Diaspora Batak dalam Tradisi Bisnis Penukaran Uang Jelang Lebaran
Diaspora Batak di Jakarta banyak terlibat dalam bisnis penukaran pecahan uang kertas sebagai pedagang di pinggir-pinggir jalan. Bagi para pelakunya, bisnis ini sudah menjadi tradisi jelang Lebaran.
Anggiat Tampubolon (59) paham betul, cuan dari bisnis ngereceh, yaitu ”menjajakan” uang kertas Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, dan Rp 20.000 di pinggir jalan-jalan raya Ibu Kota menjelang Lebaran, sebenarnya tidak seberapa. Malah lelahnya saja yang maksimal.
Namun, baginya kerja itu sudah menjadi satu hal yang kultural. Sudah 20 tahun berturut-turut ia menjalankan bisnis ini tiap satu-dua pekan terakhir Ramadhan. Dan, tahun ini ia bertekad menghabiskan stok pecahan uang kertas dengan total Rp 50 juta.
”Saya baru mulai seminggu ini. Nanti selesainya pas malam takbiran,” katanya ketika ditemui di tepi Jalan Metro Pondok Indah arah Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tak jauh dari apartemen Pondok Indah Golf, pada Selasa (18/4/2023) siang.
Ruas jalan sepanjang 2 kilometer tanpa hambatan antara Pondok Indah Mall sampai bundaran Pondok Indah itu dari tahun ke tahun jadi tempat favorit para ”pereceh”. Siang itu, ada belasan yang berdiri berjejer di sepanjang trotoar. Hampir semuanya dari suku Batak yang bermigrasi langsung dari Sumatera Utara.
”Di sini semua yang jual orang Batak dari Medan. Rata-rata Kristen juga. Jarang ada yang Muslim,” ujar Anggiat yang berasal dari Tapanuli Utara.
Anggiat ditemani istrinya, Alam Siahaan (54). Mereka bergantian menduduki kursi plastik di tepi trotoar, menghadap arah datangnya kendaraan sambil menunjukkan lembaran uang cetakan baru yang berbungkus plastik.
Setiap pecahan bernilai total Rp 100.000 ”dijual” seharga Rp 110.000. Artinya, ada margin 10 persen di situ sehingga Rp 1 juta dapat ditukar dengan 11 lembar merah Soekarno-Hatta.
”Itu juga orang-orang masih nawar. Kalau duit Rp 1 juta, paling (selisihnya ditawar) Rp 80.000 atau Rp 90.000 aja. Jadi minim kita untungnya. Soalnya, pas kita beli sama ’bos’, dia minta Rp 70.000,” kata Anggiat.
Parahnya lagi, tahun ini minat orang untuk menukarkan uang di jalanan rendah. Sejak pukul 08.00 sampai pukul 14.00, baru sekitar Rp 1 juta yang ”laku” sehingga keuntungan yang Anggiat dan Alam peroleh tak lebih dari Rp 100.000. Mereka pun menekan biaya operasional dengan memasak sendiri makan siang mereka di rumah dan membawanya ke tempat jualan.
Di titik itu, Anggiat khawatir, apa semua pecahan Rp 50 juta yang diambil dari si ”bos” akan habis ditukar warga sekalipun ia ngereceh setiap hari dari pagi sampai maghrib. Soalnya, si ”bos” memintanya mengembalikan seluruh uang itu ditambah keuntungan minimal 5 persen atau Rp 2,5 juta.
Baca juga: BI Siapkan Rp 195 Triliun Uang Tunai untuk Kebutuhan Lebaran
Anggiat sendiri tak kenal betul si ”bos”. Ia cuma tahu kalau adalah orang Batak berduit yang sering nongkrong di Terminal Lebak Bulus, tetapi tak pernah tahu kerjanya apa dan tinggal di mana.
”Enggak pernah nanya. Yang penting tiap tahun dapat (duit buat ngereceh) dari dia,” kata ayah empat anak yang sehari-hari menjadi sopir angkot jurusan Lebak Bulus-Parung itu.
