Puluhan Tahun Krisis Air Bersih di Balik Megahnya Jakarta (15)
Kampung Gedung Pompa terletak kurang dari 3 kilometer dari perumahan elite di daerah Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun, hak hidup mereka atas air bersih berbeda 180 derajat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Puluhan drum berwarna biru dan selang air melintang di setiap gang di Kampung Gedung Pompa, tepatnya di RT 020 RW 017 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Lumut dan bercak kotoran menjadi penanda bahwa puluhan tahun ratusan warga belum pernah merasakan air bersih dari pipa Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Padahal, tak jauh dari mereka banyak perumahan dan gedung-gedung bertingkat yang bisa menikmati air dengan lancar.
Setiap pagi, Nurrachman (59) bergegas menuju jalan raya untuk membeli air bersih dari truk tangki yang datang. Satu pikulnya dihargai Rp 4.000, sedangkan untuk menghidupi istri dan dua anaknya dibutuhkan sedikitnya lima pikul setiap hari. Artinya, dalam sebulan Ketua RT 20 ini harus menganggarkan Rp 600.000 hanya untuk air bersih.
Sebanyak 800 keluarga yang 292 keluarga di antaranya pengontrak bergantung pada air dari swasta untuk kebutuhan mandi, cuci, dan memasak. Untuk konsumsi minum, warga masih harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli air galon.
”Saya selalu tanya, kapan mau dipasang. Tolong segera dipasang PAM di sini, kami sudah sering mengadu. Namun, orang PAM hanya survei-survei saja. Sampai sekarang belum ada realisasi. Kalau ada PAM, kan, paling satu bulan hanya Rp 150.000,” kata Nurrachman saat ditemui di rumahnya di Kampung Gedung Pompa, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (12/5/2023).
Jika mereka menggunakan air tanah dengan mengebor sendiri, air yang keluar sering kali berwarna kuning, bau, dan asin. Sebab, kampung ini hanya berjarak 100 meter dari tanggul laut Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Dia mengungkapkan, pipa air bersih sempat masuk ke lingkungan ini yang dikelola oleh PT Palyja. Namun, sejak dialihkan ke PAM Jaya, pipa tersebut sudah tidak berguna dan warga kembali ke selang air.
Warga lainnya, Sadiwan (53), menyiasati mahalnya air bersih ini dengan mandi hanya sekali sehari. Dengan begitu, dia hanya mengeluarkan Rp 400.000 sebulan untuk kebutuhan air bersih dia dan empat anggota keluarganya.
”Kalau memang PAM mau masuk sini, saya sangat ingin. Kami mau yang resmi seperti listrik ini, kan, bisa masuk sini. Beberapa bulan lalu rumah saya sudah disurvei PAM sampai ke kamar mandi, tetapi belum ada kelanjutannya,” tutur Sadiwan.
Padahal, di kawasan Pluit, Penjaringan, tak jauh dari kampung mereka berdiri sejumlah perumahan elite, mal, hingga hotel yang airnya tidak pernah berhenti mengalir.
Seharusnya PAM segera masuk hingga ke rumah-rumah menyediakan meteran agar terukur dan dikelola negara karena kalau swasta atau dikelola warga akan sangat rawan terjadi selisih paham.
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya dengan lingkungan yang baik dan sehat. Hak warga ini ditekankan lagi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengamanatkan negara wajib memenuhi hak warga negara atas air bersih. Sebab, air adalah komponen terpenting dari hak warga untuk hidup yang mutlak dan tidak bisa dikurangi.
Kekurangan ketersediaan air bersih di perkotaan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masuk kategori bencana. Krisis air ini termasuk bencana yang dipicu oleh alam tetapi diperparah oleh ulah manusia. Perilaku manusia dengan mengeksploitasi alam berlebih sehingga hulu dan daerah alirasn sungai secara menyeluruh rusak, tutupan hijau berkurang drastis, mendorong air bersih terus berkurang.
Kerusakan lingkungan secara global turut memacu perubahan iklim sehingga cuaca ekstrem makin kerap terjadi. Tidak heran saat musim hujan ramai-ramai kebanjiran, saat kemarau air kian seret bahkan menghilang. Untuk itu, infrastruktur publik, termasuk air bersih perpipaan di perkotaan, menjadi hal wajib yang seharusnya dikelola dan disediakan pemerintah agar hak warga tetap terpenuhi.
”Seharusnya PAM segera masuk hingga ke rumah-rumah menyediakan meteran agar terukur dan dikelola negara karena kalau swasta atau dikelola warga akan sangat rawan terjadi selisih paham,” kata Enny Rohayati dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).
Kondisi serupa sempat dirasakan oleh warga di Kampung Nelayan, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Setelah puluhan tahun menadah air hujan dan membeli air bersih, mereka akhirnya baru dialiri pipa air bersih dari PAM Jaya pada 2022. Kini, 800 keluarga di RW 004 Kampung Nelayan Kamal Muara sudah mendapatkan air dari keran yang mengalir 24 jam.
”Sekarang sudah ada meteran air masing-masing setelah 20 tahun lebih. Dengan meteran otomatis, pembayarannya juga berapa kali lipat lebih murah. Namun, saya terus mengimbau warga hemat air karena sebentar lagi kemarau. Kalau tidak hemat, tagihan air juga akan lebih mahal,” kata Ketua RW 004 Amirudin latif (54) di Kampung Nelayan, Kamal Muara.
Sejauh ini, cakupan layanan PAM Jaya mencapai 65 persen atau 908.324 pelanggan dengan kapasitas produksi 20.725 liter per detik. Angka ini didapat dari kerja sama PAM Jaya bersama dua mitra perusahaan swasta, yakni PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
Namun, sejak Januari 2023, PAM Jaya telah menjalankan operasional penuh terhadap pengelolaan air bersih perpipaan di DKI Jakarta. Oleh karena itu, 35 persen sisanya kini menjadi tanggung jawab penuh BUMD DKI tersebut. PAM Jaya menargetkan 100 persen cakupan pada 2030.
Untuk mencapai target itu, PAM Jaya akan memasang 1,1 juta pipa baru, dimulai dengan penambahan 4.500 kilometer pipa pada 2024. Proyek ini membutuhkan dana sekitar Rp 23,8 triliun untuk memenuhi cakupan 100 persen (Kompas, 2/2/2023).