan konflik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.
Banjir mendominasi
Andung Bayu Sekaranom, ahli ilmu lingkungan, geografi, dan perubahan iklim dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi dengan Kompas, akhir Maret lalu, menyatakan, kejadian bencana di Indonesia didominasi bencana hidrometeorologis. Mengutip BNPB, Andung menyatakan 95 persen kejadian bencana adalah bencana hidrometeorologis.
”Pada 2015, ada 1.681 kejadian bencana hidrometeorologis,” katanya. Angka itu lebih dari lima kali lipat dibandingkan jumlah kejadian di 2002.
Sebagian besar bencana di Pulau Jawa, misalnya, adalah banjir. Gejala ini juga kian menular ke kota-kota lain di luar Jawa. Banjir dan longsor dapat terjadi beberapa kali dalam satu tahun seperti yang menimpa Kota dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat, Kota Makassar di Sulawesi Selatan, Kota Palembang di Sumatera Selatan, dan kota-kota lainnya termasuk Jakarta.
Selain banjir yang terus merata dan sering terjadi setiap musim hujan, maka kekeringan dan titik api meningkat di musim kemarau. Tahun 2015 adalah puncak bencana kebakaran lahan di Indonesia. Kerusakan lingkungan, termasuk pembukaan tutupan hutan besar-besaran dan praktik agrikultur tak bertanggung jawab, diyakini sebagai pemicu bencana masif itu.
”Permasalahan hidrometeorologi dan hidrologi perkotaan meliputi perubahan intensitas hujan dan distribusinya, urbanisasi dan urban creep (tutupan hijau kota terutama di sekitar sungai yang berubah menjadi bangunan, beton, atau jalan), deteriorientasi lingkungan, perubahan infiltrasi dan air tanah, serta perubahan pada saluran air atau jalur aliran air,” kata Andung.
Khususnya terkait bencana banjir perkotaan, penyebabnya adalah perkembangan kota yang tidak direncanakan, ekspansi wilayah urban, meningkatnya lahan terbangun dan jalan, perubahan daerah dataran rendah/cekungan menjadi permukiman, saluran pembuangan air hujan yang tidak cukup besar, kurangnya perawatan dan koordinasi antar-stakeholder, dan perubahan cuaca dan iklim yang mengakibatkan tingginya frekuensi kondisi ekstrem.
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Hendricus Andy Simarmata dalam diskusi yang sama menjelaskan, kota-kota kecil bisa belajar dari kesalahan kota-kota besar. Setidaknya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, pertama pencadangan lahan, lalu berbagi infrastruktur, dan manajemen kota. Ketiga hal itu diperlukan tidak hanya untuk menata kota menjadi lebih baik tetapi juga menghindari bencana.
Pencadangan lahan, kata Andy, merupakan upaya pertama yang paling penting dilakukan oleh pemerintah kota atau kabupaten. Pencadangan lahan dilakukan untuk kepentingan masyarakat banyak. Sementara sharing infrastruktur bisa disesuaikan dengan kemampuan warganya dan bahkan mampu mendorong warga untuk bisa memiliki penghasilan lebih. Pengaturan infrastruktur juga berpengaruh pada bencana, contohnya tempat pembuangan limbah yang sudah harus dipikirkan dan diatur sebelum bangunan dibuat.
Terakhir adalah soal manajemen kota. ”Banyak daerah tidak punya manajer kota. Pelayanan administratif kan sekarang sudah modern atau digital, tetapi (pemimpin kota yang ada) enggak punya kemampuan urban planning (perencanaan dan penataan kota),” kata Andy.
Baca juga: Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan
Kota-kota pun lebih banyak berkembang tanpa atau di luar acuan tata ruang yang tepat. Di sisi lain, yang telah memiliki kebijakan tata ruang yang baik pun, kata Andy, harus selalu dapat diperbaharui atau disesuaikan apalagi ketika terjadi disrupsi atau gangguan contohnya seperti wabah global Covid-19.
Untuk itu, kota harus memiliki indikator performa. Performa kota ini di antaranya kemampuan memenuhi kebutuhan konsumsi energi, air bersih, penanganan limbah, dan memastikan kualitas lingkungan tidak menurun. Performa kota sangat menentukan daya dukung dan daya tampung kota agar tahan bencana.
Mitigasi minim
Sejauh mana kota-kota siap menghadapi berbagai sergapan bencana itu? Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang juga Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Rabu (10/5/2023), mengatakan, penanganan bencana ini masih ad hoc. ”Database tidak terintegrasi, penanganan parsial,” katanya.