Pada hari dan tempat yang dijanjikan, si ”bos” datang untuk memberi Rp 50 juta tersebut dengan jaminan KTP Anggiat. Namun, segepok uang itu masih berbentuk pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000.
Maka, tiap pagi, pukul 05.00, Anggiat dan Alam berangkat dari rumah di daerah Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, menuju kantor cabang salah satu bank swasta di dekat bundaran Pondok Indah. Sesuai aturan Bank Indonesia, satu orang hanya diperbolehkan menukarkan uang Rp 3,8 juta di bank, sama dengan layanan kas keliling BI.
Namun, ia merasa lebih baik mengantre di bank daripada mengejar kas keliling. ”Lebih pasti daripada pas kita dateng, udah habis duitnya,” kata Anggiat.
Sebaliknya, Marni Tambunan (52), yang duduk sekian ratus meter dari Anggiat dan Alam, tidak menukarkan pecahan uang kertas sendiri ke bank. Ia sudah dapat ”barang jadi” senilai Rp 20 juta langsung dari seorang ”bandar” yang ia sebut punya kenalan ”orang bank”.
Bandar itu Marni kenal di Terminal Lebak Bulus karena suaminya adalah sopir angkot jurusan Lebak Bulus-Bintaro. Bedanya dari Anggiat, Marni dituntut pengembalian yang lebih besar, yaitu Rp 90.000 setiap Rp 1 juta.
Karena itu, Marni berusaha mengambil keuntungan tambahan sebesar Rp 15.000 untuk dirinya sendiri sehingga biaya tukar pecahan setiap Rp 1 juta adalah Rp 105.000. Namun, masyarakat selalu menawarnya menjadi pas Rp 100.000 saja.
”Kalau (ditawar) di bawah Rp 100.000, enggak ada lagi (untung) buat kita. Dapetcapeknya doang, panas-panas gini,” kata wanita kelahiran Tapanuli Selatan itu.
Kendati keuntungan yang makin tipis tahun ini, Marni tetap kukuh ngerceh bersama suami dan anaknya. Ia tak pernah diganggu petugas satuan polisi pamong praja, apalagi petugas BI. ”Enggak ada kayak gitu. Ini udah tradisilah, istilahnya. Habis hari-H (Lebaran), besoknya kan enggak ada lagi,” katanya.
Hal serupa dikatakan Jumahan Purba (47), yang ngereceh di dekat Gandaria City, Kebayoran Lama. Sebagai seorang montir, ia juga sering nongkrong di Terminal Lebak Bulus hingga mendapat kesempatan bisnis jalanan itu.
Lalu, kenapa kebanyakan orang Batak yang melakukannya? ”Kalau menurut saya, sih, karena beda kepercayaan, kebanyakan Kristen, jadi kita seolah-olah ngebantunyiapin mereka Lebaran. Kalau kami Lebaran, mungkin kami enggak kepikiran juga buat kayak gini,” katanya.
Jejaring ini akhirnya membentuk kesadaran kolektif sesama mereka sebagai orang Batak.
Menurut pengajar Ilmu Sosiologi Universitas Sumatera Utara, Hadriana Marhaeni Munthe, menyebut keterlibatan orang-orang Batak dalam bisnis penukaran uang bermula dari banyaknya perantau yang bekerja di bidang transportasi darat di Jakarta. Tak heran jika terminal, seperti Lebak Bulus, menjadi ruang bagi terbentuknya solidaritas sosial yang berdasarkan latar belakang etnis dan kultural.
”Jejaring ini akhirnya membentuk kesadaran kolektif sesama mereka sebagai orang Batak. Ini terlihat mula-mula dari banyaknya komunitas berbasis marga, daerah asal, dan identitas agama seperti (denominasi) gereja. Umumnya, para perantau Batak akan mencari wadah-wadah seperti ini sebagai strategi untuk tetap eksis di perantauan,” kata Marhaeni.
