Kantor MUI Tetap Buka sebagai Simbol Lawan Aksi Teror dan Penghinaan Nabi
MUI tidak mau menutup kantor sebagai bentuk perlawanan pada aksi teror. Tujuh orang menjadi saksi penembakan di kantor MUI. Para korban pun sudah pulih.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pegawai dan pengurus Majelis Ulama Indonesia atau MUI tetap beraktivitas di kantor pusat MUI di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (3/5/2023) atau satu hari setelah kejadian penembakan oleh seorang pria asal Lampung bernama Mustopa (60). MUI tidak mau menutup kantor sebagai bentuk perlawanan pada aksi teror.
Situasi di kantor pusat MUI sudah kondusif. Pegawai tetap diminta bekerja normal mulai dari pukul 08.00 sampai 16.00. Tempat parkir pun dipenuhi mobil dan motor. Petugas keamanan bekerja lebih ketat dengan menanyakan identitas diri kepada setiap orang yang masuk. Namun, mereka tidak menerima tamu hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Sementara itu, lokasi penembakan masih ditutup dengan garis polisi. Serpihan kaca dari pintu bagian belakang lobi yang pecah kemarin juga masih berserakan di lantai dalam garis polisi tersebut. Lift di dekat lokasi kejadian pun sudah bisa digunakan kembali karena polisi sudah selesai menyisir tempat kejadian perkara.
”Ini menjadi pembelajaran untuk meningkatkan kewaspadaan kami. Masalah ini kami serahkan sepenuhnya ke aparat kepolisian. Ini juga tanggung jawab negara kepada kita, selama kami masih di jalan yang benar ya jangan gentar. Tanpa kami tahu motifnya, kami serahkan ke kepolisian,” kata Ketua MUI Bidang Ukhuwah dan Dakwah Muhammad Cholil Nafis di kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (3/5/2023).
Sebanyak tujuh anggota staf MUI juga sudah menjadi saksi di Polda Metro Jaya untuk membantu polisi mengungkap kasus itu meskipun pelaku sudah meninggal. Pelaku diketahui bekerja sebagai petani yang berdomisili di Lampung lalu mengaku sebagai wakil nabi.
Chaerudin (42), petugas satpam kantor MUI, bersaksi, dirinya adalah orang pertama yang menerima pelaku. Dia menyebutkan, pelaku yang datang sekitar pukul 11.00 tiba-tiba masuk ke dalam lobi dengan nada marah meminta dipertemukan dengan Ketua MUI. Karena dia datang tanpa janji temu dan pengurus sedang rapat, Chaerudin menolak permintaan Mustopa.
Sebelum kemarin, Chaerudin juga pernah melihat pelaku datang ke kantor MUI sebanyak dua kali, tetapi ia lupa tanggal pastinya. Secara penampilan, lanjut Chaerudin, pelaku berpenampilan seperti pria dewasa pada umumnya, bercelana panjang dan sepatu, serta berkemeja motif kotak-kotak yang dilapisi jaket hitam.
”Sebelumnya saya ketemu pagi hari sekitar pukul tujuh, lupa hari apa. Saya lalu menemui Mas Bambal, tetapi nada-nada bicara beliau itu mencurigakan dengan membawa surat yang berkata-kata seperti mengancam gitu. Itu saja yang saya tahu,” kata Chaerudin.
Dua korban luka, yakni Bambal yang terkena tembakan di punggung dan Tri yang terkena serpihan pintu kaca, juga telah keluar dari rumah sakit sehingga bisa bersaksi kepada polisi hari ini di Polda Metro Jaya. Adapun pelaku dinyatakan meninggal seusai menjalani perawatan di Puskesmas Menteng. Jenazahnya kini berada di RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur.
Terkait pengakuan Mustopa yang merasa sebagai wakil nabi, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam menegaskan, menurut ajaran agama Islam, tidak ada nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW. Meski begitu, MUI tidak mau berspekulasi terlalu jauh. Mereka menyerahkan semua proses penyelidikan kepada kepolisian.
”Kalau ada orang yang mengaku nabi pasca-Rasulullah SAW, itu jelas tidak dibenarkan. Karena bagian dari pokok keyakinan agama Islam itu tidak ada nabi yang diutus setelah Nabi Muhammad SAW,” ucap Asrorun.
Selain saksi, pengurus MUI juga sudah memberikan seluruh rekaman kamera pengawas dan sejumlah berkas kepada polisi. Dalam kasus ini, polisi juga mengamankan sebuah senjata airsoft gun, sebuah magasin, satu botol berisi peluru, serta tas yang berisi ponsel dan dompet milik pelaku.
Dihubungi terpisah dari Jakarta, Rabu, kriminolog dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, menilai, kecil kemungkinan pelaku memiliki riwayat gangguan jiwa. Dalam beberapa surat pelaku, terlihat bahwa pelaku sedari awal sudah memiliki niat jahat terhadap MUI.
Terlebih lagi, pelaku adalah seorang mantan narapidana perusakan obyek vital negara, yakni Kantor DPRD Lampung, pada 2016 yang pernah mendekam di penjara selama tiga bulan. Soeprapto mendorong polisi mengungkap kasus ini hingga menemukan faktor apa atau siapa yang mendoktrin pelaku, meski pelaku sudah meninggal.
”Kebencian pelaku terhadap tokoh-tokoh agama sepertinya terakumulasi karena sudah merasa sebagai wakil nabi, kemudian dia mencari legitimasi atau pengakuan dari masyarakat dengan berbuat seperti itu. Jadi, jangan hanya melihat peristiwa ini dalam satu kejadian saja, tetapi juga dicari siapa yang ada di balik pelaku,” kata Soeprapto.
Selain itu, belajar dari kasus ini, masyarakat atau pihak mana pun yang mendapatkan ancaman dari orang asing sebaiknya melaporkannya ke polisi. Aparat kepolisian juga harus menindaklanjuti laporan tersebut, lalu melakukan antisipasi agar tidak terakumulasi dan ancamannya benar-benar terjadi.