Minim Transparansi, Swastanisasi Air di Jakarta Menuju Babak Baru
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil alih secara menyeluruh pengelolaan air dari pihak swasta.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Penjual air keliling beristirahat saat banjir rob melanda kawasan Muara Angke, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (16//11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menilai penandatanganan kontrak antara Perumda PAM Jaya dan PT Moya Indonesia hanya memperpanjang praktik swastanisasi air di Jakarta karena minim transparansi dan tidak melibatkan masyarakat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta mengambil alih secara menyeluruh pengelolaan air dari pihak swasta.
Sigit K Budiono dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air dan anggota Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menyampaikan, penandatanganan kontrak pada 14 Oktober 2022 menandai dimulainya babak baru privatisasi air. Apalagi, tidak adanya evaluasi dari berakhirnya kontrak kerja sama Pemprov DKI Jakarta denganPT Palyja dan PT Aetra juga menunjukkan nasib pengelolaan air ke depan tidak jauh berbeda.
Padahal, praktik swastanisasi air telah menimbulkan kerugian negara dan masyarakat selama sekitar 25 tahun terakhir atau sejak swasta mengambil alih pengelolaan air tahun 1998. Oleh karena itu, sebagian warga Jakarta masih belum terbebas dari swastanisasi air.
”Tidak adanya evaluasi menyeluruh dari perjanjian kerja sama antara PT Palyja dan PT Aetra berpotensi mengulangi permasalahan serupa,” katanya saat peringatan Hari Air Sedunia di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (22/3/2023).
Menurut Sigit, kerja sama PAM Jaya dengan PT Moya Indonesia juga tidak secara spesifik menjelaskan mekanisme skema bundling penyelenggaraan air di DKI Jakarta. Ketidakjelasan itu dapat memicu pelanggaran hak atas air bagi warga Jakarta dan memunculkan masalah yang terjadi di masyarakat.
”Privatisasi layanan air telah meminggirkan dan mendiskriminasi rumah tangga miskin yang sering kali berada di wilayah yang dikategorikan ilegal,” ujarnya.
Saya sampai harus begadang untuk nunggu kapan airnya ada, biasanya malam hari, pukul 00.00 atau 01.00 baru ada, kadang juga tidak ada.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pekerja mengisi jeriken air bersih di Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (22/3/2022).
Menurut Sigit, warga permukiman informal tidak bisa mengakses sambungan air dari jaringan pipa distribusi karena tidak memiliki sertifikat hak milik. Mereka terpaksa mengandalkan mekanisme alternatif yang sering kali eksploitatif dan mahal. Bahkan, pada wilayah yang dilayani oleh jaringan perpipaan, kualitas layanannya sering kali juga tidak memuaskan atau pasokan air terputus-putus dan kualitas airnya tidak dapat diminum.
Titin (52), warga Pademangan, Jakarta Utara, misalnya, juga dibelit masalah air bersih sejak dirinya menetap tahun 2002 hingga saat ini. ”Saya sampai harus begadang untuk nunggu kapan airnya ada, biasanya malam hari, pukul 00.00 atau 01.00, baru ada, kadang juga tidak ada,” katanya.
HIDAYAT SALAM
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta meminta Pemerintah Provinsi Jakarta mengambil alih pengelolaan air secara menyeluruh dari pihak swasta, saat peringatan Hari Air Sedunia, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (22/3/2023).
Dugaan persekongkolan tender
Pengacara Publik LBH Jakarta, Aprillia Lisa, mengatakan, rencana pengelolaan air Jakarta yang tidak didasari pada evaluasi menyeluruh pengelolaan air sebelumnya berpotensi mengulangi permasalahan serupa, terutama ketika dasar pengelolaannya tidak dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Sebelumnya, pihaknya pernah bersurat secara terbuka kepada Penjabat Gubernur pada Januari lalu terkait masalah yang akan timbul akibat kebijakan baru pengelolaan air di Jakarta. Namun, hingga hari ini belum ada jawaban dari Pemprov DKI Jakarta.
ADITYA DIVERANTA
Jeriken suplai air bersih yang dijual oleh warga di Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat (19/9/2019). Setiap hari, lebih dari puluhan warga membeli air di sini karena dampak krisis air bersih.
Isi tuntutan surat terbuka itu ditujukan kepada Penjabat Gubernur beserta jajaran Pemerintah Provinsi Jakarta dan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Jaya (PAM JAYA). Tuntutan tersebut meliputi pemberian jaminan ketersediaan air dan evaluasi penyelenggaraan perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT Aetra dan PT Palyja.
Pemprov Jakarta dan PAM Jaya membuka informasi dan bertemu dengan warga untuk membahas pengelolaan air. Pemprov Jakarta juga dituntut melakukan remunisipalisasi air atau mengembalikan lagi pengelolaan barang publik yang diprivatisasi.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraini, mengatakan, tidak adanya transparansi kepada publik menimbulkan dugaan persekongkolan tender terhadap PT Moya Indonesia. Padahal, PAM Jaya memiliki platform http://e-proc.pamjaya.co.id/, tetapi tidak digunakan platform tersebut. Bahkan, tidak ada informasi penawaran dari pihak luar selain PT Moya Indonesia.
Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin pada awal Februari lalu, saat acara serah terima aset PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja mengatakan, peran Moya bukan swastanisasi seperti Aetra dan Palyja yang mengelola air di Jakarta dari hulu hingga hilir.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Kolam utama pengelolaan air baku di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Buaran, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (2/2/2023).
Moya merupakan investor infrastruktur yang mengelola enam dari 13 instalasi pengolahan air minum (IPA) yang saat ini ada. Peran Moya adalah memproses air curah yang kemudian dibeli PAM Jaya.
”Pelayanan distribusi air bersih mutlak tidak boleh ada swastanisasi. Dalam hal ini, peran pelayanan dan pengontrolan kualitas air ada di PAM Jaya. Moya tidak berperan sampai titik akhir, perannya hanya di tengah. Mereka membangun pipa dan jaringan pipa,” kata Arief (Kompas, 2/2/2023).
Berdasarkan Laporan Tahunan PAM Jaya 2021, cakupan pelayanan air bersih oleh PAM Jaya di Jakarta masih di angka 65 persen. Pada 2023, cakupan ini ditargetkan mencapai 82 persen dan ditargetkan menjadi 100 persen pada 2030.