Bima menambahkan, meskipun setiap daerah kini sudah mulai tertib membuat peta bencana, belum semua kota memilikinya. Kota Bogor pun baru-baru saja ini memiliki peta bencana, pemetaan daerah zona hitam, merah, dan kuning. Pemerintah kota juga belum intens membahas mitigasi gempa dalam forum Apeksi.
”Saya harus jujur di Apeksi masih mengutamakan advokasi kebijakan, tata kelola pemerintah, keuangan, otonomi,” katanya.
Agar tidak terus disergap bencana dan terus tak siap, Bima menegaskan, setiap daerah penting untuk memiliki peta bencana sebagai mitigasi awal. Perencanaan ini harus matang mana daerah hitam dan merah. Mana yang bisa direlokasi dan dari mana penganggarannya.
Tantangannya, kewenangan pemerintah daerah amat terbatas. Koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah sekitar masih separuh hati. Boleh jadi hal ini karena belum ada payung hukum jelas untuk mitigasi bencana kompleks di perkotaan. Yang ada saat ini lebih kepada undang-undang darurat bencana, yaitu di antaranya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu.
Saya harus jujur di Apeksi masih mengutamakan advokasi kebijakan, tata kelola pemerintah, keuangan, otonomi. (Bima Arya Sugiarto)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5/2023), menyatakan, bencana yang makin sering terjadi, termasuk yang melanda perkotaan, menjadi atensi lembaga negara ini.
Menurut Hadi, mitigasi bencana memang harus diawali dari tata ruang kawasan yang baik. ”Dalam penyusunan rencana tata ruang, aspek kebencanaan menjadi salah satu aspek dominan, baik yang berskala umum (RTRW) maupun berskala rinci (RDTR). Aspek kebencanaan tersebut bersumber dari data kebencanaan yang wali datanya berasal dari berbagai instansi terkait,” katanya.
Rencana tata ruang yang baik dilakukan dengan mengagregasi dan menyikronisasikan berbagai kepentingan pembangunan, baik aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Pihaknya, kata Hadi, kini berkomitmen untuk memitigasi agar wilayah kota tidak semakin penuh sesak dan rentan bencana. Salah satu strateginya, yaitu rencana tata ruang diarahkan ke wilayah suburban dan rural atau perdesaan sehingga terjadi penyebaran kegiatan aktivitas ekonomi yang tidak berpusat di kota saja.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang dengan tindakan preventif dan represif. Dalam konteks ini, termasuk pemberlakuan insentif dan desinsentif pemanfaatan ruang.
Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Uke Mohammad Hussein, Sabtu (13/5/2023), turut menekankan pentingnya tata ruang dalam penanggulangan bencana perkotaan.
”Bencana perkotaan didominasi bencana banjir yang juga merupakan dampak perubahan iklim, penataan ruang kota yang kurang terkendali dan kesadaran masyarakat yang masih minim terkait sampah perkotaan. Hal ini menjadi perhatian utama sebagai permasalahan pembangunan yang harus diatasi bersama. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” kata Uke dalam wawancara via Zoom.
Dalam perpres itu ada tiga prioritas nasional yang terkait penanggulangan bencana. Ketiganya yaitu mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar, dan membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana serta perubahan iklim.
”Dokumen RPJMN kemudian diturunkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun,” kata Uke.
Dalam Perpres Nomor 108 Tahun 2022 tentang RKP Tahun 2023, salah satu fokus kegiatan prioritas pengembangan kawasan perkotaan adalah melakukan penguatan manajemen bencana (alam dan non-alam), khususnya di kawasan berisiko lebih tinggi, jumlah penduduk besar, kepadatan tinggi, dan investasi besar.
Baca juga: Bencana Hidrometeorologi
Selain dalam dokumen perencanaan RKP, upaya penanggulangan bencana di perkotaan telah menjadi salah satu misi dalam pembangunan perkotaan melalui program Kota Hijau.
Dari berbagai penjelasan tersebut, kebijakan pembangunan kota berbasis mitigasi bencana terlihat masih baru dalam tahap awal perencanaan maupun pelaksanaannya. Ibaratnya, aksi mitigasi bagai deret hitung sementara kejadian bencana meningkat bak deret ukur. Diharapkan semua pihak makin terbuka wawasannya terkait ancaman bencana perkotaan dan dengan segala keterbatasan dapat mengakselerasi mitigasi di tingkat individu, kawasan, pemerintah kota, juga nasional.