Nilai di Balik Sederet Nominal Bisnis Tukar Uang Jelang Lebaran
Para penjual jasa penukaran uang marak jelang Lebaran. Dengan keuntungan bersih yang tak seberapa, para pedagang musiman ini menunjukkan welas asih pada sesama dengan caranya masing-masing.
Penjual jasa penukaran uang, Lambok Sitoru (55) sedang bertransaksi dengan konsumen di Jalan Teuku Nyak Arief, Jakarta Selatan, Rabu (19/4/2023).
Sejumlah ruas jalan Ibu Kota memang lengang setelah mayoritas warganya pulang kampung ke daerah masing-masing. Namun, beberapa jalan yang masih padat kendaraan jadi incaran utama para penjual jasa penukaran uang.
Salah satunya terlihat di sepanjang Jalan Teuku Nyak Arief hingga Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan. Para penjual jasa penukaran uang berdiri berjejer hampir tiap 10 meter, sambil mengayunkan tangannya yang menggenggam beberapa bundel uang ke bahu jalan dari atas trotoar.
Segelintir pedagang melawan teriknya matahari dengan berkerudung atau bertopi dan berkacamata hitam. Ada pula yang mengenakan kemeja. Tas selempang selalu di bahu guna menyimpan uang-uang yang dijual.
Lambok Sitoru (55), misalnya, berhasil memilih tempat di pinggir jalan, tetapi memiliki ruang bagi pelanggan untuk berhenti, bahkan memarkir kendaraannya. Hal ini membuat lapaknya kerap dikunjungi konsumen, mulai dari sekadar bertanya sampai menukarkan uang hingga Rp 500.000.
Pelanggannya pun beragam, antara lain pemudik yang mengendarai truk berukuran sedang dan pengguna sepeda motor dengan bawaan menumpuk di joknya. Meski dihampiri banyak orang, tak serta merta seluruh pelanggan sepakat dengan tawar-menawar yang terjadi. Alhasil, beberapa pelanggan urung menukarkan uangnya.
Lambok menawarkan uang pecahan Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, dan Rp 20.000. Dari keempat jenis itu, nominal Rp 5.000 jadi favorit masyarakat. Tak ayal, ia menjual pecahan Rp 5.000 desain baru yang nilainya Rp 100.000 seharga Rp 115.000. Sementara, pecahan Rp 2.000 dan Rp 10.000 dengan nilai Rp 100.000 dijual seharga Rp 110.000.
Ia mengatakan, dirinya dapat mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp 100.000-200.000 per hari. Makin mendekati hari Lebaran, permintaan terus meningkat.
“Tahun ini ada peningkatan karena bebas mudik. Pemerintah terbuka, masyarakat antusias untuk pulang menyambut Idul Fitri. Mereka tukar-tukar ini (uang) buat di kampung,” tutur Lambok sambil tersenyum di Jalan Teuku Nyak Arief, Jakarta Selatan, Rabu (19/4/2023).
Lambok telah melakoni pekerjaan sebagai penjual jasa tukar uang selama 35 tahun terakhir. Ia berkecimpung sejak dirinya masih muda, kala pecahan Rp 50 banyak dicari masyarakat untuk merayakan Idul Fitri. Di luar musim Lebaran, laki-laki asal Medan, Sumatera Utara ini menjalankan warungnya dengan menjajakan kebutuhan-kebutuhan pokok di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Baca juga : Diaspora Batak dalam Tradisi Bisnis Penukaran Uang Jelang Lebaran
Kondisi serupa terjadi pula di sepanjang Jalan Arteri Pondok Indah. Dengan bermodal kursi plastik, para penjual jasa tukar uang mempersuasi para pengguna jalan untuk melariskan dagangannya.
Salah satunya Sriwati (42) yang sehari-hari menjalankan usaha katering. Guna menjajakan uang-uang pecahan ini, setidaknya ia perlu merogoh Rp 20 juta.
Berbeda dengan Lambok, Sri menawarkan uang pecahan desain baru dan lama. Harganya pun berbeda. Untuk uang pecahan Rp 2.000 keluaran terbaru, perempuan berkacamata ini menjual Rp 115.000 yang nilainya Rp 100.000. Dengan nilai yang sama, uang pecahan Rp 2.000 keluaran lama dijual Rp 110.000. Hal itu berlaku pula bagi pecahan Rp 5.000.
“Dari tahun ke tahun, tahun ini (2023) paling parah, paling sepi penjualannya, apalagi sekarang marak kejahatan,” ujar Sri sembari menanti pelanggan.
Meski berada di pinggir jalan arteri, lapak Sri memang lebih sepi pelanggan ketimbang Lambok. Ia rela menjulurkan tangannya sembari memegang beberapa ikat uang guna menarik pembeli. Namun, selama sekitar 30 menit, usahanya belum membuahkan hasil.
