Pesan Kemanusiaan dan Kebangsaan Warnai Shalat Idul Fitri Warga Muhammadiyah di Jakarta
Ribuan warga Muhammadiyah di Jakarta melaksanakan shalat Idul Fitri di halaman Jakarta Equestrian Park, Jakarta Timur, Jumat (21/4/2023). Gerimis yang sempat turun tak mengurangi kekhusyukan shalat dan khotbah.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pesan tentang kemanusiaan dan kebangsaan mewarnai pelaksanaan shalat Idul Fitri 1444 Hijriah yang digelar oleh warga Muhammadiyah di Pulomas, Jakarta Timur, Jumat (21/4/2023). Warga diimbau untuk saling menghargai perbedaan dan bersikap dewasa dalam beragama.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015, Din Syamsyuddin, menyampaikan pesan tentang kemanusiaan dan kebangsaan itu saat menjadi khatib dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri tersebut. Ia mengatakan, Idul Fitri merupakan momentum merayakan kembalinya manusia ke fitrah kemanusiaan yang sejati. Proses kembali itu berdimensi ganda, yakni terkait kesucian diri dan potensi atau kekuatan diri.
”Manusia lahir dengan potensi-potensi insani. Saat Ramadhan, kesucian dan potensi itu dilatih dan dikuatkan, yakni dengan meningkatkan kapasitas diri melalui berbagi terhadap sesama, mengembangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturahmi,” ujar Din, di halaman Jakarta Equestrian Park, Pulomas.
Setelah potensi-potensi itu termaksimalkan, lanjut Din, semangat kebangsaan juga dapat terjaga. Pribadi yang terlatih selama Ramadhan harus mampu menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan. Nilai itu penuh semangat gotong royong, daya juang dan daya saing, serta berorientasi pada kemajuan dan keunggulan.
Din juga menyampaikan bahwa keberagaman merupakan suatu keniscayaan ketika hidup di Indonesia. Dengan demikian, sikap yang perlu dikedepankan ialah menguatkan persaudaraan baik sesama Muslim maupun sesama masyarakat sebangsa.
Tidak hanya itu, Din turut mengimbau pentingnya sikap dewasa dan saling menghargai dalam beragama, khususnya terkait perbedaan hari Idul Fitri. Seperti diketahui, sejak jauh-jauh hari, Muhammadiyah telah menetapkan Idul Fitri tahun ini jatuh pada Jumat (21/4/2023). Sementara itu, sidang Isbat Kementerian Agama memutuskan awal 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada Sabtu (22/4/2023).
”Ini perbedaan cara saja, makanya saya imbau agar perbedaan ini tidak membawa perpecahan. Kita harus saling menghargai. Perbedaan ini, kan, sudah sering terjadi walau tidak setiap tahun. Saling menghargai dan bersikap dewasa adalah kunci agar tidak menimbulkan masalah,” tutur Din.
Dalam 25 tahun terakhir, sedikitnya terjadi lima kali perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah dalam menetapkan Idul Fitri. Terakhir, perbedaan itu terjadi saat penetapan Lebaran 2011. Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus, sedangkan pemerintah menetapkan 31 Agustus.
Perbedaan ini tak dapat dihindari mengingat adanya perbedaan kriteria dalam metode hisab(perhitungan) dan rukyat (pengamatan) bulan baru Hijriah. Muhammadiyah menggunakan kriteria hisab hakiki wujudul hilal. Berdasarkan metode tersebut, ada beberapa syarat untuk penetapan awal bulan Hijriah. Syarat pertama adalah terjadinya ijtimak, yakni saat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada garis lurus. Syarat kedua, ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam. Ketiga, pada saat Matahari terbenam, Bulan masih di atas ufuk atau belum terbenam (Kompas.id,18/4/2023).
Sementara Pemerintah Indonesia saat ini memakai kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) dengan kriteria yang ditetapkan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021. Kriteria dalam kesepakatan MABIMS tersebut adalah ketinggian hilal 3 derajat dengan sudut elongasinya 6,4 derajat.
Terlepas dari perbedaan itu, warga Muhammadiyah antusias melaksanakan shalat Idul Fitri di Pulomas. Sejak pukul 06.15, lapangan seluas lebih kurang 8.000 meter persegi ini telah dipadati oleh jemaah yang ingin kembali melaksanakan shalat Idul Fitri tanpa pembatasan sosial setelah kasus Covid-19 melandai. Gerimis yang sempat turun tak menghentikan mereka untuk menggelar alas, sajadah, dan shalat berjemaah.
Akibat hujan, shalat yang menurut rencana digelar pukul 07.00 dimajukan 15 menit. Saat shalat selesai dan khatib menyampaikan khotbah, jemaah tetap bertahan di tempat dan beberapa di antara mereka melindungi diri dengan payung dan jas hujan. Tak lama setelah khotbah selesai, pukul 07.13, hujan pun reda.
Ade Hariyanti (52), warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, mengatakan tak mempermasalahkan hujan yang turun saat shalat berlangsung. Malah, lanjutnya, hujan menambah kesyahduan ibadah. Ia juga senang karena tahun ini bisa merasakan kembali Idul Fitri di tempat luas dengan banyak orang dan tak ada pembatasan.
”Saking antusiasnya, dari pukul 06.00 sudah berangkat dari rumah. Alhamdulillah, bisa Lebaran kayak dulu lagi, sebelum pandemi. Berbeda waktunya tidak masalah, yang penting saling menghormati,” ucap ibu rumah tangga yang datang shalat Idul Fitri bersama suami dan empat anaknya itu.
Ketua Panitia Shalat Idul Fitri Muhammadiyah di Pulomas, Aji Ferizal Nasrullah, menuturkan, antusiasme warga terlihat dari jumlah jemaah yang datang. Ia memperkirakan lebih dari 7.000 warga hadir untuk melaksanakan shalat Idul Fitri di halaman pacuan kuda tersebut.
Perkiraan itu didasarkan pada padatnya orang mengisi ruang-ruang kosong di tempat itu. Beberapa orang bahkan shalat di dekat paviliun pacuan kuda. Digelar pula shalat Idul Fitri kloter kedua untuk mengakomodasi warga yang tidak kebagian tempat atau datang terlambat.
”Hari ini cukup ramai karena yang datang tidak hanya warga Muhammadiyah di Jakarta Timur, seperti Pulomas, Pulo Gadung, atau Kayu Putih. Ada juga dari Depok, Bekasi, dan Kebayoran Lama. Kami pun baru menggelar kembali Idul Fitri di sini setelah tiga tahun hanya dilaksanakan dalam cakupan kecil di masjid atau di rumah,” tutur Aji.