Bisnis inflasi
Namun, bagi Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, bisnis perdagangan uang ini sebenarnya sangat merugikan masyarakat. ”Biayanya cukup tinggi kalau diakumulasi semua. Itu menciptakan inflasi dari tambahan pengeluaran yang tidak perlu,” katanya.
Fakta bahwa masih ada masyarakat yang mau menggunakan jasa para pereceh merupakan dampak dari tersendatnya arus informasi dari BI sebagai regulator dan perbankan kepada masyarakat. Kemungkinan besar, banyak yang masih mengira mengantre di bank dan kas keliling justru merepotkan.
Baca juga: Penukaran Uang Kertas Makin Gencar Jelang Lebaran 2023
Untuk itu, Bhima berharap BI dan perbankan lebih proaktif memberantas praktik bisnis perdagangan pecahan uang kertas. Caranya tak lain dengan memperbanyak kas keliling serta anjungan tunai mandiri bergerak (mobile ATM).
Di samping itu, para pereceh sebenarnya juga rawan menjadi korban eksploitasi oleh sindikat penukaran uang musiman. ”Ternyata (bisnis) ini terstruktur. Mungkin BI harus lebih banyak sosialisasi dan pendampingan sehingga para pedagang uang itu bisa dialihkan ke profesi lain,” katanya.
Deputi Gubernur BI Aida S Budiman menjelaskan, BI menyediakan uang tunai sebesar Rp 195 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada Lebaran tahun ini. Jumlah ini meningkat 8,22 persen dibandingkan Lebaran 2022.
Hingga Senin (17/4/2023), sebanyak Rp 157,96 triliun atau 81 persen dari stok uang kertas itu sudah diambil masyarakat, baik dari ATM maupun melalui penukaran pecahan uang kertas di layanan kas keliling. ”Pecahan uang yang paling diminati penukaran uang masyarakat adalah Rp 20.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000,” ujar Aida.
Untuk memenuhi kebutuhan akan uang kertas, selama 27 Maret-20 April 2023, BI membuka layanan penukaran uang di 5.066 lokasi di bank yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah titik layanan ini bahkan bertambah 377 titik dari tahun sebelumnya.
Khusus di DKI Jakarta, 3-14 April 2023, BI juga sudah bekerja sama dengan 16 bank untuk melakukan layanan kas keliling bersama. Layanan itu dibuka di berbagai tempat, seperti Masjid Hasyim Asya’ri, Masjid Istiqlal, Masjid At-Tin, Masjid Islamic Center, dan Masjid Al Azhar.
Ada pula yang dibuka di pasar-pasar di wilayah Jabodetabek, yaitu Pasar Kopro, Pasar Pramuka, Pasar Rawa Bening, Pasar Slipi, Pasar Koja, dan Pasar Tebet pada 27 Maret-20 April 2023. Dibuka pula kas keliling di tempat parkir timur Gelora Bung Karno pada 8-9 April 2023.
Menurut Aida, animo masyarakat sangat tinggi, tecermin salah satunya dari panjangnya antrean di lokasi mobil layanan penukaran uang, kantor perwakilan BI, dan di perbankan. Sampai saat ini, BI juga masih mengoperasikan layanan penukaran uang pada titik-titik keramaian jalur mudik, seperti tempat istirahat (rest area).
Dengan masifnya layanan itu, Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim, Sabtu (8/4/2023), menyatakan keyakinannya bahwa masyarakat tak perlu memanfaatkan jasa para perceh di pinggir jalan-jalan raya. Masyarakat hanya perlu mendaftarkan diri di aplikasi PINTAR.
”Kenapa penjaja uang itu banyak? Karena masyarakat ingin lebih mudah dan lebih cepat. Jawaban kami, kami perbanyak kas keliling. Kalau mau tukar uang, tukarlah di BI. Pasti jumlahnya, pasti keasliannya,” kata Marlison.