Sebagian Wilayah Jabodetabek Masih Berpotensi Diguyur Hujan Selama Sepekan
Curah hujan masih berpotensi terjadi di sejumlah wilayah, seperti Bogor, Depok, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, hingga Jakarta Timur, selama satu pekan ke depan.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah wilayah di Jakarta Selatan, Jakarta Barat, hingga Tangerang kembali diguyur hujan lebat pada Jumat (28/4/2023) siang hingga sore hari. Curah hujan masih berpotensi terjadi di sejumlah wilayah, seperti Bogor, Depok, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, hingga Jakarta Timur selama satu pekan ke depan.
Hujan dengan intensitas lebat yang mengguyur sejumlah wilayah di Jakarta hingga Tangerang pada Jumat siang tidak merata. Di wilayah Tanjung Duren, Gorogol Petamburan, Jakarta Barat, misalnya, pada Selasa siang kondisi cuaca hanya berawan hitam.
Sementara itu, di Kota Tangerang, hujan dengan intensitas sedang mengguyur wilayah Ciledug pada Jumat siang hingga sekitar pukul 16.30. Hujan di wilayah itu disertai petir.
”Di Jalan Hos Cokroaminoto, Ciledug, sempat tergenang. Tadi kendaraan sempat berhenti karena tidak bisa lewat,” kata Della (29), warga Ciledug, Kota Tangerang, Banten, saat dihubungi pada Jumat sore.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang, cuaca ekstrem akibat hujan deras yang mengguyur Kota Tangerang pada Jumat siang pukul 13.00 menyebabkan terjadinya genangan hingga banjir di empat titik. Titik genangan itu tersebar di Jalan Hos Cokroaminoto, Kelurahan Sudimara Timur, Kecamatan Ciledug, Jalan Gebyuran (Karang Tengah), Jalan Caplin (Larangan), dan Wilayah Gempol (Pinang).
”Ketinggian genangan bervariasi, mulai dari 10 sentimeter sampai 30 sentimeter. Secara umum, dampak dari genangan itu mengakibatkan lalu lintas tersendat dan aktivitas warga terganggu, terutama di Jalan Hos Cokroaminoto,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Tangerang Gufron Falfeli, Jumat malam.
Subkoordinator Bidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ida Pramuwardhani, melalui pesan tertulis, mengatakan, pada Jumat siang hingga sore, hujan dengan intensitas lebat terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Tangerang. Dari pantauan citra radar cuaca, hujan dengan intensitas sedang masih terjadi di Tangerang hingga Jumat sekitar pukul 17.00 dan cenderung mereda selama satu jam ke depan.
”Berdasarkan hasil analisis kondisi atmosfer di wilayah Jabodetabek, potensi hujan di Jabodetabek bagian selatan masih besar pada siang hari hingga sore hari dalam sepekan ke depan. (Wilayah dimaksud antara lain) Bogor, Depok, Tangerang, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur,” kata Ida.
Kemarau mulai Mei
Ida menambahkan, sebagian wilayah di Jabodetabek saat ini sudah mulai memasuki musim kemarau. BMKG memperkirakan pada Mei nanti, potensi hujan di wilayah Jabodetabek akan semakin menurun.
”Saat ini wilayah Jabodetabek sudah memasuki periode peralihan musim. Diperkirakan awal Mei, potensi hujan akan semakin menurun dan kondisi cuaca cerah-cerah berawan akan dominan terjadi di Jabodetabek,” katanya.
Sebelumnya, fenomena udara panas yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia disebut tak termasuk gelombang panas yang melanda daratan Asia sepekan terakhir. Fenomena udara panas itu berpotensi menjadi salah satu indikasi El Nino atau fenomena pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu terjadinya kondisi kekeringan.
Menurut Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan, Indonesia tidak mengalami fenomena heatwave atau gelombang panas. Fenomena memanasnya suhu di Indonesia disebut sebagai fenomena udara panas.
”Indonesia sifatnya bukan gelombang panas, melainkan udara yang terasa panas dan tingkatnya tidak sampai seperti fenomena gelombang panas. Suhu di wilayah Indonesia bisa saja mencapai suhu maksimum, yakni 37 derajat celsius,” katanya (Kompas.id, 25/4/2023).
Indonesia tidak mengalami gelombang panas lantaran secara geografis Indonesia terletak di wilayah ekuator dan terdiri atas pulau-pulau serta perairan. Sementara gelombang panas umumnya terjadi di wilayah yang terletak pada lintang menengah ke atas baik di belahan Bumi Utara ataupun di belahan Bumi Selatan dan terjadi di wilayah geografis yang berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, wilayah kontinental, atau subkontinental.
Mengacu pada indikator statistik gelombang panas, fenomena meningkatnya suhu di Indonesia masih tergolong normal. Secara definitif, periode kenaikan suhu panas yang tidak biasa setidaknya berlangsung lima hari berturut-turut atau lebih sebagaimana batasan yang ditentukan oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO).
Lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat celsius melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pekan lalu hanya terjadi satu hari, yakni pada Senin (17/4). Kini, suhu tinggi tersebut telah turun dan suhu maksimum di sejumlah lokasi terpantau berada dalam kisaran 34 hingga 36 derajat celsius.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kisaran suhu tersebut masih tergolong normal. Di Jakarta, secara klimatologis, April, Mei, dan Juni adalah bulan-bulan suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober hingga November.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengatakan, Indonesia bebas dari fenomena gelombang panas berkat letak geografis yang terdiri atas dua pertiga laut dan satu pertiga daratan. Adapun fenomena suhu panas yang terjadi belakangan berpotensi menjadi salah satu indikasi El Nino atau fenomena pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
”Ada indikasi bahwa datangnya kemarau lebih cepat dan berakhirnya lebih lama. Kemarau itu akan dimulai dari kawasan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, sampai puncaknya Sumatera. Saat itulah kebakaran hutan mulai bermunculan akibat kelembaban tanah yang berkurang dan tanah gambut tidak lagi basah,” katanya (Kompas.id, 25/4/2023).
Tanda-tanda terjadinya siklus kemarau panjang ini serupa dengan 2015 dan 2016. Pasalnya, sejak Agustus 2020, Indonesia telah mengalami musim basah panjang akibat hujan berlebih. Oleh karena itu, potensi terjadinya kemarau panjang yang bisa mencapai lebih dari 9 bulan perlu diwaspadai, terutama di kawasan pantai utara (pantura) Jawa. Berdasarkan prakiraan, matahari akan mencapai puncaknya di belahan utara pada 22 Juni 2023.
”Kita perlu memonitor suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, Hindia, dan di kawasan lautan Indonesia. Semakin suhu di Samudra Pasifik itu naik dan melebihi batas normalnya, awan-awan di Indonesia akan bergeser ke sana. Artinya, kita perlu bersiap menghadapi kemarau panjang, baik dari sektor pertanian, perairan, maupun kesehatan masyarakat,” ujar Eddy.