Pandangan para perantau harus mudik dan membawa oleh-oleh menjerat sebagian kelompok kelas menengah bawah. Kebutuhan akan uang untuk Lebaran berpotensi mendorong seseorang melakukan tindak kriminalitas.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Perampokan marak terjadi dalam kurun waktu sebulan terakhir di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desakan ekonomi menjadi faktor pemicu pelaku untuk nekat bertindak merampok.
Belum lama ini, di Kabupaten Bogor, terjadi perampokan di wilayah Jabon, Parung. Komplotan perampok bersenjata api menyatroni gudang jasa pengiriman, Senin (10/4/2023), sekitar pukul 01.00. Mereka menyekap tiga pegawai dan membawa kabur uang Rp 222 juta.
Perampokan bersenjata tajam juga terjadi di koperasi simpan pinjam di Karang Asem, Citereup, Rabu (12/4/2024) siang. Pelaku membawa kabur uang Rp 35 juta. Kepala Kepolisian Sektor Citeureup Komisaris Yulfiradi menyebutkan, diduga dua pelaku mendatangi koperasi itu dengan modus berpura-pura mencari pekerjaan. Mereka lalu mengancam dan menyuruh pegawai koperasi menunjukkan tempat penyimpan uang anggota.
Kasus lain yang cukup menonjol ialah penangkapan tiga tersangka perampokan yang menewaskan seorang sopir taksi daring di Jalan Tol Jagorawi Kilometer 37+400 Sentul, Babakan Madang, pada Senin (3/4/2023) sekitar 03.30.
Wakil Kepala Polres Bogor Komisaris Fitra Zuanda mengatakan, pelaku MFS (20), DY (25), dan JA (23) ditangkap sehari setelah kejadian. Dari hasil pemeriksaan, para pelaku memesan taksi dariing dari Cilincing, Jakarta Utara, menuju Rancamaya, Ciawi, Kabupaten Bogor.
Ketika melintas di Jalan Tol Jagorawi, salah satu pelaku meminta korban AS (37) berhenti karena ingin buang air kecil. Saat itu, pelaku lain menjerat leher korban dan membunuhnya. Jasad korban lantas dibuang di pinggir jalan tol.
”Pelaku sudah merencanakan perampokan ini. Alasannya faktor ekonomi,” kata Fitra, beberapa waktu lalu.
Melihat fenomena kriminalitas ini, sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, desakan ekonomi menjadi faktor seseorang nekat bertindak kriminal. Terlebih kebutuhan ekonomi menjelang Lebaran juga meningkat. Tak heran, menjelang libur Lebaran, kriminalitas dari tahun ke tahun terus terulang dan meningkat.
Rakhmat menyoroti faktor urbanisasi sebagai salah satu pemicu meningkatnya tindak kriminalitas di kota-kota besar. Ketimpangan ekonomi dan fasilitas lainnya tidak hanya terjadi antara desa dan kota, tetapi juga kota dan kota lain.
Pandangan para perantau harus mudik dan membawa oleh-oleh menjerat sebagian kelompok kelas menengah bawah. Padahal, secara ekonomi, mereka belum mampu untuk melakukan itu. Kebutuhan akan uang untuk Lebaran ini kemudian berpotensi mendorong seseorang melakukan tindak kriminalitas.
Ketimpangan ini mendorong seseorang mengadu nasib ke kota besar dengan harapan membawa perubahan status ekonomi. Mereka juga berharap mendapatkan pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga di kampung halaman.
Sayangnya, kedatangan kaum urban itu tidak dibekali dengan kemampuan, daya saing, dan pendidikan yang memadai. Tak jarang dari mereka sulit mencari pekerjaan, hingga bekerja dengan upah tidak layak, atau jadi pekerja serabutan.
Masalah kemudian muncul saat momen menjelang Lebaran atau mudik seperti saat ini. Menurut Rakhmat, pandangan para perantau harus mudik dan membawa oleh-oleh menjerat sebagian kelompok kelas menengah bawah. Padahal, secara ekonomi, mereka belum mampu untuk melakukan itu. Kebutuhan akan uang untuk Lebaran ini kemudian berpotensi mendorong seseorang melakukan tindak kriminalitas.
”Ada pandangan jika sudah merantau, pasti berhasil. Lalu pandangan harus mudik dan membawa oleh-oleh. Konstruksi nilai sosial dan ekonomi seperti ini bagi sebagian orang tidak masalah, tetapi bagaimana dengan orang yang kurang mampu? Akhirnya untuk menunjukkan mereka bisa mudik dan membawa oleh-oleh, jalan pintas ditempuh dengan tindak kriminal untuk memenuhi kebutuhan Lebaran. Dan saat di kampung mereka akan dianggap sukses. Materi atau barang fisik itu menjadi ukuran,” tutur Rakhmat.
”Ini pekerjaan rumah pemerintah yang tidak mudah, tetapi harus terus didorong dan dikerjakan untuk pemerataan dan meningkatkan fasilitas di daerah lainnya. Jangan terpusat di kota besar saja. Jika tidak, setiap tahun kriminalitas seperti ini pasti terulang,” ujarnya, melanjutkan.
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, berpandangan, momen mendekati Lebaran sering kali juga dimanfaatkan residivis untuk bertindak kriminal. Selain mengincar rumah-rumah kosong, para bandit ini juga akan beraksi terhadap para pengendara sepeda motor dan mobil yang membawa barang-barang berharga, bahkan tak segan untuk melukai korbannya.
Kejahatan para bandit itu, menurut Yesmil, sudah terorganisasi atau memiliki komunitas. Beberapa dari pelaku kejahatan itu juga merantau, tetapi dengan tujuan untuk menguasi harta benda korban.
Persoalan lainnya yang membuat para bandit ini leluasa beraksi karena lemahnya pengawasan. Oleh karena itu, lanjut Yesmil, di kota-kota besar relasi sosial di tingkat RT-RW menjadi sangat penting untuk mendata para tamu atau pendatang.
Dari beberapa kasus, banyak warga asing yang masuk atau datang ke suatu tempat tidak melapor kepada pengurus RT-RW. Ketika orang asing berkelakuan buruk dan mengancam keamanan, warga tidak bisa berbuat apa-apa atau mencegah.
”Degradasi interaksi sosial ini membahayakan karena tidak ada sistem untuk saling menjaga satu sama lainnya. Kalau interaksi itu berjalan baik, kita bisa titip mengawasi rumah yang akan ditinggal mudik kepada pengurus RT-RW. Pendataan warga juga penting. Jika terjadi ancaman atau hal mencurigakan, warga setempat bisa meminimalkan tindakan kejahatan itu,” ujar Yesmil.
Ia pun mengimbau para pemudik untuk tidak membawa barang berharga atau oleh-oleh. Pemudik disarankan untuk mengirim terlebih dahulu barang tersebut.