Pecahan Rp 5.000 memang paling langka, tetapi Sri masih menjual harga yang sama seperti pecahan lainnya. “Dikasih harga segitu saja, (pelanggan) masih pada nawar. Saya enggak kasih harga tinggi,” katanya.
Uang-uang yang dijualnya dipasok dari agen yang berperan sebagai koordinator di area Jalan Arteri Pondok Indah. Itulah yang menyebabkan Sri rela berangkat dari Pamulang, Tangerang Selatan untuk berdagang di sana, sebab tiap wilayah memiliki koordinatornya masing-masing. Tiap satu paket uang pecahan terjual Rp 115.000, Sri hanya mengantongi Rp 5.000.
“Hari ini (hingga pukul 11.30) baru laku Rp 300.000, padahal udah jualan dari sekitar 07.30,” kata Sri sambil tertawa getir.
Risiko aksi kejahatan
Selain berpanas-panasan, para penjual jasa tukar uang ini juga menghadapi risiko tindak kejahatan, seperti perampokan dan penipuan dengan modus hipnotis. Aksi kriminal ini dianggap lebih sering dijumpai jelang Lebaran tahun 2023.
Sri bercerita, salah seorang rekannya baru saja tertipu hingga Rp 10 juta saat berdagang. Korban diduga terhipnotis setelah pelaku berpura-pura akan melakukan transaksi. Naas, uang dalam tasnya raib. Mau tak mau, korban harus menanggung ganti rugi pada agen.
“Sekarang lebih sepi, lebih rawan. Makanya hati-hati saja, harus waspada,” kata Sri.
Ia mewanti-wanti agar siapa saja fokus ketika berkegiatan. Hal ini membantu seseorang untuk tetap awas pada keadaan sekitar.
Lambok yang puluhan tahun bekerja sebagai pedagang musiman mewaspadai pelanggan yang tak mematikan mesin kendaraannya ketika bertanya soal uang-uang pecahan. Sebab, mereka patut dicurigai lantaran dapat membawa barang dagangannya ketika ada kesempatan.
Selain itu, penjual jasa tukar uang di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Candra Napitu (58) mengatakan ada kecemasan tersendiri saat berdagang. Oleh karena itu, tindakan preventif yang dilakukan berdagang di atas trotoar. Jangan menjajakan di bahu jalan, termasuk melambaikan tangan dengan menggenggam sebundel uang, sebab riskan direbut penjahat.
Jadi bantu orang, kegiatan sosial itu enggak hanya kasih uang atau bingkisan. Supaya mereka bisa menikmati, dapat hasil juga (Lambok)
Solidaritas dalam kesederhanaan
Para penjual jasa penukaran uang memiliki idealisme dan kepekaan tersendiri pada orang-orang di sekitarnya. Lambok dan Sri saling bantu pada sesama dengan caranya masing-masing.
Lambok merupakan seorang agen atau “bandar” yang membawahi sejumlah pekerja. Setidaknya ada sembilan orang yang bekerja padanya di sepanjang jalan Teuku Nyak Arief. Jumlahnya belum termasuk mereka yang bertugas di Ragunan, Jakarta Selatan dan Cibubur, Jakarta Timur.
“Jadi bantu orang, kegiatan sosial itu enggak hanya kasih uang atau bingkisan. Supaya mereka bisa menikmati, dapat hasil juga,” ujar laki-laki lulusan Sekolah Dasar (SD) ini.
Ia berusaha merangkul sesama, sebab mereka yang bekerja di bawah naungannya, antara lain bekerja sebagai tukang tambal ban dan sopir mobil. Mereka sudah bekerja sama dengan Lambok selama bertahun-tahun.
Lambok mengatakan, ia dapat dengan mudahnya fokus untuk mengembangkan bisnis tukar uang ini sendirian. Alhasil, pemasukannya juga lebih banyak. Namun, ia tak memilih jalan itu.
“Karena saya juga berangkat dari situ, dari orang susah. Sekarang saya bisa seperti ini, kenapa enggak melakukan itu?” katanya.
Suatu saat, ketika rekan-rekannya memiliki modal, ia mendorong agar berbisnis secara mandiri. Proses yang dijalaninya sekarang juga mendidik mereka untuk mengelola dan memahami skema penjualan jasa tukar uang.
Baca juga: BI Siapkan Rp 195 Triliun Uang Tunai untuk Kebutuhan Lebaran
Para penjaja jasa penukaran pecahan uang kertas berdiri di tepi jalan di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (18/4/2023). Hampir semua penjaja jasa penukaran uang tersebut adalah perantau Batak dari Sumatera Utara.
Sri juga tak ingin fokus pada dirinya sendiri walau pemasukannya tak menentu. Ia dan kawan-kawannya selalu berbagi pelanggan pada penjual lain ketika lapaknya tengah ramai.
“Kami saling bantu. Jadi kalau sedang ramai, dia diminta bantu (saya) juga,” ujarnya.